MK Tolak Gugatan UU MD3 Oleh Pemohon Anggota DPRD
Rabu, 05 November 2014 - 20:15 WIB

MK Tolak Gugatan UU MD3 Oleh Pemohon Anggota DPRD
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Kontitusi (MK) dalam putusannya menolak pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh 24 anggota DPRD asal Purwakarta.
"Menyatakan menolak permohonann para pemohon seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu, (5/11).
24 anggota DPRD sebagai pemohon menyoal Pasal 376 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8), Ayat (9), dan Pasal 377 Ayat (6) UU a quo.
Dalam petitumnya, para pemohon berpendapat telah kehilangan hak kontitusionalnya sebagai anggota DPRD. Sebab, mereka tak bisa menentukan pemimpin DPRD, seperti yang dilakukan DPR dalam memilih pemimpin.
Menurut para pemohon, seharusnya pemilihan pemimpin DPRD sama mekanismenya dengan di DPR yaitu berdasarkan masukan dari anggota DPRD bukan dari sistem perolehan suara partai secara berjenjang seperti diatur dalam UU MD3.
UU tersebut dianggap para pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan MK. Namun, permohonan tersebut justru ditolak MK.
Menurut Hamdan, alasan gugatan itu ditolak lantaran dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menurut dia, dipilihnya pemimpin DPRD tingkat kabupaten/kota dianggap tidak melanggar hak kontitusional sebagai anggota DPRD.
Katanya, mekanisme pemilihan berdasarkan raihan kursi terbanyak sudah tepat karena mengacu pada hak kontitusi partai politik. Hal tersebut, diperjelas dalam Pasal 375 Ayat (3) UU MD3 yang menentukan tata cara pembentukan susunan serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang Tata Tertib.
Hamdan menambahkan, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, mekanisme pemilihan pemimpin DPRD dan alat kelengkapan dewan lainnya dianggap tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan seperti yang didalilkan para pemohon.
"Karena hal tersebut merupakan ranah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk UU yang tidak bertentangan dengan UU 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum," pungkasnya.
"Menyatakan menolak permohonann para pemohon seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu, (5/11).
24 anggota DPRD sebagai pemohon menyoal Pasal 376 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8), Ayat (9), dan Pasal 377 Ayat (6) UU a quo.
Dalam petitumnya, para pemohon berpendapat telah kehilangan hak kontitusionalnya sebagai anggota DPRD. Sebab, mereka tak bisa menentukan pemimpin DPRD, seperti yang dilakukan DPR dalam memilih pemimpin.
Menurut para pemohon, seharusnya pemilihan pemimpin DPRD sama mekanismenya dengan di DPR yaitu berdasarkan masukan dari anggota DPRD bukan dari sistem perolehan suara partai secara berjenjang seperti diatur dalam UU MD3.
UU tersebut dianggap para pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan MK. Namun, permohonan tersebut justru ditolak MK.
Menurut Hamdan, alasan gugatan itu ditolak lantaran dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menurut dia, dipilihnya pemimpin DPRD tingkat kabupaten/kota dianggap tidak melanggar hak kontitusional sebagai anggota DPRD.
Katanya, mekanisme pemilihan berdasarkan raihan kursi terbanyak sudah tepat karena mengacu pada hak kontitusi partai politik. Hal tersebut, diperjelas dalam Pasal 375 Ayat (3) UU MD3 yang menentukan tata cara pembentukan susunan serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang Tata Tertib.
Hamdan menambahkan, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, mekanisme pemilihan pemimpin DPRD dan alat kelengkapan dewan lainnya dianggap tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan seperti yang didalilkan para pemohon.
"Karena hal tersebut merupakan ranah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk UU yang tidak bertentangan dengan UU 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum," pungkasnya.
(kri)