Realitas Divided Government

Rabu, 29 Oktober 2014 - 15:32 WIB
Realitas Divided Government
Realitas Divided Government
A A A
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina @dinnawisnu

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengumumkan Kabinet Kerja untuk masa bakti 2014-2019. Kabinet ini tentu tidak dapat memuaskan seluruh pihak dan sudah pasti tidak mungkin untuk melakukan hal tersebut.

Banyak pihak yang melakukan protes dan menyatakan kekecewaan karena beberapa orang yang diangkat menjadi menteri diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM, korupsi, atau dipertanyakan kemampuannya. Sementara pihak lain yang mengapresiasi mengatakan bahwa susunan Kabinet Kerja telah mencerminkan semangat Presiden Jokowi yang selalu menekankan kerja, kerja, dan kerja.

Pihak yang tidakmendukung dan tidak mengkritik lebih bijak dengan mengatakan untuk memberikan kesempatan kepada para menteri untuk bekerja dan membuktikan dirinya.

Sebenarnya wajar bila persoalan setuju atau tidak setuju terhadap keputusan atau kebijakan yang diambil lembaga politik akan menimbulkan kegaduhan. Namun kegaduhan politikdalam level tertentu juga menimbulkan keresahan masyarakat, apalagi ketika kegaduhan tersebut mengindikasikan kecenderungan untuk membuat buntu pengambilan keputusan.

Kita lihat bahwa ada dua kekuatan politik yang saat ini berhadaphadapan, yakni Koalisi Merah PutihdanKoalisiIndonesiaHebat, dan di antara mereka cukup sengit perbedaan pandangannya. Bagi generasi pemilih saat ini, kegaduhan ini merupakan hal baru; belum pernah dialami sejak era Reformasi 1998.

Kenyataannya, terbaginya dua kekuatan politik tersebut adalah kenyataan yang harus kita terima. Walaupun ada saja kelompok masyarakat yang menolak realitas baru ini dan merujuk pada nostalgia masa lalu di mana eksekutif dan legislatif relatif damai dan harmonis, kita perlu menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Pasalnya, perubahan itu juga adalah konsekuensi dari harapan masyarakat yang menginginkan pemerintahan bersih dan tidak dilandasi kekuatan oligarki dan politik transaksional.

Pertanyaannya kemudian apakah pemerintah akan berjalan dengan efektif? Apakah kebijakan-kebijakan pemerintah akan mengalami hambatan yang berujung pada produk layanan masyarakat yang inferior? Indikator Politik dan Lembaga.

Survei Indonesia (2014) menyimpulkan melalui penelitian mereka bahwa pemerintahan akan cenderung berjalan efektif apabila mayoritas suara di parlemen mendukung pemerintahan yang berkuasa. Survei terhadap kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada tahun 2005 dan tidak mengalami pemekaran wilayah selama 2004-2009 memperlihatkan bahwa terjadi kemajuan ekonomi di kabupaten/kota yang pemerintah daerahnya memperoleh dukungan suara mayoritas di legislatif. Dukungan itu terutama terkait dengan Undang-Undang MD3 lama yang di dalamnya hierarki kepemimpinan dan alat-alat kelengkapan legislatif diatur sesuai dengan perolehan suara partai dalam pemilu sebelumnya.

Terlepas dari kurang tepatnya pengukuran divided government dan dampaknya dalam penelitian tersebut, mungkin juga karena rilis penelitian ini belum berbentuk artikel ilmiah, mereka ingin menunjukkan bahwa pemerintahan yang didukung suara mayoritas di legislatif lebih sedikit mengalokasikan belanja untuk pegawai, barang dan jasa, dan sebaliknya lebih banyak mengalokasikan belanja modal. Belanja modal memiliki makna positif karena menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah daya beli masyarakat.

Itu sebabnya kita kini perlu menelaah lebih jauh tentang fakta seputar risiko adanya divided government (pemerintahan yang terbelah dengan lembaga legislatif dan eksekutif dikuasai partai/koalisi yang berbeda) untuk konteks Indonesia.

Dalam politik di Amerika Serikat sejak 1901 hingga 2015, ada 40% masa terjadi divided government. Partai yang memenangi pemilu presiden tidak memiliki suara mayoritas di parlemen (House). Beberapa analis memiliki pendapat yang berbeda tentang sejauh mana pemerintahan yang terbelah itu mampu berjalan efektif. David Mayhew (1991) adalah salah seorang yang mengatakan bahwa pemerintahan yang terbelah tetap dapat berjalan efektif.

Ia melakukan pembuktian melalui penelitian tentang volume dari produk- produk perundang-undangan yang dikeluarkan pada 1947-1990 yang tidak terpengaruh jumlahnya. Ia juga mempertegas pendapatnya dengan membuktikan bahwa sejumlah undangundang penting tetap dapat dihasilkan oleh pemerintahan Amerika Serikat pada 1991-2002.

Temuan tersebut dibantah oleh penelitian lain yang mengkritik metode pengukuran Mayhew. Beberapa peneliti menemukan bahwa pemerintah yang terbelah memang memiliki dampak dilihat dari rasio dari undang-undang yang disahkan dengan keseluruhan agenda legislasi dan bahwa UU yang tidak signifikan (trivial) akan lebih mudah lahir.

Namun yang menarik adalahsimpulan baru bahwa divided government tidak memengaruhi lahirnya UU yang penting bagi Amerika Serikat. Lebih penting lagi, ada peneliti yang menemukan kebuntuan kebijakan juga dapat terjadi dalam unified government, yakni apabila suara mayoritas anggota parlemen yang mendukung pemerintahan berkuasa sangat heterogen kepentingannya dan tidak bisa dikonsolidasikan. Jadi satu koalisi atau bahkan satu partai pun belum menjamin mereka kompak.

Temuan-temuan tersebut perlu menjadi perhatian baik lembaga eksekutif maupun legislatif. Yang perlu dihindari adalah ketidakmampuan untuk mengubah kebijakan yang terbukti buruk efeknya. Ketidakmampuan ini akan merugikan masyarakat, khususnya ketika program-program yang tidak berjalan adalah program yang kritis dibutuhkan seperti bantuan sosial, asuransi sosial, kesehatan, standardisasi lulusan.

Yang juga perlu diantisipasi adalah reaksi masyarakat terhadap divided government dan ketidakberdayaan pemerintah menghadapi gempuran oposisi di parlemen. Efeknya terbilang langsung: masyarakat kita telah diambangkan dari kegiatan politik dan bersikap apatis bahkan cenderung sinis tentang kegiatan politik. Setiap hari media massa baik elektronik, cetak maupun media sosial terpapar oleh ulasan dan pembicaraan tentang konflik dan perseteruan yang tidak kunjung selesai antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.

Perpecahan itu tidak hanya terjadi di parlemen, tetapi juga mulai memengaruhi hubungan sosial masyarakat. Di media sosial seperti Facebook dan Twitter, banyak pengguna yang mulai memutus tali pertemanan hanya karena status dan komentar teman atau rekannya mulai mengganggu kenyamanan mereka.

Di beberapa tempat ibadah, perpecahan itu juga disebarkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal ini tidak sehat bagi demokrasi, khususnya ketika sebagian masyarakat mulai jenuh dan mulai mempertanyakan apakah demokrasi yang sedang kita jalani cocok dengan pilihan politik mereka, padahal konflik antardua kubu mungkin belum akan menyurut. Pemerintah masih harus terus berkonsultasi dengan parlemen untuk menghasilkan produkproduk hukum yang diperlukan untuk kebijakan mereka.

Demokrasi perlu melalui realitas kegaduhan macam ini dan divided government adalah realitas baru. Tak bisa kita bernostalgia belaka menginginkan suasana politik yang serbaharmonis, sementara memang ada banyak hal yang harus diperbaiki untuk negeri ini berkembang lebih optimal. Kita tetap harus percaya bahwa sistem politik yang sekarang kita jalani tidaklah sempurna, tetapi sudah berjalan di jalur yang benar.

Mungkin yang perlu dilakukan untuk menghindari konflik di tengah masyarakat adalah metode atau cara politik yang lebih santun dari partai politik. Politisi harus mengetahui batas-batas ucapan mana yang dapat menimbulkan perpecahan nasional dan ucapan mana yang masih dalam koridor demokrasi.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3770 seconds (0.1#10.140)