Mengawal Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi
A
A
A
ABDUL HAMID
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, dan kandidat Doktor di Doshisha University, Jepang
MENURUT kabar, Jokowi akan memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian: “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah” dan “Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi”. Ide ini menarik untuk menarik gerbong pendidikan tinggi kita dari situasi tidak menguntungkan belakangan ini.
Ketertinggalan
Dunia pendidikan tinggi kita jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasar data ScimagoJR, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Padahal tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961.
Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya, baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di atas UI, masing-masing UM, UKM dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66.
Penyebab Ketertinggalan
Salah satu hal yang menyebabkan situasi di atas bertahan adalah paradigma dunia pendidikan tinggi kita masih tak berbeda jauh dengan sekolah dasar dan menengah, yaitu mengedepankan belajar-mengajar. Dosen masih dianggap sebagai pengajar yang tugasnya hanyalah mengajar. Datang ke kampus untuk mengajar dan kemudian kembali beraktivitas di luar kampus.
Hal ini ditunjang oleh masih kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan riset, membaca ataupun menulis. Sebuah survei dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia menunjukkan 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama- sama.
Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen. Jadi, bagaimana kita mau berbicara hal-hal yang canggih di dunia pendidikan tinggi ketika sarana dasar berupa meja kerja untuk membaca, menulis, atau membimbing mahasiswa dengan layak saja masih jadi persoalan besar bagi sebagian besar dosen di Indonesia? Minimnya aktivitas dosen di dalam kampus selain untuk mengajar juga berangkat dari rendahnya tingkat kesejahteraan.
Rendahnya kesejahteraan memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah pendapatan, mulai jadi pengamat, buka warung sampai menjadi konsultan. Dosen seharusnya bisa fokus bekerja di satu tempat.
Energinya bisa dicurahkan secara maksimal sehingga bisa menghasilkan karya-karya ilmiah berkualitas. Pemerintah memang memiliki proyek sertifikasi dosen. Namun antrean dosen mengikuti sertifikasi ini amat panjang. Menurut data Dikti (2014) jumlah dosen di Indonesia yang belum tersertifikasi mencapai 61%.
Jikapun sudah bersertifikasi, tunjangan profesi dihentikan ketika menjalankan tugas belajar. Ironisnya lagi, bagi dosen berstatus PNS, mereka juga didiskriminasikan dengan tidak diberikannya tunjangan kinerja yang secara umum menjadi hak sebagai PNS. Sementara itu, tunjangan fungsional dosen tidak pernah dinaikkan sejak 2007 sampai sekarang. Situasi ini tentu saja sulit menarik anak-anak muda terbaik bangsa untuk berkarier di dunia akademik.
Beban Administratif
Persoalan lain juga adalah banyaknya beban administratif. Selain disibukkan dengan penelitian dan pengajaran, dosen juga disibukkan dengan mengisi berbagai isian dan berkas-berkas. Belum lupa rasanya bagaimana dunia pendidikan tinggi dihebohkan oleh kewajiban bagi seluruh dosen untuk mengisi Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD). Kewajiban tersebut membuat para dosen pontangpanting memindai berbagai berkas seperti SK dan berbagai sertifikat, kemudian mengunduhnya ke laman SIPKD.
Akibatnya server jebol berulang kali dan program tersebut tak jelas rimbanya. Aspek-aspek administratif yang melelahkan juga akan terus terjadi sepanjang karier dosen dalam proses pengajuan kenaikan jabatan fungsional. Berniat naik jabatan fungsional berarti juga menyiapkan diri mengumpulkan berkas yang tercecer mulai dari ijazah, jurnal, SK mengajar, jadwal mengajar sampai sertifikat menjadi pembicara di berbagai seminar.
Upaya Pemerintah
Celakanya, cara pemerintah menyikapi rendahnya kualitas dan kuantitas riset dan publikasi dilakukan dengan cara yang cenderung instan. Dirjen Dikti, misalnya, mengeluarkan Surat Edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S- 1, S-2, dan S-3 dengan alasan ketertinggalan dari Malaysia.
Akibatnya, di berbagai kampus dibuatlah jurnal-jurnal tanpa proses peer review untuk menampung skripsi dan tesis mahasiswa. Namun, tak banyak program S-3 yang mengikuti kewajiban publikasi di jurnal internasional.
Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam perangkap jurnal predator. Namun, yang harus dihargai dari upaya pemerintah adalah memberikan beasiswa kepada para dosen dan calon dosen.
Ribuan dosen mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di dalam dan luar negeri baik di tingkat master dan doktoral, walaupun pengelolaan beasiswanya masih jauh dari harapan. Bagaimanapun, ini menjadi investasi yang luar biasa di tengah postur dosen Indonesia yang didominasi oleh dosen bergelar S-2 yang mencapai 59%, diikuti S-1 (25%) dan S-3 yang hanya 11%.
Peluang
Apakah lantas tak ada peluang bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk menggeliat dan bangkit? Tentu saja ada. Jika jadi dibentuk, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi mesti mulai menata ulang dunia pendidikan tinggi. Harus ada cetak biru yang didasarkan pada akar persoalan di lapangan.
Pembenahan infrastruktur riset, fasilitas dasar bekerja bagi dosen, peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan menjadi hal yang utama. Harus ada juga terobosan administratif sehingga terbuka ruang bagi ilmuwan cemerlang dan anak-anak muda berpotensi untuk terserap menjadi dosen tetap.
Ya, sistem rekrutmen dosen yang kaku (seperti rekrutmen birokrat) dan mengedepankan aspek administratif justru menghambat para ilmuwan dan calon ilmuwan cemerlang untuk berkarier di dunia akademik di Indonesia.
Hambatan administratif ini mesti dibongkar karena dalam beberapa tahun ke depan Indonesia sesungguhnya akan mengalami keberlimpahan anak muda bertitel doktor dari dalam dan luar negeri, dari berbagai program beasiswa.
Selain itu, terbuka pada pengembangan keilmuan yang semakin multidisiplin juga menjadi hal yang utama. Pendekatan jurusan/departemen secara kaku dalam proses rekrutmen dosen mesti digantikan dengan rekrutmen berdasarkan keahlian dan portofolio.
Berdasarkan portofolio, seorang ilmuwan cemerlang bereputasi internasional yang telah menghasilkan puluhan paper di jurnal bereputasi tak harus memulai dari jenjang asisten ahli, tapi bisa langsung menjadi lektor kepala atau profesor.
Jika hal-hal di atas bisa jadi komitmen pemerintahan baru, bolehlah kita berharap pada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang akan dibentuk. Jika diabaikan maka yang terjadi hanya memindahkan masalah, atau bahkan memperpanjang jalur birokrasi pendidikan tinggi belaka.
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, dan kandidat Doktor di Doshisha University, Jepang
MENURUT kabar, Jokowi akan memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian: “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah” dan “Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi”. Ide ini menarik untuk menarik gerbong pendidikan tinggi kita dari situasi tidak menguntungkan belakangan ini.
Ketertinggalan
Dunia pendidikan tinggi kita jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasar data ScimagoJR, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Padahal tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961.
Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya, baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di atas UI, masing-masing UM, UKM dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66.
Penyebab Ketertinggalan
Salah satu hal yang menyebabkan situasi di atas bertahan adalah paradigma dunia pendidikan tinggi kita masih tak berbeda jauh dengan sekolah dasar dan menengah, yaitu mengedepankan belajar-mengajar. Dosen masih dianggap sebagai pengajar yang tugasnya hanyalah mengajar. Datang ke kampus untuk mengajar dan kemudian kembali beraktivitas di luar kampus.
Hal ini ditunjang oleh masih kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan riset, membaca ataupun menulis. Sebuah survei dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia menunjukkan 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama- sama.
Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen. Jadi, bagaimana kita mau berbicara hal-hal yang canggih di dunia pendidikan tinggi ketika sarana dasar berupa meja kerja untuk membaca, menulis, atau membimbing mahasiswa dengan layak saja masih jadi persoalan besar bagi sebagian besar dosen di Indonesia? Minimnya aktivitas dosen di dalam kampus selain untuk mengajar juga berangkat dari rendahnya tingkat kesejahteraan.
Rendahnya kesejahteraan memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah pendapatan, mulai jadi pengamat, buka warung sampai menjadi konsultan. Dosen seharusnya bisa fokus bekerja di satu tempat.
Energinya bisa dicurahkan secara maksimal sehingga bisa menghasilkan karya-karya ilmiah berkualitas. Pemerintah memang memiliki proyek sertifikasi dosen. Namun antrean dosen mengikuti sertifikasi ini amat panjang. Menurut data Dikti (2014) jumlah dosen di Indonesia yang belum tersertifikasi mencapai 61%.
Jikapun sudah bersertifikasi, tunjangan profesi dihentikan ketika menjalankan tugas belajar. Ironisnya lagi, bagi dosen berstatus PNS, mereka juga didiskriminasikan dengan tidak diberikannya tunjangan kinerja yang secara umum menjadi hak sebagai PNS. Sementara itu, tunjangan fungsional dosen tidak pernah dinaikkan sejak 2007 sampai sekarang. Situasi ini tentu saja sulit menarik anak-anak muda terbaik bangsa untuk berkarier di dunia akademik.
Beban Administratif
Persoalan lain juga adalah banyaknya beban administratif. Selain disibukkan dengan penelitian dan pengajaran, dosen juga disibukkan dengan mengisi berbagai isian dan berkas-berkas. Belum lupa rasanya bagaimana dunia pendidikan tinggi dihebohkan oleh kewajiban bagi seluruh dosen untuk mengisi Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD). Kewajiban tersebut membuat para dosen pontangpanting memindai berbagai berkas seperti SK dan berbagai sertifikat, kemudian mengunduhnya ke laman SIPKD.
Akibatnya server jebol berulang kali dan program tersebut tak jelas rimbanya. Aspek-aspek administratif yang melelahkan juga akan terus terjadi sepanjang karier dosen dalam proses pengajuan kenaikan jabatan fungsional. Berniat naik jabatan fungsional berarti juga menyiapkan diri mengumpulkan berkas yang tercecer mulai dari ijazah, jurnal, SK mengajar, jadwal mengajar sampai sertifikat menjadi pembicara di berbagai seminar.
Upaya Pemerintah
Celakanya, cara pemerintah menyikapi rendahnya kualitas dan kuantitas riset dan publikasi dilakukan dengan cara yang cenderung instan. Dirjen Dikti, misalnya, mengeluarkan Surat Edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S- 1, S-2, dan S-3 dengan alasan ketertinggalan dari Malaysia.
Akibatnya, di berbagai kampus dibuatlah jurnal-jurnal tanpa proses peer review untuk menampung skripsi dan tesis mahasiswa. Namun, tak banyak program S-3 yang mengikuti kewajiban publikasi di jurnal internasional.
Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam perangkap jurnal predator. Namun, yang harus dihargai dari upaya pemerintah adalah memberikan beasiswa kepada para dosen dan calon dosen.
Ribuan dosen mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di dalam dan luar negeri baik di tingkat master dan doktoral, walaupun pengelolaan beasiswanya masih jauh dari harapan. Bagaimanapun, ini menjadi investasi yang luar biasa di tengah postur dosen Indonesia yang didominasi oleh dosen bergelar S-2 yang mencapai 59%, diikuti S-1 (25%) dan S-3 yang hanya 11%.
Peluang
Apakah lantas tak ada peluang bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk menggeliat dan bangkit? Tentu saja ada. Jika jadi dibentuk, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi mesti mulai menata ulang dunia pendidikan tinggi. Harus ada cetak biru yang didasarkan pada akar persoalan di lapangan.
Pembenahan infrastruktur riset, fasilitas dasar bekerja bagi dosen, peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan menjadi hal yang utama. Harus ada juga terobosan administratif sehingga terbuka ruang bagi ilmuwan cemerlang dan anak-anak muda berpotensi untuk terserap menjadi dosen tetap.
Ya, sistem rekrutmen dosen yang kaku (seperti rekrutmen birokrat) dan mengedepankan aspek administratif justru menghambat para ilmuwan dan calon ilmuwan cemerlang untuk berkarier di dunia akademik di Indonesia.
Hambatan administratif ini mesti dibongkar karena dalam beberapa tahun ke depan Indonesia sesungguhnya akan mengalami keberlimpahan anak muda bertitel doktor dari dalam dan luar negeri, dari berbagai program beasiswa.
Selain itu, terbuka pada pengembangan keilmuan yang semakin multidisiplin juga menjadi hal yang utama. Pendekatan jurusan/departemen secara kaku dalam proses rekrutmen dosen mesti digantikan dengan rekrutmen berdasarkan keahlian dan portofolio.
Berdasarkan portofolio, seorang ilmuwan cemerlang bereputasi internasional yang telah menghasilkan puluhan paper di jurnal bereputasi tak harus memulai dari jenjang asisten ahli, tapi bisa langsung menjadi lektor kepala atau profesor.
Jika hal-hal di atas bisa jadi komitmen pemerintahan baru, bolehlah kita berharap pada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang akan dibentuk. Jika diabaikan maka yang terjadi hanya memindahkan masalah, atau bahkan memperpanjang jalur birokrasi pendidikan tinggi belaka.
(nfl)