Drama Pragmatisme Politik
A
A
A
KOALISI Merah Putih (KMP) menunjukkan dominasinya di parlemen. Dalam sidang pemilihan pimpinan DPR yang berakhir hingga Kamis dini hari kemarin, paket yang diajukan gabungan parpol yang sebelumnya mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tersebut berhasil menguasai seluruh posisi kepemimpinan.
Sukses KMP dalam pertarungan politik di parlemen pun mengokohkan dominasi mereka di parlemen setelah mereka juga memecundangi koalisi yang dipimpin PDIP, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dalam pengesahan Undang-Undang MD3, Tata Tertib DPR, dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Harus diakui, kekalahan KIH tersebut terjadi akibat ketidakmampuan mereka merangkul partai lain agar masuk dalam barisan koalisi hingga mereka gagal memenuhi kuota parpol supaya bisa mengajukan paket.
Padahal mereka sudah mendekati Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bahkan Partai Gerindra agar mau bergabung dengan menyediakan kuota kabinet. Sebenarnya, upaya menambah dukungan tinggal selangkah lagi karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum DPP Partai Demokrat sudah membuka pintu koalisi.
Politisi KIH pun sangat optimistis akan ada tambahan anggota koalisi. Tapi, pertemuan SBY dengan utusan Megawati, termasuk Joko Widodo (Jokowi), tidak membuahkan hasil karena SBY tetap ingin bertemu langsung dengan Megawati. Jika mengedepankan kepentingan rakyat seperti digembargemborkan politisi PDIP di parlemen, semestinya Megawati mengesampingkan persoalan pribadinya dengan SBY.
Kalangan PDIP boleh berkilah ada pihak-pihak yang mengganjal upaya komunikasi Megawati dan SBY. Faktanya, Megawati masih mengedepankan egonya hingga tidak memaksimalkan peluang yang diberikan SBY. Berbagai perilaku yang ditunjukkan di detik-detik krusial kental memperlihatkan drama pragmatisme politik, bukan idealitas politik.
Sejumlah manuver yang ditunjukkan PDIP dkk sudah menunjukkan upaya struggle for power. Barisan KIH berupaya hingga titik darah penghabisan, walk out, untuk mengamankan posisi eksekutif yang sudah mereka kuasai. Perilaku pragmatis lain, there’s no such thing as a free lunch in politics, pun sudah terimplementasikan. Demi menambah dukungan koalisi,sudah siap mengurangi jatah menteri mereka untuk anggota koalisi baru.
Janji tentang koalisi ramping maupun koalisi tanpa pamrih pun berhenti pada kampanye. Jargon pragmatisme politik berupa who gets what, when, and how sebelumnya juga sangat kental terlihat dalam pertarungan UU Pilkada. Parpol yang tergabung dalam KIH sejatinya sebelumnya adalah pendukung pilkada tidak langsung. Ancaman kekuasaanlah yang membuat mereka berubah sikap.
Dengan demikian, alasan membela hak rakyat yang dirampas sebatas alat menarik simpati publik di tengah kedaruratan politik. PDIP dan Megawati pun ternyata sudah melangkah untuk menunjukkan jargon pragmatisme politik lain yakni there is no permanent friend but only permanent interest. Walau selama ini berseberangan dengan Partai Demokrat secara kepartaian dan secara pribadi menyimpan dendam politik, PDIP dan Megawati sudah berusaha merangkul Partai Demokrat dan SBY.
Tapi, pragmatisme politik yang mereka praktikkan ternyata tidak membuahkan hasil. Mengapa tidak berhasil, dalam dunia politik PDIP dkk tentu tidak bisa memaki-maki SBY atau lawan politik di KMP. Sebaliknya, mereka semestinya mempertanyakan pada diri mereka sendiri mengapa gagal. Apakah karena faktor Megawati seperti disebut banyak pengamat atau faktor lain?
Kini, mau tidak mau, kegagalan KIH membangun kekuatan di parlemen menjadi persoalan yang bisa menguras energi pemerintahan ke depan. Namun, semestinya Jokowi tidak perlu terbebani dengan dominasi KMP di parlemen.
Justru kondisi yang ada menjadi momen mengimplementasikan gagasan koalisi ramping yang dikampanyekan dan di sisi lain menjadi eksperimentasi mewujudkan checks and balance. Ada kontrol kuat di parlemen justru menjadi momentum mewujudkan good governance.
Sukses KMP dalam pertarungan politik di parlemen pun mengokohkan dominasi mereka di parlemen setelah mereka juga memecundangi koalisi yang dipimpin PDIP, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dalam pengesahan Undang-Undang MD3, Tata Tertib DPR, dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Harus diakui, kekalahan KIH tersebut terjadi akibat ketidakmampuan mereka merangkul partai lain agar masuk dalam barisan koalisi hingga mereka gagal memenuhi kuota parpol supaya bisa mengajukan paket.
Padahal mereka sudah mendekati Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bahkan Partai Gerindra agar mau bergabung dengan menyediakan kuota kabinet. Sebenarnya, upaya menambah dukungan tinggal selangkah lagi karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum DPP Partai Demokrat sudah membuka pintu koalisi.
Politisi KIH pun sangat optimistis akan ada tambahan anggota koalisi. Tapi, pertemuan SBY dengan utusan Megawati, termasuk Joko Widodo (Jokowi), tidak membuahkan hasil karena SBY tetap ingin bertemu langsung dengan Megawati. Jika mengedepankan kepentingan rakyat seperti digembargemborkan politisi PDIP di parlemen, semestinya Megawati mengesampingkan persoalan pribadinya dengan SBY.
Kalangan PDIP boleh berkilah ada pihak-pihak yang mengganjal upaya komunikasi Megawati dan SBY. Faktanya, Megawati masih mengedepankan egonya hingga tidak memaksimalkan peluang yang diberikan SBY. Berbagai perilaku yang ditunjukkan di detik-detik krusial kental memperlihatkan drama pragmatisme politik, bukan idealitas politik.
Sejumlah manuver yang ditunjukkan PDIP dkk sudah menunjukkan upaya struggle for power. Barisan KIH berupaya hingga titik darah penghabisan, walk out, untuk mengamankan posisi eksekutif yang sudah mereka kuasai. Perilaku pragmatis lain, there’s no such thing as a free lunch in politics, pun sudah terimplementasikan. Demi menambah dukungan koalisi,sudah siap mengurangi jatah menteri mereka untuk anggota koalisi baru.
Janji tentang koalisi ramping maupun koalisi tanpa pamrih pun berhenti pada kampanye. Jargon pragmatisme politik berupa who gets what, when, and how sebelumnya juga sangat kental terlihat dalam pertarungan UU Pilkada. Parpol yang tergabung dalam KIH sejatinya sebelumnya adalah pendukung pilkada tidak langsung. Ancaman kekuasaanlah yang membuat mereka berubah sikap.
Dengan demikian, alasan membela hak rakyat yang dirampas sebatas alat menarik simpati publik di tengah kedaruratan politik. PDIP dan Megawati pun ternyata sudah melangkah untuk menunjukkan jargon pragmatisme politik lain yakni there is no permanent friend but only permanent interest. Walau selama ini berseberangan dengan Partai Demokrat secara kepartaian dan secara pribadi menyimpan dendam politik, PDIP dan Megawati sudah berusaha merangkul Partai Demokrat dan SBY.
Tapi, pragmatisme politik yang mereka praktikkan ternyata tidak membuahkan hasil. Mengapa tidak berhasil, dalam dunia politik PDIP dkk tentu tidak bisa memaki-maki SBY atau lawan politik di KMP. Sebaliknya, mereka semestinya mempertanyakan pada diri mereka sendiri mengapa gagal. Apakah karena faktor Megawati seperti disebut banyak pengamat atau faktor lain?
Kini, mau tidak mau, kegagalan KIH membangun kekuatan di parlemen menjadi persoalan yang bisa menguras energi pemerintahan ke depan. Namun, semestinya Jokowi tidak perlu terbebani dengan dominasi KMP di parlemen.
Justru kondisi yang ada menjadi momen mengimplementasikan gagasan koalisi ramping yang dikampanyekan dan di sisi lain menjadi eksperimentasi mewujudkan checks and balance. Ada kontrol kuat di parlemen justru menjadi momentum mewujudkan good governance.
(nfl)