Pembebasan Bersyarat: Keliru Asal, Meleset Tujuan
A
A
A
JAKARTA - REZA INDRAGIRI AMRIEL
Pakar Psikologi Forensik
Alumnus The University of Melbourne
Anggota World Society of Victimology
KEKESALAN naik ke ubun-ubun saban kali menyimak warta tentang betapa ringannya ganjaran hukum bagi pelaku korupsi.
Yang mutakhir adalah pembebasan bersyarat bagi sejumlah koruptor, walau telah melakukan kejahatan dahsyat, hanya “diinapkan” untuk periode waktu singkat di dalam penjara. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia punya pembelaan diri atas kebijakan tersebut.
Menurut seorang pejabat teras di kementerian itu, pembebasan bersyarat diatur dalam UU No 12/1995 tentang Permasyarakatan. Ia menambahkan, pembebasan bersyarat hendaknya dilihat sebagai langkah penegakan hukum sekaligus untuk menciptakan kepastian hukum.
Kendati bisa diterima nalar, pernyataan sedemikian rupa mengindikasikan bobot filosofis penghukuman yang dianut rezim Kemenkumham saat ini. Perspektif kriminologi masih kental mewarnai corak berpikir kementerian atau setidaknya pejabat tersebut yang ditandai oleh dominannya pertimbangan terhadap kondisi dan hak pelaku kejahatan.
Tilikan viktimologi masih dangkal, empati terhadap korban pun demikian, sebagaimana tampak pada nihilnya pernyataan berisikan kepedulian terhadap para korban (masyarakat Indonesia!) yang telah digagahi para penjahat korupsi. Secara umum dikenal lima jenis doktrin atau filosofi penghukuman yang mendasari pemberian perlakuan terhadap para pelaku kejahatan. Mari kita cermati satu per satu untuk menakar jika ada filosofi di balik pembebasan bersyarat bagi para narapidana korupsi.
Apakah filosofi restorasi? Tentu tidak tepat menyikapi kasus dan pelaku korupsi dengan filosofi tersebut. Pembebasan bersyarat baru dapat dipandang sebagai perlakuan dengan latar filosofi restorasi apabila kelak pelaku berkesempatan berhadap-hadapan secara langsung dengan korbannya. Dengan pertemuan sedemikian rupa, tata kehidupan personal dan sosial yang sudah kadung dirusak koruptor dapat dibenahi kembali.
Di situ pelaku mengutarakan penyesalan dan permintaan maaf, sementara korban boleh memberikan pemaafan dan menuntut ganti rugi langsung dari pelaku. Kondisi semacam itu tidak berlaku dalam kejahatan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, bukan serangan terhadap orang per orang atau kelompok per kelompok. Korupsi merupakan kejahatan besar yang mengoyak seluruh dimensi kehidupan suatu bangsa.
Mungkinkah pembebasan bersyarat dilakukan dengan rehabilitasi sebagai basis filosofisnya? Pun tidak bisa diterima. Faktanya, selain mengirim para narapidana korupsi ke penjara khusus koruptor (misal: Sukamiskin), pemenjaraan tidak disertai dengan program-program yang bersifat merehabilitasi. Dengan kata lain, di dalam penjara penjahat korupsi memperoleh perlakuan yang tidak berbeda dengan penjahatpenjahat selain tindak korupsi.
Penjara khusus bagi narapidana korupsi tak pelak seperti menjadi hotel prodeo bintang empat karena para penghuninya tidak dicampur dengan pelaku kriminalitas jenis lain. Penghukuman dengan doktrin rehabilitasi diselenggarakan sebagai suatu program yang menyasar kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs) di balik perilaku jahat. Jika kebutuhan itu berhasil dikelola secara positif yakni melalui program rehabilitasi, diasumsikan bahwa individu tidak akan lagi mengulangi perilaku jahatnya.
Sebaliknya, apabila dorongandorongan untuk berbuat korupsi ternyata tidak dimodifikasi selama pelaku berada di balik jeruji besi dan itu berarti bahwa penjara telah gagal difungsikan sebagai lingkungan untuk proses belajar ulang, dipastikan bahwa pelaku akan melakukan perbuatan korupsinya setelah mengakhiri masa pemenjaraan. Kalau bukan restorasi dan rehabilitasi, seberapa mungkin pembebasan bersyarat ditegakkan di atas filosofi pembatasan kapasitas (incapacitation) pelaku?
Para pengusung penghukuman dengan filosofi ini memandang bahwa pelaku kriminalitas harus dibatasi mobilitasnya. Aksesnya terhadap sumber daya kejahatan juga harus ditutup. Pemenjaraan menjadi pilihan jenis hukuman. Filosofi ini tak mengena untuk kejahatan jenis korupsi.
Apa pasal? Mobilitas dan kapasitas fisik bukan unsur vital bagi penjahat korupsi. Koruptor bekerja dengan teknologi, mengelabui sistem, memanipulasi aturan, dan kerap kali mengajak kongkalikong aparat penegak hukum.
Untuk menggangsir uang negara, koruptor tidak harus berhadapan secara frontal dengan pihak yang ia viktimisasi. Berbeda dengan bromocorah konvensional semisal pencuri, pemerkosa, pembunuh, dan lainnya. Dengan modus kejahatan yang tidak mengandalkan gerak dan kapasitas fisik, incapacitation kehilangan relevansinya jika diterapkan bagi koruptor.
Jadi tidak hanya pembebasan bersyarat bertolak belakang total dengan incapacitation, doktrin ini juga akan bisa diaplikasikan secara tepat guna hanya apabila kapasitas tidak dibatasi dalam pengertian fisik.
Berikutnya adalah filosofi penangkalan. Hukuman bagi pelaku tindak kejahatan korupsi dinilai menimbulkan efek tangkal jika pelaku tidak mau lagi mengulangi perbuatan kriminalnya dan pihak lain tidak mau meniru perilaku serupa. Berbasis pada hukum sebabakibat, filosofi penangkalan menuntut ada pertimbangan dijatuhkan jenis perlakuan (hukuman) yang tepat agar koruptor tidak melakukan korupsi kembali.
Juga agar warga masyarakat tidak terinspirasi untuk menampilkan kelakuan kotor bak hewan pengerat itu. Doktrin penangkalan berjalan efektif ketika negara juga telah membangun sistem pemantauan gerak narapidana korupsi pascapemenjaraan.
Tanpa sistem pemantauan itu, pembebasan bersyarat tak lebih dari pembebasan musang ke kandang itik. Sampai kapan pun dipuasakan dengan cara apa pun, tidak akan pernah musang menjadi vegetarian.
Filosofi kelima adalah balas dendam. Dinilai sebagai doktrin paling purba, hukuman bagi bandit harus menyakitkan. Pelaku kejahatan harus dibikin menderita. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Semakin berat tipe kejahatan si pelaku, semakin brutal pula hukuman yang ditimpakan kepadanya.
Apakah pelaku jera atau kelak mengulangi perbuatannya, tidak terlalu dipusingkan. Apakah kerugian korban dapat dipulihkan, itu isu nomor sekian. Apakah orang lain mendapat pembelajaran dari kesakitan pelaku, bukan tujuan yang ingin direalisasikan.
Pokoknya, tak lain, kriminal harus diempas ke jurang rasa pedih dan sedih. Kematian penjahat juga dianggap sah-sah saja. Pembebasan bersyarat, lagi-lagi, berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan filosofi balas dendam. Lima doktrin penghukuman telah diuraikan. Pembebasan bersyarat sebagai “langkah penegakan hukum”, di mata saya, sungguh-sungguh tidak berkesesuaian dengan doktrin mana pun.
Bahkan kontras dengan serbaneka rasionalisasi di balik pembebasan bersyarat, melihat situasi penegakan hukum khususnya terhadap kejahatan korupsi saat ini, penjatuhan sanksi sekeji mungkin bagi pelaku kejahatan luar biasa itu saya yakin sebagai pilihan realistis yang sangat dinanti-nanti bukan hanya oleh saya. Allahu a’lam.
Pakar Psikologi Forensik
Alumnus The University of Melbourne
Anggota World Society of Victimology
KEKESALAN naik ke ubun-ubun saban kali menyimak warta tentang betapa ringannya ganjaran hukum bagi pelaku korupsi.
Yang mutakhir adalah pembebasan bersyarat bagi sejumlah koruptor, walau telah melakukan kejahatan dahsyat, hanya “diinapkan” untuk periode waktu singkat di dalam penjara. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia punya pembelaan diri atas kebijakan tersebut.
Menurut seorang pejabat teras di kementerian itu, pembebasan bersyarat diatur dalam UU No 12/1995 tentang Permasyarakatan. Ia menambahkan, pembebasan bersyarat hendaknya dilihat sebagai langkah penegakan hukum sekaligus untuk menciptakan kepastian hukum.
Kendati bisa diterima nalar, pernyataan sedemikian rupa mengindikasikan bobot filosofis penghukuman yang dianut rezim Kemenkumham saat ini. Perspektif kriminologi masih kental mewarnai corak berpikir kementerian atau setidaknya pejabat tersebut yang ditandai oleh dominannya pertimbangan terhadap kondisi dan hak pelaku kejahatan.
Tilikan viktimologi masih dangkal, empati terhadap korban pun demikian, sebagaimana tampak pada nihilnya pernyataan berisikan kepedulian terhadap para korban (masyarakat Indonesia!) yang telah digagahi para penjahat korupsi. Secara umum dikenal lima jenis doktrin atau filosofi penghukuman yang mendasari pemberian perlakuan terhadap para pelaku kejahatan. Mari kita cermati satu per satu untuk menakar jika ada filosofi di balik pembebasan bersyarat bagi para narapidana korupsi.
Apakah filosofi restorasi? Tentu tidak tepat menyikapi kasus dan pelaku korupsi dengan filosofi tersebut. Pembebasan bersyarat baru dapat dipandang sebagai perlakuan dengan latar filosofi restorasi apabila kelak pelaku berkesempatan berhadap-hadapan secara langsung dengan korbannya. Dengan pertemuan sedemikian rupa, tata kehidupan personal dan sosial yang sudah kadung dirusak koruptor dapat dibenahi kembali.
Di situ pelaku mengutarakan penyesalan dan permintaan maaf, sementara korban boleh memberikan pemaafan dan menuntut ganti rugi langsung dari pelaku. Kondisi semacam itu tidak berlaku dalam kejahatan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, bukan serangan terhadap orang per orang atau kelompok per kelompok. Korupsi merupakan kejahatan besar yang mengoyak seluruh dimensi kehidupan suatu bangsa.
Mungkinkah pembebasan bersyarat dilakukan dengan rehabilitasi sebagai basis filosofisnya? Pun tidak bisa diterima. Faktanya, selain mengirim para narapidana korupsi ke penjara khusus koruptor (misal: Sukamiskin), pemenjaraan tidak disertai dengan program-program yang bersifat merehabilitasi. Dengan kata lain, di dalam penjara penjahat korupsi memperoleh perlakuan yang tidak berbeda dengan penjahatpenjahat selain tindak korupsi.
Penjara khusus bagi narapidana korupsi tak pelak seperti menjadi hotel prodeo bintang empat karena para penghuninya tidak dicampur dengan pelaku kriminalitas jenis lain. Penghukuman dengan doktrin rehabilitasi diselenggarakan sebagai suatu program yang menyasar kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs) di balik perilaku jahat. Jika kebutuhan itu berhasil dikelola secara positif yakni melalui program rehabilitasi, diasumsikan bahwa individu tidak akan lagi mengulangi perilaku jahatnya.
Sebaliknya, apabila dorongandorongan untuk berbuat korupsi ternyata tidak dimodifikasi selama pelaku berada di balik jeruji besi dan itu berarti bahwa penjara telah gagal difungsikan sebagai lingkungan untuk proses belajar ulang, dipastikan bahwa pelaku akan melakukan perbuatan korupsinya setelah mengakhiri masa pemenjaraan. Kalau bukan restorasi dan rehabilitasi, seberapa mungkin pembebasan bersyarat ditegakkan di atas filosofi pembatasan kapasitas (incapacitation) pelaku?
Para pengusung penghukuman dengan filosofi ini memandang bahwa pelaku kriminalitas harus dibatasi mobilitasnya. Aksesnya terhadap sumber daya kejahatan juga harus ditutup. Pemenjaraan menjadi pilihan jenis hukuman. Filosofi ini tak mengena untuk kejahatan jenis korupsi.
Apa pasal? Mobilitas dan kapasitas fisik bukan unsur vital bagi penjahat korupsi. Koruptor bekerja dengan teknologi, mengelabui sistem, memanipulasi aturan, dan kerap kali mengajak kongkalikong aparat penegak hukum.
Untuk menggangsir uang negara, koruptor tidak harus berhadapan secara frontal dengan pihak yang ia viktimisasi. Berbeda dengan bromocorah konvensional semisal pencuri, pemerkosa, pembunuh, dan lainnya. Dengan modus kejahatan yang tidak mengandalkan gerak dan kapasitas fisik, incapacitation kehilangan relevansinya jika diterapkan bagi koruptor.
Jadi tidak hanya pembebasan bersyarat bertolak belakang total dengan incapacitation, doktrin ini juga akan bisa diaplikasikan secara tepat guna hanya apabila kapasitas tidak dibatasi dalam pengertian fisik.
Berikutnya adalah filosofi penangkalan. Hukuman bagi pelaku tindak kejahatan korupsi dinilai menimbulkan efek tangkal jika pelaku tidak mau lagi mengulangi perbuatan kriminalnya dan pihak lain tidak mau meniru perilaku serupa. Berbasis pada hukum sebabakibat, filosofi penangkalan menuntut ada pertimbangan dijatuhkan jenis perlakuan (hukuman) yang tepat agar koruptor tidak melakukan korupsi kembali.
Juga agar warga masyarakat tidak terinspirasi untuk menampilkan kelakuan kotor bak hewan pengerat itu. Doktrin penangkalan berjalan efektif ketika negara juga telah membangun sistem pemantauan gerak narapidana korupsi pascapemenjaraan.
Tanpa sistem pemantauan itu, pembebasan bersyarat tak lebih dari pembebasan musang ke kandang itik. Sampai kapan pun dipuasakan dengan cara apa pun, tidak akan pernah musang menjadi vegetarian.
Filosofi kelima adalah balas dendam. Dinilai sebagai doktrin paling purba, hukuman bagi bandit harus menyakitkan. Pelaku kejahatan harus dibikin menderita. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Semakin berat tipe kejahatan si pelaku, semakin brutal pula hukuman yang ditimpakan kepadanya.
Apakah pelaku jera atau kelak mengulangi perbuatannya, tidak terlalu dipusingkan. Apakah kerugian korban dapat dipulihkan, itu isu nomor sekian. Apakah orang lain mendapat pembelajaran dari kesakitan pelaku, bukan tujuan yang ingin direalisasikan.
Pokoknya, tak lain, kriminal harus diempas ke jurang rasa pedih dan sedih. Kematian penjahat juga dianggap sah-sah saja. Pembebasan bersyarat, lagi-lagi, berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan filosofi balas dendam. Lima doktrin penghukuman telah diuraikan. Pembebasan bersyarat sebagai “langkah penegakan hukum”, di mata saya, sungguh-sungguh tidak berkesesuaian dengan doktrin mana pun.
Bahkan kontras dengan serbaneka rasionalisasi di balik pembebasan bersyarat, melihat situasi penegakan hukum khususnya terhadap kejahatan korupsi saat ini, penjatuhan sanksi sekeji mungkin bagi pelaku kejahatan luar biasa itu saya yakin sebagai pilihan realistis yang sangat dinanti-nanti bukan hanya oleh saya. Allahu a’lam.
(kri)