Dana Desa: Berkah atau Petaka?
A
A
A
Pemerintahan desa memasuki babak baru dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka resmi mendapat alokasi anggaran dana desa sebesar Rp9,06 triliun dalam APBN 2015.
Dengan ada dana yang langsung mengucur ke desa, pemerintah desa kini mempunyai otonomi melakukan pembangunan di wilayah masing-masing.
Dana tersebut sejatinya bukan anggaran baru karena diambilkan dari jatah desa yang selama ini dikucurkan lewat nomenklatur lain seperti pada pos sosial berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang berada di Kementerian Dalam Negeri; dan anggaran Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) yang dikelola Kementerian Pekerjaan Umum.
Pengucuran dana tersebut mereka bagian penting dari implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasar kajian akademik saat masih berupa rancangan, keberadaan dana desa merupakan wujud upaya pemberdayaan untuk desa lebih maju dan mandiri. Keberadaan nomenklatur anggaran desa dalam APBN juga diarahkan untuk mengefektifkan anggaran.
Selama ini anggaran desa yang dialokasikan melalui kementerian tidak tepat sasaran. Alokasi dana tersendiri memang langkah strategis untuk mewujudkan pembangunan desa.
Dengan mengelola dana sendiri, desa telah ditempatkan sebagai subjek sesungguhnya dari pembangunan karena mendorong perangkat desa dan masyarakat aktif memegang peranan pembangunan karena merekalah yang memahami secara utuh persoalan dan kebutuhan desa. Selama ini, walau sudah otonomi daerah, implementasinya harus diakui baru berhenti pada level kabupaten.
Semua anggaran pembangunan, baik dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK) mengucur lewat kabupaten. Dengan demikian, posisi desa masih termarginalkan karena masih sebatas menjadi objek dan pemanfaatan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban sepenuhnya bergantung pada pemerintah kabupaten atau bupati. Selain mematikan daya inisiatif desa, pengelolaan dana juga berpotensi tidak tepat sasaran.
Akibat panjang rantai birokrasi yang harus dilewati, dana yang cair ke desa seringkali mengalami penyusutan. Imbasnya sudah barang tentu kualitas dari program atau proyek semakin menurun.
Dalam banyak kasus, dana pembangunan desa yang dilewatkan kabupaten sering dimanfaatkan sebagai alat politik untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Keberadaan dana yang langsung mengucur ke desa secara teoritis semestinya bisa menyelesaikan problem yang ada sebelumnya.
Namun, harus diantisipasi, jangan-jangan dana desa justru menciptakan problem baru, terutama terkait kapasitas manajerial dan kesiapan mental, khususnya kepala desa. Sisi manajemen terkait erat dengan kesiapan kepala desa mengelola dana dan menentukan pembangunan sehingga dana yang menjadi kewenanganya tidak sia-sia.
Dalam masa transisi, pemerintah kabupaten harus menyiapkan prakondisi dengan memberi pelatihan manajerial dan melakukan pengawalan sehingga pemanfaatan dana desa bisa maksimal.
Kesiapan mental aparat desa juga patut menjadi atensi agar dana yang cukup besar itu tidak menguap begitu saja. Jangan sampai nasibnya sama dengan mayoritas kepala desa. Dari 524 kepala daerah, 318 orang di antaranya tersangkut kasus korupsi.
Harus diakui, pemilihan kepala desa selama ini sangat padat modal hingga mendorong perilaku koruptif dengan memanfaatkan posisi yang didudukinya.
Karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum sudah seharusnya turun gunung melakukan pengawasan. Terlepas dari kekhawatiran tersebut, dana desa adalah keniscayaan karena sangat strategis mendorong terwujud kemandirian dan pembangunan desa.
Dana desa adalah fondasi konkret pembangunan berbasis desa sehingga keberadaannya semestinya bisa menjadi solusi ketimpangan pembangunan desa-kota, mengurangi urbanisasi, dan akhirnya akan mewujudkan pemerataan kesejahteraan. ●
Dengan ada dana yang langsung mengucur ke desa, pemerintah desa kini mempunyai otonomi melakukan pembangunan di wilayah masing-masing.
Dana tersebut sejatinya bukan anggaran baru karena diambilkan dari jatah desa yang selama ini dikucurkan lewat nomenklatur lain seperti pada pos sosial berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang berada di Kementerian Dalam Negeri; dan anggaran Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) yang dikelola Kementerian Pekerjaan Umum.
Pengucuran dana tersebut mereka bagian penting dari implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasar kajian akademik saat masih berupa rancangan, keberadaan dana desa merupakan wujud upaya pemberdayaan untuk desa lebih maju dan mandiri. Keberadaan nomenklatur anggaran desa dalam APBN juga diarahkan untuk mengefektifkan anggaran.
Selama ini anggaran desa yang dialokasikan melalui kementerian tidak tepat sasaran. Alokasi dana tersendiri memang langkah strategis untuk mewujudkan pembangunan desa.
Dengan mengelola dana sendiri, desa telah ditempatkan sebagai subjek sesungguhnya dari pembangunan karena mendorong perangkat desa dan masyarakat aktif memegang peranan pembangunan karena merekalah yang memahami secara utuh persoalan dan kebutuhan desa. Selama ini, walau sudah otonomi daerah, implementasinya harus diakui baru berhenti pada level kabupaten.
Semua anggaran pembangunan, baik dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK) mengucur lewat kabupaten. Dengan demikian, posisi desa masih termarginalkan karena masih sebatas menjadi objek dan pemanfaatan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban sepenuhnya bergantung pada pemerintah kabupaten atau bupati. Selain mematikan daya inisiatif desa, pengelolaan dana juga berpotensi tidak tepat sasaran.
Akibat panjang rantai birokrasi yang harus dilewati, dana yang cair ke desa seringkali mengalami penyusutan. Imbasnya sudah barang tentu kualitas dari program atau proyek semakin menurun.
Dalam banyak kasus, dana pembangunan desa yang dilewatkan kabupaten sering dimanfaatkan sebagai alat politik untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Keberadaan dana yang langsung mengucur ke desa secara teoritis semestinya bisa menyelesaikan problem yang ada sebelumnya.
Namun, harus diantisipasi, jangan-jangan dana desa justru menciptakan problem baru, terutama terkait kapasitas manajerial dan kesiapan mental, khususnya kepala desa. Sisi manajemen terkait erat dengan kesiapan kepala desa mengelola dana dan menentukan pembangunan sehingga dana yang menjadi kewenanganya tidak sia-sia.
Dalam masa transisi, pemerintah kabupaten harus menyiapkan prakondisi dengan memberi pelatihan manajerial dan melakukan pengawalan sehingga pemanfaatan dana desa bisa maksimal.
Kesiapan mental aparat desa juga patut menjadi atensi agar dana yang cukup besar itu tidak menguap begitu saja. Jangan sampai nasibnya sama dengan mayoritas kepala desa. Dari 524 kepala daerah, 318 orang di antaranya tersangkut kasus korupsi.
Harus diakui, pemilihan kepala desa selama ini sangat padat modal hingga mendorong perilaku koruptif dengan memanfaatkan posisi yang didudukinya.
Karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum sudah seharusnya turun gunung melakukan pengawasan. Terlepas dari kekhawatiran tersebut, dana desa adalah keniscayaan karena sangat strategis mendorong terwujud kemandirian dan pembangunan desa.
Dana desa adalah fondasi konkret pembangunan berbasis desa sehingga keberadaannya semestinya bisa menjadi solusi ketimpangan pembangunan desa-kota, mengurangi urbanisasi, dan akhirnya akan mewujudkan pemerataan kesejahteraan. ●
(ysw)