Impor Ikan Asin
A
A
A
PERSOALAN ketahanan pangan salah satu agenda besar yang harus dibenahi segera oleh pemerintah baru di bawah komando duet Jokowi-JK.
Selama ini santer terdengar untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang berjumlah 250 juta di negeri ini, sebanyak 65% disuplai melalui impor. Angka impor komoditas pangan tersebut seringkali disanggah pemerintah, namun tak dibarengi angka impor pangan yang sesungguhnya seberapa banyak.
Apalagi sejumlah bahan pangan yang seharusnya tidak perlu diimpor seperti singkong dan garam turut menghiasi angka-angka impor versi Badan Pusat Statistik (BPS).
Data terbaru yang cukup mengagetkan ternyata Indonesia juga rutin mengimpor ikan asin. Dalam lima tahun terakhir ini, berdasarkan keterangan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor ikan asin terus bergeliat.
Data terbaru untuk periode sejak Januari hingga Juli tahun ini sudah menembus sebesar USD53.229 atau sekitar 1.242 kilogram. Itu yang termonitor oleh Kemendag. Angka impor ikan asin tersebut memang terlihat masih tipis, namun sangat ironis bila dikaitkan dengan potensi negeri ini yang kaya akan sumber daya laut atau perikanan.
Yang menarik, sumber ikan asin impor tersebut berasal dari sejumlah negara maju seperti Inggris, Singapura, Jepang, dan Hong Kong. Menanggapi aktivitas impor ikan asin tersebut, pemerintah menilai belum ada yang perlu dikhawatirkan.
Alasannya, sebagaimana ditegaskan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi, Indonesia memang mengimpor ikan asin untuk beberapa jenis ikan asin yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Kalau itu alasan pemerintah tetap membuka keran impor ikan asin, masih bisa diterima logika.
Yang dikhawatirkan, jangan sampai pasar domestik ikan asin justru dikuasai komoditas impor. Pengalaman menunjukkan sejumlah bahan pangan telah merambah pasar domestik mulai dari bawang putih dan bawang merah hingga cabai kecil dipasok dari Tiongkok.
Terlepas dari persoalan importasi ikan asin tersebut, saatnya negeri ini menjadi pemasok utama untuk memenuhi kebutuhan pangan dari sumber daya laut kepada masyarakat ASEAN.
Thailand sudah mencatatkan diri sebagai pemain utama selaku pengekspor ikan tuna di pasar Asia. Padahal, kepemilikan wilayah laut Negeri Gajah Putih hanya sekitar 205.600 km2 yang menghasilkan 800.000 ton ikan tuna per tahun.
Itu tidak adil bila dibandingkan dengan wilayah laut Indonesia yang mencapai sekitar 5,8 juta km2, tetapi hanya menghasilkan 600.000 ton ikan tuna per tahun.
Yang menggelikan, sumber ikan tuna Thailand justru disinyalir berasal dari laut Indonesia. Penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut Indonesia oleh kapal Thailand bukan lagi berita baru.
Modusnya, menurut Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yon Vitner, pihak Thailand memanfaatkan celah aturan pemerintah yang tidak tegas. Di antaranya syarat untuk mengantongi izin berlayar dan menangkap ikan di lautan Indonesia cukup mudah.
Celakanya, syarat mendapatkan izin yang gampang tersebut tidak dibarengi pengawasan yang ketat. Lalu, alasan klasik muncul bahwa untuk menjaga wilayah laut yang amat luas itu sangat sulit sebab sumber daya manusia yang terbatas dan peralatan seadanya dengan kecanggihan yang jauh tertinggal dibandingkan peralatan para pelaku penangkapan ikan ilegal.
Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya memiliki 27 kapal pengawas dan tahun depan baru akan ditambah empat unit lagi. Peralatan yang terbatas dan sumber daya manusia yang kurang itu harus segera diatasi.
Jangan biarkan negara lain menikmati sumber daya laut yang potensial ini. Sebenarnya, pengawasan laut kita tidak hanya dibebankan kepada KKP, otoritas keamanan dalam hal ini TNI Angkatan Laut juga tidak lepastangan, tetapi mengapa masih terus kebobolan oleh para penangkap ikan ilegal dari negara lain.
Ini menunjukkan betapa seriusnya untuk segera menyikapi masalah ini. Cermin untuk mengamankan wilayah laut tak ada salahnya menengok Australia.
Pemerintah Australia melakukan berbagai cara dengan melibatkan sejumlah peralatan canggih helikopter, pesawat jet, hingga kapal tempur untuk mengamankan wilayah lautnya dengan konsisten dan tegas.
Selama ini santer terdengar untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang berjumlah 250 juta di negeri ini, sebanyak 65% disuplai melalui impor. Angka impor komoditas pangan tersebut seringkali disanggah pemerintah, namun tak dibarengi angka impor pangan yang sesungguhnya seberapa banyak.
Apalagi sejumlah bahan pangan yang seharusnya tidak perlu diimpor seperti singkong dan garam turut menghiasi angka-angka impor versi Badan Pusat Statistik (BPS).
Data terbaru yang cukup mengagetkan ternyata Indonesia juga rutin mengimpor ikan asin. Dalam lima tahun terakhir ini, berdasarkan keterangan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor ikan asin terus bergeliat.
Data terbaru untuk periode sejak Januari hingga Juli tahun ini sudah menembus sebesar USD53.229 atau sekitar 1.242 kilogram. Itu yang termonitor oleh Kemendag. Angka impor ikan asin tersebut memang terlihat masih tipis, namun sangat ironis bila dikaitkan dengan potensi negeri ini yang kaya akan sumber daya laut atau perikanan.
Yang menarik, sumber ikan asin impor tersebut berasal dari sejumlah negara maju seperti Inggris, Singapura, Jepang, dan Hong Kong. Menanggapi aktivitas impor ikan asin tersebut, pemerintah menilai belum ada yang perlu dikhawatirkan.
Alasannya, sebagaimana ditegaskan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi, Indonesia memang mengimpor ikan asin untuk beberapa jenis ikan asin yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Kalau itu alasan pemerintah tetap membuka keran impor ikan asin, masih bisa diterima logika.
Yang dikhawatirkan, jangan sampai pasar domestik ikan asin justru dikuasai komoditas impor. Pengalaman menunjukkan sejumlah bahan pangan telah merambah pasar domestik mulai dari bawang putih dan bawang merah hingga cabai kecil dipasok dari Tiongkok.
Terlepas dari persoalan importasi ikan asin tersebut, saatnya negeri ini menjadi pemasok utama untuk memenuhi kebutuhan pangan dari sumber daya laut kepada masyarakat ASEAN.
Thailand sudah mencatatkan diri sebagai pemain utama selaku pengekspor ikan tuna di pasar Asia. Padahal, kepemilikan wilayah laut Negeri Gajah Putih hanya sekitar 205.600 km2 yang menghasilkan 800.000 ton ikan tuna per tahun.
Itu tidak adil bila dibandingkan dengan wilayah laut Indonesia yang mencapai sekitar 5,8 juta km2, tetapi hanya menghasilkan 600.000 ton ikan tuna per tahun.
Yang menggelikan, sumber ikan tuna Thailand justru disinyalir berasal dari laut Indonesia. Penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut Indonesia oleh kapal Thailand bukan lagi berita baru.
Modusnya, menurut Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yon Vitner, pihak Thailand memanfaatkan celah aturan pemerintah yang tidak tegas. Di antaranya syarat untuk mengantongi izin berlayar dan menangkap ikan di lautan Indonesia cukup mudah.
Celakanya, syarat mendapatkan izin yang gampang tersebut tidak dibarengi pengawasan yang ketat. Lalu, alasan klasik muncul bahwa untuk menjaga wilayah laut yang amat luas itu sangat sulit sebab sumber daya manusia yang terbatas dan peralatan seadanya dengan kecanggihan yang jauh tertinggal dibandingkan peralatan para pelaku penangkapan ikan ilegal.
Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya memiliki 27 kapal pengawas dan tahun depan baru akan ditambah empat unit lagi. Peralatan yang terbatas dan sumber daya manusia yang kurang itu harus segera diatasi.
Jangan biarkan negara lain menikmati sumber daya laut yang potensial ini. Sebenarnya, pengawasan laut kita tidak hanya dibebankan kepada KKP, otoritas keamanan dalam hal ini TNI Angkatan Laut juga tidak lepastangan, tetapi mengapa masih terus kebobolan oleh para penangkap ikan ilegal dari negara lain.
Ini menunjukkan betapa seriusnya untuk segera menyikapi masalah ini. Cermin untuk mengamankan wilayah laut tak ada salahnya menengok Australia.
Pemerintah Australia melakukan berbagai cara dengan melibatkan sejumlah peralatan canggih helikopter, pesawat jet, hingga kapal tempur untuk mengamankan wilayah lautnya dengan konsisten dan tegas.
(hyk)