Hadirkan Fakta yang Benar

Kamis, 25 September 2014 - 15:20 WIB
Hadirkan Fakta yang...
Hadirkan Fakta yang Benar
A A A
SAYA mendengarkan dan membaca dengan seksama surat tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) pada persidangan lalu.

Sungguh surat tuntutan dengan sungguh-sungguh disiapkan dan disusun dengan sangat lengkap. Pastilah hal tersebut hasil dari kerja keras tim yang hebat dan kompak. Sebagai terdakwa, saya sangat menghargai dan menghormati itu.

Tanpa mengurangi apresiasi dan rasa hormat tersebut, izinkan saya sebagai terdakwa untuk menyatakan bahwa surat tuntutan yang lengkap tersebut tidak memasukkan unsur keadilan, objektivitas, dan fakta-fakta persidangan yang tergelar secara terbuka sepanjang persidangan ini berlangsung. Saya tidak tahu mengapa hal demikian bisa terjadi.

Apakah karena kealpaan, kesengajaan, atau lantaran keterpaksaan. Apa pun sebab dan alasannya, apakah karena sengaja, alpa semata, atau terpaksa, mengabaikan fakta-fakta persidangan adalah pilihan yang tidak objektif dan tidak menghormati persidangan.

Karena itulah, ketika di dalam surat tuntutan ada pujian yang bertubi-tubi kepada majelis hakim, sungguh pujian tersebut tidak mempunyai sambungan batin dengan diabaikannya fakta-fakta persidangan yang terungkap di persidangan ini bagian penting dari keberhasilan kepemimpinan ketua majelis hakim yang dibantu para anggota majelis hakim?

Jika salah satu hasil kepemimpinan majelis hakim yakni fakta-fakta persidangan tidak dihargai dan malah disepelekan, pujian di dalam surat tuntutan tersebut adalah pujian formal-prosedural semata dan bukan pujian yang otentiksubstansial. Salah satu cara terbaik untuk menghormati persidangan, termasuk atas kepemimpinan majelis hakim adalah menghormati dan memuliakan faktafakta persidangan.

Di situlah juga bersemayam objektivitas, fairness, dan keadilan, nilainilai yang sangat penting dalam proses penegakan hukum yang benar-benar diorientasikan untuk menemukan kebenaran dan keadilan sejati.

Ketika JPU di dalam menyusun surat tuntutan memalingkan muka dari fakta-fakta persidangan, itu tidak bisa dibedakan dengan berpaling dari kebenaran. Kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan di persidangan berada pada fakta-fakta persidangan dari para saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah.

Surat tuntutan yang disusun dengan meremehkan fakta-fakta persidangan sulit dibedakan dari ekspresi kemarahandankebencian melalui sarana penegakan hukum. Demikian halnya menjadi dipisahkan dari pemaksaan dan kekerasan hukum kepada warga negara.

Jika dalam konteks sistem politik yang otoritarian dan absolut berpotensi untuk terjadi kekerasan politik, dalam konteks sistem penegakan hukum yang hegemonik dan absolut juga mudah tergelincir pada kecenderungan dan praktik kekerasan hukum.

Sesuatu yang seharusnya dihindari aparat penegak hukum yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan keadilan. JPU sebagai aparat penegak hukum yang bertugas atas nama kepentingan publik berkewajiban menegakkan keadilan dengan cara menjadikan fakta-fakta persidangan sebagai bahan untuk menyusun surat tuntutan.

Jika fakta-fakta persidangan sebagai salah satu dari hasil persidangan yang dipimpin majelis hakim tidak digunakan sebagai dasar, disepelekan, dan diabaikan, pertanyaannya adalah apakah persidangan ini hanya seremonial dan sekadar sebagai alat untuk menjustifikasi ada tuntutan yang berat?

Mencermati tuntutan yang diajukan JPU, sungguh itu tuntutan yang sangat lengkap, berat, dan di luar akal sehat. Lengkap karena merupakan gabungan dari hukuman badan, uang pengganti, perampasan aset, denda, dan pencabutan hak sipil. Berat karena tidak sejalan dengan fakta-fakta persidangan yang sudah tergelar secara terbuka di depan publik.

Di luar akal sehat karena tidak bisa dibedakan dari ekspresi kemarahan, kebencian, dan kezaliman. Sangat mungkin tuntutan yang sangat berat dan sulit dicerna akal waras ini karena terdakwa dituduh melakukan obstruction of justice .

Bagaimana seorang terdakwa yang ditahan, dicabut kebebasannya, tidak mempunyai kewenangan dan kekuasaan, disebut melakukan obstruction of justice, atau menghalang-halangi keadilan?

Apa yang dilakukan terdakwa di persidangan adalah berusaha menggali fakta-fakta selengkap mungkin agar bisa dinilai dengan tepat, adil, dan proporsional tentang perkara yang sedang didakwakan. Semua juga atas izin dari majelis hakim yang tentu mempunyai takaran tentang kepantasan dan kepatutan dalam persidangan.

Semestinya yang dinilai sebagai obstruction of justice adalah perencanaan dan tindakan-tindakan yang dilakukan M Nazaruddin, para anak buahnya, dan pihak lain yang bertujuan mencelakakan terdakwa secara hukum, termasuk memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar secara sistematis.

Jika apa yang dilakukan terdakwa di persidangan untuk secara sungguh-sungguh menghasilkan fakta-fakta yang otentik dan lengkap dianggap sebagai obstruction of justice, apakah artinya terdakwa yang diam dan pasrah, menyerah pada dakwaan meskipun dakwaan tersebut tidak benar, dianggap sebagai mendukung keadilan?

Jika itu yang dianggap benar dan dinilai sejalan dengan tujuan penegakan hukum, perlu ditegaskan sejak awal bahwa terdakwa yang baik dan teladan adalah yang pasrah dengan dakwaan dan menerima begitu saja di dalam proses persidangan.

Tapi, saya yakin kita semua yang cinta dan berkomitmen menegakkan keadilan akan setuju dan mendukung kontestasi yang adil antara JPU dan terdakwa, semata-mata untuk menemukan kebenaran materiil yang akan dinilai majelis hakim berdasarkan aturan hukum dan keyakinannya.

Sebelum mengakhiri nota pembelaan (pleidoi) ini izinkanlah saya menyampaikan ihwal yang semoga bisa melengkapi makna, substansi, spirit, dan pesan dasar dari pleidoi ini. Sejak awal perkara yang didakwakan kepada saya tidak terlepas dari dinamika dan kepentingan politik, setidak-tidaknya di internal Partai Demokrat, tangan kekuasaan, dan digiring sedemikian rupa oleh orkestra opini karena sebagian kekuatan opini sulit dipisahkan dari kekuatan dan kepentingan politik.

Hari-hari belakangan ini orkestrasi opini untuk membangun persepsi, termasukuntukmemengaruhi persepsi, perspektif, dan keyakinanhakim. Kendati demikian, saya yakin fakta-fakta hukum di persidangan lebih kuat dibandingkan dengan opini dan persepsi yang secara sistematis dibangun media-media tertentu.

Saya hanya ingin mengangkat sedikit mutiara nilai kearifan Jawa yakni ojo dumeh danojo adigang, adigung, adiguna. Secara sederhana “ojo dumeh “ bermakna pesan “jangan sombong” dan “jangan mentang-mentang”.

Sedangkan “ojo adigang, adigung, adiguna“ juga bermakna pesan dan peringatan kepada siapa pun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan, kekuasaan, dan kewenangan) untuk tidak bersikap sewenang-wenang.

Agar siapa yang mempunyai kekuatan, kedudukan, kekuasaan, dan kewenangantidakterjebakpada sikap “sapa sira, sapa ingsun“, “siapa kamu, siapa aku”. Segala sesuatu ada batasnya ada pula masanya. Ada akhirnya dan ada pula akhirnya.

Ihwal ini amat relevan dengan ajaran, komitmen, dan spirit keadilan di dalam proses penegakan hukum. Di atas segalanya ada kekuasaan Tuhan dan “Gusti ora sare“, “Tuhan tidak tidur”. Tuhan menuntun karma mencari alamatnya sendiri-sendiri sesuai logika alam dan ketentuan Tuhan. Wamakaruu wamakarallah, Wa Allahu khoirul makirin.

ANAS URBANINGRUM
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6981 seconds (0.1#10.140)