Dua Presiden
A
A
A
ANDI SYAFRANI
Praktisi Hukum dan
Tenaga Pengajar di UIN Jakarta
SAAT ini Indonesia memiliki dua presiden: Susilo Bambang Yudhoyono, presiden keenam Indonesia yang masih berkuasa hingga akhir masa jabatannya; dan Joko Widodo, calon presiden terpilih hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang pada akhir Oktober nanti akan dilantik menjadi presiden ketujuh.
Kenapa disebut ada dua presiden saat ini? Pertama, karena Joko Widodo telah mendapatkan pengawalan Paspampres, unit khusus TNI yang dalam tugas pokok dan fungsinya hanya mengawal presiden dan wakil presiden berikut keluarganya. Sebagaimana diketahui, sejak 22 Agustus 2014, KPU telah menyerahkan pengawalan keamanan Jokowi dari Polri ke Paspampres.
Jokowi juga telah mendapatkan fasilitas mobil khusus sebagai bagian dari pengamanan tersebut. Kedua, Jokowi telah melakukan tindakan acting president dengan membentuk Tim Transisi dan memberikan pernyataan-pernyataan terkait rencana kebijakan nasional.
Mengenai ini, Jokowi bahkan telah bertemu beberapa kali dengan SBY untuk membicarakan hal-hal strategis kebijakan publik, seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak.
Ketiga, secara psikologis, setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pemohonan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Hatta, mayoritas rakyat sudah memandang dan memperlakukan Jokowi sebagai presiden, meski de facto sebenarnya masih sebagai gubernur DKI Jakarta.
Jokowi tidak saja melakukan kegiatan kerja di wilayah DKI Jakarta, tapi juga terus blusukan ke wilayah lain Indonesia, yang disambut masyarakat layaknya presiden.
Periodisasi Presiden dan Wakil Presiden
Bagaimana sebenarnya posisi hukum Jokowi dan Jusuf Kalla saat setelah ditetapkan oleh KPU sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih dan dikuatkan oleh putusan MK?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab sebelum menjawab pertanyaan, secara hukum, sejak kapankah dimulainya periode jabatan presiden dan wakil presiden? Konstitusi kita hanya mengatur periode pemerintahan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 7 UUD 1945.
Tidak aturan teknis lain, baik di dalam UUD maupun undang-undang yang menjelaskan sejak kapan presiden dan wakil presiden memulai dan mengakhiri masa jabatannya.
UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya menetapkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan oleh KPU (Pasal 160), dan kemudian dilantik oleh MPR (Pasal 161 [1]) di mana pengucapan sumpah/janji menjadi peristiwa hukum yang menandai pelantikan (Pasal 162 (4)).
Peristiwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak disertai pembacaan surat keputusan penetapan presiden dan wakil presiden oleh MPR karena MPR tidak lagi dianggap sebagai lembaga tertinggi negara.
Pelantikan oleh MPR justru dilakukan dengan pembacaan SK KPU tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 34 (3) UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
MPR hanya menyiapkan berita acara pelantikan sebagai bukti hukum proses pelantikan telah dilaksanakan (Vide Pasal 34 [7]). Pelantikan inilah yang selama ini secara implisit ditafsirkan sebagai awal perhitungan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden (sekaligus masa akhir), yang karenanya menjadi semacam tradisi ketatanegaraan kita.
Hal ini pula sebagaimana dimaksud dalam frase “pidato awal masa jabatan” dalam ketentuan Pasal 34 (8) UU MD3. Apakah pelantikan dapat menjadi tonggak awal perhitungan periode masa awal presiden dan wakil presiden sebagaimana seperti pada penetapan masa awal jabatan kepala daerah?
Penulis berpendapat bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dapat dijadikan patokan perhitungan awal sebagaimana pada pelantikan kepala daerah karena beberapa alasan.
Pertama, berbeda dengan pelantikan kepala daerah, pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dengan membacakan SK MPR, melainkan SK KPU.
Sedangkan pelantikan kepala daerah tidak dilakukan oleh presiden atau menteri dalam negeri dengan membacakan SK KPU, melainkan dengan SK presiden di mana di dalamnya terdapat klausul yang secara tegas mengatur periode awal dan akhir jabatan kepala daerah yang dilantik.
SK KPU dalam pelantikan kepala daerah hanya dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Artinya, yang menjadi dasar periode kepala daerah adalah SK Presiden.
Kedua, karenanya, yang menjadi dasar dalam penentuan masa awal periode presiden dan wakil presiden adalah SK KPU, untuk kasus Jokowi dan JK adalah SK KPU Nomor 536/ Kpts/KPU/Tahun 2014 bertanggal 22 Juli 2014.
Di dalam SK KPU tersebut secara tegas disebutkan bahwa pasangan Jokowi-JK telah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019 dan berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Artinya, pasangan tersebut sudah secara sah menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia sejak tanggal ditetapkan, dan dengan sendirinya masa jabatan Presiden SBY dinyatakan telah berakhir (demisioner), meski hal ini tidak dinyatakan di dalam SK KPU tersebut.
Keputusan MK terkait dengan SK KPU ini yang menjadi objek perselisihan PHPU Pilpres 2014 tidak dalam kapasitas mengubah isi dan substansi SK SKPU, melainkan hanya membatalkannya atau menunda pelaksanaannya, jika permohonan PHPU pilpres oleh Pasangan Prabowo-Hatta dikabulkan.
Ketiga, sebagaimana ditegaskan pula di dalam Pasal 9 (1) UUD 1945, presiden dan wakil presiden telah ada dan sah secara hukum, hanya belum sempurna dalam memangku jabatannya sebelum bersumpah. Sumpah jabatan presiden dan wakil presiden karenanya hanyalah fase penyempurnaan jabatan, bukan syarat sah presiden dan wakil presiden.
Keempat, otoritas penyelenggaraan pemilu berada di tangan KPU. Hal ini diakui dengan tegas di mana dalam pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR yang dibacakan adalah SK KPU. Karenanya KPU saja yang secara legal punya hak menentukan batas periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden, bukan MPR.
Berdasarkan argumen di atas, penulis berkesimpulan bahwa penentuan masa awal jabatan presiden dan wakil presiden ditetapkan oleh KPU, bukan dengan pelantikan MPR. Akan tetapi, secara hukum Jokowi-JK belum dapat menjalankan fungsinya hingga pelantikan sumpah dilakukan oleh MPR.
Kerancuan dan Kekosongan Hukum
Di sinilah letak adanya kontradiksi hukum yang sangat nyata mengenai persoalan ini. Di satu sisi, KPU diakui sebagai penyelenggara pemilu, di mana KPU yang menentukan seluruh tahapan pemilu, termasuk tahapan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 (6) UU Nomor 42/2008 juncto PKPU Nomor 4/2014.
Di sisi lain, konstitusi menyatakan pelantikan dilakukan di hadapan MPR (Pasal 3 UUD). MPR sebagai pemangku hajat pelantikan ditentukan waktunya oleh KPU, bukan menentukannya sendiri.
Harusnya dilakukan pemisahan antara proses penetapan legalitas presiden dan wakil presiden terpilih sekaligus penetapan masa awal dan akhir jabatannya oleh KPU, dan seremonial pelantikan yang merupakan semacam inaugurasi seluruh rangkaian prosesnya di MPR, sehingga terdapat kepastian hukum dalam perhitungan periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden seperti kepala daerah.
Atau, diberikan kewenangan bagi MPR untuk membuat semacam SK penetapan presiden yang di dalamnya ditentukan klausul mengenai periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dilantik.
Penetapan hukum mengenai masa jabatan presiden ini sangat urgen agar tidak menimbulkan adanya “dua presiden” seperti saat ini, di mana keduanya secara de jure masih sah secara hukum.
Jokowi merasa sudah menjadi presiden karena telah adanya SK KPU mengenai penetapan dirinya sebagai presiden untuk periode 20014-2019, sedangkan SBY masih menjadi presiden karena belum adanya pelantikan/penyumpahan Jokowi di MPR. Peristiwa hukum saat ini adalah peristiwa yang belum ada presedennya.
Inilah momen pertama kali terjadi transisi pemerintahan dalam sistem pemilu langsung sejak 2004. Karenanya, momen ini menjadi penting untuk disikapi oleh para pembuat hukum untuk membuat aturan tentang mekanisme transisi pemerintahan presiden yang lebih pasti dan memberikan kepastian hukum dalam sebuah undang-undang khusus tentang kepresidenan.
Karenanya, pijakan hukum kita harus jelas dan pasti, tidak hanya bertumpu pada tradisi ketatanegaraan semata.
Praktisi Hukum dan
Tenaga Pengajar di UIN Jakarta
SAAT ini Indonesia memiliki dua presiden: Susilo Bambang Yudhoyono, presiden keenam Indonesia yang masih berkuasa hingga akhir masa jabatannya; dan Joko Widodo, calon presiden terpilih hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang pada akhir Oktober nanti akan dilantik menjadi presiden ketujuh.
Kenapa disebut ada dua presiden saat ini? Pertama, karena Joko Widodo telah mendapatkan pengawalan Paspampres, unit khusus TNI yang dalam tugas pokok dan fungsinya hanya mengawal presiden dan wakil presiden berikut keluarganya. Sebagaimana diketahui, sejak 22 Agustus 2014, KPU telah menyerahkan pengawalan keamanan Jokowi dari Polri ke Paspampres.
Jokowi juga telah mendapatkan fasilitas mobil khusus sebagai bagian dari pengamanan tersebut. Kedua, Jokowi telah melakukan tindakan acting president dengan membentuk Tim Transisi dan memberikan pernyataan-pernyataan terkait rencana kebijakan nasional.
Mengenai ini, Jokowi bahkan telah bertemu beberapa kali dengan SBY untuk membicarakan hal-hal strategis kebijakan publik, seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak.
Ketiga, secara psikologis, setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pemohonan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Hatta, mayoritas rakyat sudah memandang dan memperlakukan Jokowi sebagai presiden, meski de facto sebenarnya masih sebagai gubernur DKI Jakarta.
Jokowi tidak saja melakukan kegiatan kerja di wilayah DKI Jakarta, tapi juga terus blusukan ke wilayah lain Indonesia, yang disambut masyarakat layaknya presiden.
Periodisasi Presiden dan Wakil Presiden
Bagaimana sebenarnya posisi hukum Jokowi dan Jusuf Kalla saat setelah ditetapkan oleh KPU sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih dan dikuatkan oleh putusan MK?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab sebelum menjawab pertanyaan, secara hukum, sejak kapankah dimulainya periode jabatan presiden dan wakil presiden? Konstitusi kita hanya mengatur periode pemerintahan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 7 UUD 1945.
Tidak aturan teknis lain, baik di dalam UUD maupun undang-undang yang menjelaskan sejak kapan presiden dan wakil presiden memulai dan mengakhiri masa jabatannya.
UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya menetapkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan oleh KPU (Pasal 160), dan kemudian dilantik oleh MPR (Pasal 161 [1]) di mana pengucapan sumpah/janji menjadi peristiwa hukum yang menandai pelantikan (Pasal 162 (4)).
Peristiwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak disertai pembacaan surat keputusan penetapan presiden dan wakil presiden oleh MPR karena MPR tidak lagi dianggap sebagai lembaga tertinggi negara.
Pelantikan oleh MPR justru dilakukan dengan pembacaan SK KPU tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 34 (3) UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
MPR hanya menyiapkan berita acara pelantikan sebagai bukti hukum proses pelantikan telah dilaksanakan (Vide Pasal 34 [7]). Pelantikan inilah yang selama ini secara implisit ditafsirkan sebagai awal perhitungan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden (sekaligus masa akhir), yang karenanya menjadi semacam tradisi ketatanegaraan kita.
Hal ini pula sebagaimana dimaksud dalam frase “pidato awal masa jabatan” dalam ketentuan Pasal 34 (8) UU MD3. Apakah pelantikan dapat menjadi tonggak awal perhitungan periode masa awal presiden dan wakil presiden sebagaimana seperti pada penetapan masa awal jabatan kepala daerah?
Penulis berpendapat bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dapat dijadikan patokan perhitungan awal sebagaimana pada pelantikan kepala daerah karena beberapa alasan.
Pertama, berbeda dengan pelantikan kepala daerah, pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dengan membacakan SK MPR, melainkan SK KPU.
Sedangkan pelantikan kepala daerah tidak dilakukan oleh presiden atau menteri dalam negeri dengan membacakan SK KPU, melainkan dengan SK presiden di mana di dalamnya terdapat klausul yang secara tegas mengatur periode awal dan akhir jabatan kepala daerah yang dilantik.
SK KPU dalam pelantikan kepala daerah hanya dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Artinya, yang menjadi dasar periode kepala daerah adalah SK Presiden.
Kedua, karenanya, yang menjadi dasar dalam penentuan masa awal periode presiden dan wakil presiden adalah SK KPU, untuk kasus Jokowi dan JK adalah SK KPU Nomor 536/ Kpts/KPU/Tahun 2014 bertanggal 22 Juli 2014.
Di dalam SK KPU tersebut secara tegas disebutkan bahwa pasangan Jokowi-JK telah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019 dan berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Artinya, pasangan tersebut sudah secara sah menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia sejak tanggal ditetapkan, dan dengan sendirinya masa jabatan Presiden SBY dinyatakan telah berakhir (demisioner), meski hal ini tidak dinyatakan di dalam SK KPU tersebut.
Keputusan MK terkait dengan SK KPU ini yang menjadi objek perselisihan PHPU Pilpres 2014 tidak dalam kapasitas mengubah isi dan substansi SK SKPU, melainkan hanya membatalkannya atau menunda pelaksanaannya, jika permohonan PHPU pilpres oleh Pasangan Prabowo-Hatta dikabulkan.
Ketiga, sebagaimana ditegaskan pula di dalam Pasal 9 (1) UUD 1945, presiden dan wakil presiden telah ada dan sah secara hukum, hanya belum sempurna dalam memangku jabatannya sebelum bersumpah. Sumpah jabatan presiden dan wakil presiden karenanya hanyalah fase penyempurnaan jabatan, bukan syarat sah presiden dan wakil presiden.
Keempat, otoritas penyelenggaraan pemilu berada di tangan KPU. Hal ini diakui dengan tegas di mana dalam pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR yang dibacakan adalah SK KPU. Karenanya KPU saja yang secara legal punya hak menentukan batas periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden, bukan MPR.
Berdasarkan argumen di atas, penulis berkesimpulan bahwa penentuan masa awal jabatan presiden dan wakil presiden ditetapkan oleh KPU, bukan dengan pelantikan MPR. Akan tetapi, secara hukum Jokowi-JK belum dapat menjalankan fungsinya hingga pelantikan sumpah dilakukan oleh MPR.
Kerancuan dan Kekosongan Hukum
Di sinilah letak adanya kontradiksi hukum yang sangat nyata mengenai persoalan ini. Di satu sisi, KPU diakui sebagai penyelenggara pemilu, di mana KPU yang menentukan seluruh tahapan pemilu, termasuk tahapan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 (6) UU Nomor 42/2008 juncto PKPU Nomor 4/2014.
Di sisi lain, konstitusi menyatakan pelantikan dilakukan di hadapan MPR (Pasal 3 UUD). MPR sebagai pemangku hajat pelantikan ditentukan waktunya oleh KPU, bukan menentukannya sendiri.
Harusnya dilakukan pemisahan antara proses penetapan legalitas presiden dan wakil presiden terpilih sekaligus penetapan masa awal dan akhir jabatannya oleh KPU, dan seremonial pelantikan yang merupakan semacam inaugurasi seluruh rangkaian prosesnya di MPR, sehingga terdapat kepastian hukum dalam perhitungan periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden seperti kepala daerah.
Atau, diberikan kewenangan bagi MPR untuk membuat semacam SK penetapan presiden yang di dalamnya ditentukan klausul mengenai periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dilantik.
Penetapan hukum mengenai masa jabatan presiden ini sangat urgen agar tidak menimbulkan adanya “dua presiden” seperti saat ini, di mana keduanya secara de jure masih sah secara hukum.
Jokowi merasa sudah menjadi presiden karena telah adanya SK KPU mengenai penetapan dirinya sebagai presiden untuk periode 20014-2019, sedangkan SBY masih menjadi presiden karena belum adanya pelantikan/penyumpahan Jokowi di MPR. Peristiwa hukum saat ini adalah peristiwa yang belum ada presedennya.
Inilah momen pertama kali terjadi transisi pemerintahan dalam sistem pemilu langsung sejak 2004. Karenanya, momen ini menjadi penting untuk disikapi oleh para pembuat hukum untuk membuat aturan tentang mekanisme transisi pemerintahan presiden yang lebih pasti dan memberikan kepastian hukum dalam sebuah undang-undang khusus tentang kepresidenan.
Karenanya, pijakan hukum kita harus jelas dan pasti, tidak hanya bertumpu pada tradisi ketatanegaraan semata.
(hyk)