Antara Etika, Hukum, dan Keadilan

Sabtu, 06 September 2014 - 21:36 WIB
Antara Etika, Hukum,...
Antara Etika, Hukum, dan Keadilan
A A A
HANDI SAPTA MUKTI SSI MM
Praktisi Manajemen
Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan


MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan dan mulai kembali membangun citra positifnya sebagai benteng terakhir penegak keadilan di Indonesia setelah sempat terpuruk ke tingkat yang paling rendah terkait kasus yang menimpa sang ketua beberapa waktu lalu.

Ini tidak terlepas dari kinerja MK yang dipimpin Hamdan Zoelva saat menangani dan memutuskan gugatan atas sengketa Pilpres 2014 yang diduga terjadi kecurangan sehingga digugat oleh salah satu pasangan yang bersaing.

Sengketa Pilpres 2014 tersebut mengalir sampai jauh hingga ke meja MK dan berujung pada keputusan MK pada 22 Agustus 2014 yang menolak semua tuntutan penggugat yaitu pasangan capres dan cawapres nomor urut 1 terhadap Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU), yang secara otomatis mengesahkan semua keputusan KPU atas hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 2.

Kasus lainnya yang menarik di MK terungkap di acara Mata Najwa pada 28 Agustus 2014 di MetroTV yang bertajuk “Di Balik Pilar Konstitusi”. Pada 2013 MK yang juga dipimpin Hamdan Zoelva memenangkan gugatan uji materi yang diajukan oleh seorang satpam perusahaan bernama Marten Boiliu atas Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal-96 yang mengatur hak-hak karyawan yang harus dilindungi dan dijalankan oleh perusahaan.

Dengan keputusan MK tersebut, pihak tergugat (perusahaan) diwajibkan untuk membayar semua hak-hak karyawan (penggugat) dan kalimat hukum dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menjadi sengketa tersebut harus dihapuskan.

Dari dua kasus tersebut, kita dapat melihat ada hal mendasar yang menjadi pokok persoalan dari setiap kasus adalah etika dan hukum itu.

Dalam kasus Pilpres 2014, hukum telah mengalahkan etika. Kasus yang digugat pemohon pada Pilpres 2014 berupa pelanggaran dan kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres 2014 oleh KPU yang merupakan pelanggaran atas etika pemilu yang seharusnya berlangsung secara langsung umum, bebas, dan rahasia (luber).

Etika pelaksanaan pemilu tersebut juga dilindungi dan diatur oleh hukum dan undang-undang sehingga pelanggaran atas etika pemilu dapat dianggap sebagai tindakan melanggar hukum dan undang-undang. Atas dasar itulah, penggugat melaksanakan gugatannya dan mengujinya sampai ke tingkat MK.

Pada kasus Marten, etika telah mengalahkan hukum di mana, MK telah mengabulkan gugatan penggugat atas pelaksanaan UU Ketenagakerjaan yang dianggap melanggar hak-hak karyawan dan mencederai rasa keadilan terhadap karyawan, khususnya yang mengalami PHK, atau mengundurkan diri yang dalam hal ini diwakili Marten.

Atas dasar itulah, MK kemudian mengabulkan permohonan penggugat dan memerintahkan perusahaan untuk membayarkan seluruh hak-hak atas karyawan tersebut dan memerintahkan pemerintah menghapus pasal tersebut. Dengan begitu, tidak ada lagi masa kedaluwarsa dalam melakukan gugatan atas hak-hak buruh atau karyawan kepada perusahaan.

Masih banyak sebenarnya kasus lain yang tidak cukup untuk diungkapkan dalam tulisan ini satu per satu. Namun, melihat dari kasus-kasus yang ada, tampaknya etika tidak selalu bersesuaian dengan hukum.

Sebaliknya, hukum tidak selalu bersesuaian dengan etika. Sampai ada satu ungkapan, orang yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Sebaliknya, orang yang melanggar hukum sudah pasti melanggar etika.

Pelanggaran etika bisa saja diselesaikan secara kekeluargaan, pelanggaran hukum semestinya diselesaikan lewat jalur hukum, walaupun pada beberapa kasus bisa juga diselesaikan secara kekeluargaan dengan memegang prinsip norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Jadi, mana yang memiliki kedudukan lebih tinggi, etika atau hukum?

Secara definisi, etika adalah suatu sistem nilai dan norma atas perilaku yang berakar pada budaya suatu kelompok masyarakat di suatu tempat yang kemudian dilaksanakan dalam tindakan, peraturan, dan kesesuaian dengan hukum yang berlaku (Fraedrich Farrell: 2011).

Adapun dari aspek teologis etika ada yang bersifat ethical egoism (self interest) dan ethicalutilitarianism (greates good/happiness) yang berprinsip bahwa suatu keputusan dianggap benar jika keputusan tersebut memberikan manfaat yang sebesar- besarnya kepada kepentingan yang lebih besar.

Jika digali lebih dalam lagi, unsur yang melengkapi sistem nilai dan etika terdiri atas self interest, personal virtues, religius, government requirements, utilitarian benefits, dan universal rules.

Dari definisi tersebut jelas etika mempunyai kedudukan yang lebih luas dari hukum dan sudah seharusnya etika dan hukum berjalan beriringan dan bersesuaian, tidak ada konflik antara etika dan hukum. Karena hukum sebenarnya pengejawantahan dari sistem nilai dan etika yang berlaku di masyarakat yang diformalkan dalam bentuk hukum dan peraturan perundang-undangan negara.

Masalahnya, seringkali hukum dan perundang-undangan belum sepenuhnya mencakup sistem nilai dan etika yang ada sehingga terjadilah celah (gap) antara hukum dan etika. Celah inilah yang seringkali menjadi sumber perdebatan, perselisihan, dan silang pendapat dalam sistem peradilan.

Di Indonesia MK menjadi satu-satunya lembaga yang berhak memutuskan atas setiap kasus hukum yang tidak terselesaikan atau dirasa belum memenuhi rasa keadilan bagi salah satu pihak yang bersengketa. Pada titik inilah seringkali etika berhadapan dengan hukum dalam arti hukum dan perundang-undangan harus diubah untuk memenuhi rasa keadilan dan kepentingan yang lebih luas seperti contoh kasus Marten di atas.

Demikian juga sebaliknya. Pelanggaran etika diabaikan demi hukum dan keadilan seperti pada kasus Pilpres 2014. Kendati demikian, landasan dari dua keputusan itu tetap sama yaitu pembelaan terhadap kepentingan yang lebih besar dan rasa keadilan.

Yang menarik di Indonesia ada istilah kekeluargaan untuk proses penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa. Budaya penyelesaian secara kekeluargaan ini didasari pada kebiasaan masyarakat Indonesia untuk selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan.

Dengan penyelesaian secara kekeluargaan, suatu kasus tidak perlu dibawa ke ranah hukum, namun cukup ditengahi oleh orang yang dituakan, kepala adat, kepala rukun tetangga, dan sebagainya, suatu perselisihan dapat diselesaikan.

Yang terpenting, masing-masing pihak terpenuhi rasa keadilannya sehingga ikhlas menerima keputusan yang dimusyawarahkan tersebut. Pilihan untuk menyelesaikan suatu perselisihan secara hukum atau kekeluargaan akan kembali kepada masing-masing pihak. Persoalan sekecil apa pun bisa dibawa ke ranah hukum karena hukum dan keadilan adalah hak setiap individu.

Apalagi dengan perkembangan sistem informasi saat ini, semakin banyak orang yang melek dan mengerti hukum, kantor lembaga bantuan hukum dan pengacara pun bertebaran di mana-mana. Tampaknya budaya penyelesaian secara kekeluargaan sedikit demi sedikit akan ditinggalkan, apalagi jika suatu persoalan dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat material.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0852 seconds (0.1#10.140)