Sandi Kasus Suap Bogor, Dari Babe sampai Bibit
A
A
A
JAKARTA - Berbagai cara dilakukan para pelaku korupsi dalam menjalankan aksinya. Termasuk untuk mengelabui para penegak hukum.
Sejumlah kata sandi atau kode acap kali digunakan untuk memuluskan tindak pidana yang mereka lakukan.
Publik mungkin masih ingat sandi "Apel Washington" untuk uang dolar Amerika Serikat dan “Apel Malang” untuk uang rupiah yang digunakan para aktor dalam kasus suap pengurusan anggaran Wisma Atlet, Sea Games, Palembang, Sumatera Selatan.
Belakangan sandi untuk merujuk pada uang semakin bergulir.
Dalam kasus suap kasus suap pengurusan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit milik PT Hardaya Inti Plantation (HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) Rp3 miliar Hartati Murdaya kepada mantan Bupati Buol Amran Batalipu juga digunakan "sandi satu kilo dan dua kilo".
Dua kata ini berarti Rp1 miliar dan Rp2 miliar.
Masih ada juga sandi “satu ekor” yang ditujukan kepada angka Rp1 miliar. Sandi ini muncul dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak.
Sandi disampaikan terdakwa advokat Susi Tur Andyani kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar.
Belum lagi sandi suap pengurusan anggaran dan korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama (Kemenag) dengan menggunakan sandi komunikasi, santri, murtad, imam, kiai, hingga pengajian.
Kode ini merujuk pada utusan, penyimpangan dari kesepakatan, pejabat-pejabat di Kemenag, dan tender.
Teranyar, dalam kasus dugaan pengurusan penerbitan rekomendasi tukar menukar kawasan hutan atas nama PT Bukit Jonggol Asri (BJA) seluas 2.754,85 hektare area di Kabupaten Bogor.
Dalam perbicangan terdakwa utusan PT BJA Franciscus Xaverius Yohan Yap, saksi Komisaris Utama PT BJA sekaligus Presiden Direktur PT Sentul City Tbk Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, tersangka Bupati Bogor Rachmat Yasin, dan tersangka Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor M Zairin, muncul sandi “babe, bibit , tanaman, titipan, hingga taman”.
Kata Babe, dipilih Cahyadi Kumala untuk menyebut kata pengganti Rachmat Yasin.
Kejadiannya 30 Januari 2014, Cahyadi memanggil Yohan Yap untuk datang ke rumah Cahyadi di Jalan Widya Chandra VIII Nomor 34 RT 009/RW 001 Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di rumah itu, Cahyadi memberikan cek Bank CIMB Niaga senilai Rp5 miliar kepada Yohan untuk diberikan kepada Rachmat Yasin.
“Ini cek kasih ke Babe, gue udah ngomong ke dia kemarin.... biar Babe seneng,” kutip Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK dalam dakwaan Yohan Yap menirukan pernyataan Cahyadi.
Dakwaan tersebut sudah dibacakan JPU pada sidang perdana Yohan Yap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Bandung, Kamis 24 Juli 2014.
Singkat cerita, karena cek tidak bisa dicairkan Yohan, Cahyadi menyatakan akan memberikan tunai.
Berdasarkan dakwaan JPU, berikutnya 3 Februari 2014, orang kepercayaan Cahyadi, Robin Zulkarnain memberikan uang Rp1 miliar kepada Yohan di Supermarket Giant Jalan MH Thamrin, Sentul City, Bogor. Robin mengatakan uang itu dengan, “Ini satu duli...”.
Para saksi, tersangka, dan terdakwa dalam kasus ini kerap menggunakan kata “titipan” untuk uang suap yang berasal dari bos besar yakni Cahyadi.
Penyerahan titipan Rp1 miliar kepada Yasin diberikan Yohan Yap dan Heru Tandaputra di rumah dinas bupati, 6 Februari 2014.
Titipan Rp2 miliar diberikan Yohan Yap dan Heru setelah diterima dari Robin, kepada Yasin melalui sekretaris pribadinya, Tenny Ramdhani pada Maret 2014.
“Pak ada titipan dari Om Swie....,” tutur JPU mengutip pernyataan Yohan.
Karena permohonan rekomendasi PT BJA seluas 2.754,85 hektar area tumpah tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Indocement Tunggal Prakarsa dan PT Semindo Resourches, akhirnya dilakukan berbagai upaya agar Rachmat Yasin menerbitkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan. Surat tersebut yakni Surat Nomor: 522/624/-Distanhut tertanggal 29 April.
Setelah surat rekomendasi itu terbit, Yohan Yap ingin menyelesaikan sisa Rp2 miliar dari komitmen Rp5 miliar, setelah sebelumnya memberikan Rp3 miliar.
Pada akhirnya muncul sandi “bibit tanaman”, “cluster”, dan “13 batang bibit” dalam pesan singkat yang dikirim Yohan Yap kepada Zairin, 6 Mei 2014. Bibit tanaman dan batang bibit berarti uang, cluster ditujukan untuk izin PT BJA, dan 13 merujuk angka Rp1,3 miliar.
“Selama sore Pak... bibit tanaman yang untuk kluster saya sudah ada 13 sore ini. Apakah bisa diserahkan dulu. Kalau boleh diterima dulu yang 13 batang bibit ini Pak,” kata Yohan kepada Zairin lewat pesan singkat (SMS).
Masih berdasarkan dakwaan perkara Yohan Yap, ternyata Yasin tidak mau menerima 13 batang bibit atau Rp1,3 miliar itu. Dia berkukuh harus diserahkan Rp2 miliar. Keesokan harinya atau 7 Mei 2014, terjadi perbicangan Yohan dan Zairin lagi terkait uang suap itu. Yohan menyampaikan bahwa 15 bibit tanaman atau Rp1,5 miliar sudah siap diberikan.
Yohan mengatakan, hal itu sudah pernah dibicarakan dia dengan Zairini di taman atau tempat pertemuan sebelumnya. Zairin menggunakan kata ditanam untuk merujuk eksekusi pemberian uang suap.
“Sore ini siap bibitnya 15. Seperti yang dibicarakan di taman. Ada arahan buat saya Pak?” tanya Yohan kepada Zairin.
Setelah mendapat arahan dari Yasin, Zairin kemudian menyampaikan, “Tanaman 15 batang, sudah siap untuk ditanam sore ini?” Masih dalam pesan singkat, Yohan menjawab, “Siap Pak.”
Akhirnya, setelah melalui komunikasi intensif antara Yohan, Zairin, Yasin, dan Tenny sore pukul 16.00 WIB, pada hari yang sama, uang Rp1,5 miliar diserahkan Yohan kepada Zairin di Taman Budaya, Jalan Siliwangi, Sentul City, Bogor.
Uang tersebut merupakan sisa komitmen fee untuk Rachmat Yasin dari Cahyadi Kumala. Uang tersebut awalnya disimpan di brankas PT BJA. Sebelum disampaikan langsung ke Yasin, Yohan dan Zairin lebih dulu ditangkap KPK.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP awalnya hanya bisa tertawa saat dikonfirmasi penggunaan sandi komunikasi dalam kasus korupsi, termasuk dalam suap tukar menukar hutan di Bogor.
Dia menilai, apa yang dipergunakan Yohan Yap, Zairin, Yasin, dan Cahyadi Kumala, merupakan kode. Hal itu lazim digunakan di dunia kejahatan.
“Terutama kasus yang ditangani oleh KPK. Ingat enggak yang Apel Washington, Apel Malang? Itu kan sama juga, kode juga. Terus yang kasus Alquran, ada kode-kode juga kan, tidak menyebut kan aslinya. Di kasus Akil dan Hartati Murdaya kalau tidak salah ada juga kode-kode itu. Tapi kan ada konteksnya mereka (koruptor) ngomong begitu. Kan KPK enggak mudah dibodohi, tidak mudah untuk dikelabui,” kata Johan saat dihubungi di Jakarta, Minggu 31 Agustus 2014.
Dia mengatakan, sandi atau kode itu harus dirangkai dengan fakta-fakta lain untuk membuktikan terjadi transaksi penyerahan uang suap.
Dia menyatakan, kalau dilihat sandi “15 bibit tanaman” jelas sangat cocok dengan Rp1,5 miliar yang disita KPK saat penangkapan Yohan Yap, Zairin, dan Yasin.
“Itu kan pas,” kata Johan.
Dengan modus korupsi yang sistematis dan canggih serta sandi yang semakin baru, KPK memang dituntut untuk membongkar arti sandi tersebut.
Karena itu, ujar Johan, KPK selalu memperbaharui pengertian dan pengetahuan terkait kode-kode itu. KPK, kata dia, menyadari para koruptor dalam setiap kasus makin hari makin berbeda kodenya.
“Koruptor semakin canggih, kita juga memperbaharui pengetahuan tentang kode-kode itu. Mungkin tadi ada yang pakai bibit, ekor, satu ikat, ada yang dua kilo. Itu kan diperbaharui terus pengetahuan kita,” katanya.
Sejumlah kata sandi atau kode acap kali digunakan untuk memuluskan tindak pidana yang mereka lakukan.
Publik mungkin masih ingat sandi "Apel Washington" untuk uang dolar Amerika Serikat dan “Apel Malang” untuk uang rupiah yang digunakan para aktor dalam kasus suap pengurusan anggaran Wisma Atlet, Sea Games, Palembang, Sumatera Selatan.
Belakangan sandi untuk merujuk pada uang semakin bergulir.
Dalam kasus suap kasus suap pengurusan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit milik PT Hardaya Inti Plantation (HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) Rp3 miliar Hartati Murdaya kepada mantan Bupati Buol Amran Batalipu juga digunakan "sandi satu kilo dan dua kilo".
Dua kata ini berarti Rp1 miliar dan Rp2 miliar.
Masih ada juga sandi “satu ekor” yang ditujukan kepada angka Rp1 miliar. Sandi ini muncul dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak.
Sandi disampaikan terdakwa advokat Susi Tur Andyani kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar.
Belum lagi sandi suap pengurusan anggaran dan korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama (Kemenag) dengan menggunakan sandi komunikasi, santri, murtad, imam, kiai, hingga pengajian.
Kode ini merujuk pada utusan, penyimpangan dari kesepakatan, pejabat-pejabat di Kemenag, dan tender.
Teranyar, dalam kasus dugaan pengurusan penerbitan rekomendasi tukar menukar kawasan hutan atas nama PT Bukit Jonggol Asri (BJA) seluas 2.754,85 hektare area di Kabupaten Bogor.
Dalam perbicangan terdakwa utusan PT BJA Franciscus Xaverius Yohan Yap, saksi Komisaris Utama PT BJA sekaligus Presiden Direktur PT Sentul City Tbk Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, tersangka Bupati Bogor Rachmat Yasin, dan tersangka Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor M Zairin, muncul sandi “babe, bibit , tanaman, titipan, hingga taman”.
Kata Babe, dipilih Cahyadi Kumala untuk menyebut kata pengganti Rachmat Yasin.
Kejadiannya 30 Januari 2014, Cahyadi memanggil Yohan Yap untuk datang ke rumah Cahyadi di Jalan Widya Chandra VIII Nomor 34 RT 009/RW 001 Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di rumah itu, Cahyadi memberikan cek Bank CIMB Niaga senilai Rp5 miliar kepada Yohan untuk diberikan kepada Rachmat Yasin.
“Ini cek kasih ke Babe, gue udah ngomong ke dia kemarin.... biar Babe seneng,” kutip Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK dalam dakwaan Yohan Yap menirukan pernyataan Cahyadi.
Dakwaan tersebut sudah dibacakan JPU pada sidang perdana Yohan Yap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Bandung, Kamis 24 Juli 2014.
Singkat cerita, karena cek tidak bisa dicairkan Yohan, Cahyadi menyatakan akan memberikan tunai.
Berdasarkan dakwaan JPU, berikutnya 3 Februari 2014, orang kepercayaan Cahyadi, Robin Zulkarnain memberikan uang Rp1 miliar kepada Yohan di Supermarket Giant Jalan MH Thamrin, Sentul City, Bogor. Robin mengatakan uang itu dengan, “Ini satu duli...”.
Para saksi, tersangka, dan terdakwa dalam kasus ini kerap menggunakan kata “titipan” untuk uang suap yang berasal dari bos besar yakni Cahyadi.
Penyerahan titipan Rp1 miliar kepada Yasin diberikan Yohan Yap dan Heru Tandaputra di rumah dinas bupati, 6 Februari 2014.
Titipan Rp2 miliar diberikan Yohan Yap dan Heru setelah diterima dari Robin, kepada Yasin melalui sekretaris pribadinya, Tenny Ramdhani pada Maret 2014.
“Pak ada titipan dari Om Swie....,” tutur JPU mengutip pernyataan Yohan.
Karena permohonan rekomendasi PT BJA seluas 2.754,85 hektar area tumpah tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Indocement Tunggal Prakarsa dan PT Semindo Resourches, akhirnya dilakukan berbagai upaya agar Rachmat Yasin menerbitkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan. Surat tersebut yakni Surat Nomor: 522/624/-Distanhut tertanggal 29 April.
Setelah surat rekomendasi itu terbit, Yohan Yap ingin menyelesaikan sisa Rp2 miliar dari komitmen Rp5 miliar, setelah sebelumnya memberikan Rp3 miliar.
Pada akhirnya muncul sandi “bibit tanaman”, “cluster”, dan “13 batang bibit” dalam pesan singkat yang dikirim Yohan Yap kepada Zairin, 6 Mei 2014. Bibit tanaman dan batang bibit berarti uang, cluster ditujukan untuk izin PT BJA, dan 13 merujuk angka Rp1,3 miliar.
“Selama sore Pak... bibit tanaman yang untuk kluster saya sudah ada 13 sore ini. Apakah bisa diserahkan dulu. Kalau boleh diterima dulu yang 13 batang bibit ini Pak,” kata Yohan kepada Zairin lewat pesan singkat (SMS).
Masih berdasarkan dakwaan perkara Yohan Yap, ternyata Yasin tidak mau menerima 13 batang bibit atau Rp1,3 miliar itu. Dia berkukuh harus diserahkan Rp2 miliar. Keesokan harinya atau 7 Mei 2014, terjadi perbicangan Yohan dan Zairin lagi terkait uang suap itu. Yohan menyampaikan bahwa 15 bibit tanaman atau Rp1,5 miliar sudah siap diberikan.
Yohan mengatakan, hal itu sudah pernah dibicarakan dia dengan Zairini di taman atau tempat pertemuan sebelumnya. Zairin menggunakan kata ditanam untuk merujuk eksekusi pemberian uang suap.
“Sore ini siap bibitnya 15. Seperti yang dibicarakan di taman. Ada arahan buat saya Pak?” tanya Yohan kepada Zairin.
Setelah mendapat arahan dari Yasin, Zairin kemudian menyampaikan, “Tanaman 15 batang, sudah siap untuk ditanam sore ini?” Masih dalam pesan singkat, Yohan menjawab, “Siap Pak.”
Akhirnya, setelah melalui komunikasi intensif antara Yohan, Zairin, Yasin, dan Tenny sore pukul 16.00 WIB, pada hari yang sama, uang Rp1,5 miliar diserahkan Yohan kepada Zairin di Taman Budaya, Jalan Siliwangi, Sentul City, Bogor.
Uang tersebut merupakan sisa komitmen fee untuk Rachmat Yasin dari Cahyadi Kumala. Uang tersebut awalnya disimpan di brankas PT BJA. Sebelum disampaikan langsung ke Yasin, Yohan dan Zairin lebih dulu ditangkap KPK.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP awalnya hanya bisa tertawa saat dikonfirmasi penggunaan sandi komunikasi dalam kasus korupsi, termasuk dalam suap tukar menukar hutan di Bogor.
Dia menilai, apa yang dipergunakan Yohan Yap, Zairin, Yasin, dan Cahyadi Kumala, merupakan kode. Hal itu lazim digunakan di dunia kejahatan.
“Terutama kasus yang ditangani oleh KPK. Ingat enggak yang Apel Washington, Apel Malang? Itu kan sama juga, kode juga. Terus yang kasus Alquran, ada kode-kode juga kan, tidak menyebut kan aslinya. Di kasus Akil dan Hartati Murdaya kalau tidak salah ada juga kode-kode itu. Tapi kan ada konteksnya mereka (koruptor) ngomong begitu. Kan KPK enggak mudah dibodohi, tidak mudah untuk dikelabui,” kata Johan saat dihubungi di Jakarta, Minggu 31 Agustus 2014.
Dia mengatakan, sandi atau kode itu harus dirangkai dengan fakta-fakta lain untuk membuktikan terjadi transaksi penyerahan uang suap.
Dia menyatakan, kalau dilihat sandi “15 bibit tanaman” jelas sangat cocok dengan Rp1,5 miliar yang disita KPK saat penangkapan Yohan Yap, Zairin, dan Yasin.
“Itu kan pas,” kata Johan.
Dengan modus korupsi yang sistematis dan canggih serta sandi yang semakin baru, KPK memang dituntut untuk membongkar arti sandi tersebut.
Karena itu, ujar Johan, KPK selalu memperbaharui pengertian dan pengetahuan terkait kode-kode itu. KPK, kata dia, menyadari para koruptor dalam setiap kasus makin hari makin berbeda kodenya.
“Koruptor semakin canggih, kita juga memperbaharui pengetahuan tentang kode-kode itu. Mungkin tadi ada yang pakai bibit, ekor, satu ikat, ada yang dua kilo. Itu kan diperbaharui terus pengetahuan kita,” katanya.
(dam)