MEA
A
A
A
ERA Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA/ASEAN Economic Community) sudah semakin dekat. Akhir tahun depan (2015), perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara ini sepakat akan memberlakukan kebersamaan mereka.
Integrasi ekonomi 10 negara sahabat ini akan menjadi kekuatan dahsyat yang dinilai mampu mengimbangi PDB raksasa ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, India, Jepang maupun Australia. Dengan penduduk mencapai 608 juta jiwa, ASEAN adalah kawasan yang sangat prospektif sebagai pasar paling menggairahkan dalam lima tahun terakhir.
MEA akan menjadi tonggak sejarah penting bagi kerja sama regional yang didirikan tahun 1967 di Bangkok ini. Posisi ASEAN akan semakin diperhitungkan negara-negara maju.
Daya saing global kawasan ini juga semakin meningkat. Di lingkup internal ASEAN, posisi Indonesia sangatlah dominan. Negara berpenduduk lebih dari 240 juta ini adalah yang terbesar di antara 10 anggota ASEAN. Sejarah telah mencatat, membahas soal ASEAN dari sisi apa pun tidak mungkin menghilangkan peran Indonesia.
Secara fisik Indonesia adalah negara yang terbesar baik dari luas wilayah, jumlah penduduk maupun potensi ekonomi. Bisa dikatakan Indonesia adalah wajah ASEAN. Hitam putihnya ASEAN sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di Indonesia.
Pemberlakuan pasar bersama yang didasarkan pada empat pilar itu akan sangat memengaruhi nasib bangsa Indonesia. Keempat pilar yang dimaksud adalah pasar tunggal dan basis produksi bersama, kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta integrasi dengan perekonomian global.
Secara domestik, empat pilar ini adalah tantangan besar bagi Indonesia. Baik dari sisi masyarakatnya maupun dari sisi pemerintahannya. Harus kita akui dalam sejumlah hal kita masih memiliki banyak kelemahan.
Misalnya dari pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR, selama 10 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan baik secara ekonomi maupun stabilitas keamanan.
Namun kemajuan itu belum cukup mampu menjawab tantangan besar dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN ini. Kita boleh berbangga dengan Tuhan memberi kita negeri yang luas, tanahnya subur, lautannya membentang dengan kekayaan alam yang melimpah.
Tapi kita memiliki ketergantungan yang besar pula kepada pihak lain dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang melimpah itu. Ketidakadilan distribusi dan penggunaan hasil pengolahan SDA ini bisa menjadi ganjalan serius Indonesia menghadapi pasar bersama ASEAN.
Belum lagi ancaman kejahatan korupsi yang sangat serius dan birokrasi yang masih dipengaruhi gaya lama yang kaku, tidak tangkas, dan sulit beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tentu ini PR besar kita, terutama pemerintahan baru yang akan dilantik 20 Oktober nanti.
Tidak relevan rasanya jika pemerintahan baru nanti harus diukur dengan cara capaian 100 hari, 300 hari, setahun maupun dua tahun. Pemerintah baru harus langsung tancap gas menutupi semua kelemahan yang belum sempat diperbaiki pemerintahan sebelumnya. Rasa ingin disanjung, dipuji, dan dianggap sudah bekerja keras harus dibuang jauh-jauh.
Rakyat tidak butuh pemimpin yang melankolis, yang lebih mendahulukan citra daripada kerja nyata. Susun prioritas sesuai dengan kepentingannya, selesaikan secepatnya tanpa banyak bicara. Era politik pencitraan harus segera diakhiri karena MEA tinggal hitungan bulan.
Empat pilar MEA yang penuh tantangan itu tidak akan mampu ditangani dan dikelola oleh pemimpin yang hanya mengandalkan kekuatan popularitas seorang pemain sandiwara. Siapa pun pemerintahan baru nanti, jangan harap bisa mengelabui hati rakyat dengan gaya seperti pemain sandiwara.
Penonton kita sudah hafal betul gaya dan model pemimpin seperti ini. Pasar pun tidak akan mudah tergiur oleh tindakan-tindakan yang sifatnya hanya lipstik, bukan hal yang substantif.
MEA bukanlah judul drama yang mengharu biru perasaan penonton di panggung sandiwara. MEA adalah kenyataan di depan mata yang bisa berasa manis atau getir, bahkan pahit. Tergantung bagaimana kita menghadapinya.
Integrasi ekonomi 10 negara sahabat ini akan menjadi kekuatan dahsyat yang dinilai mampu mengimbangi PDB raksasa ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, India, Jepang maupun Australia. Dengan penduduk mencapai 608 juta jiwa, ASEAN adalah kawasan yang sangat prospektif sebagai pasar paling menggairahkan dalam lima tahun terakhir.
MEA akan menjadi tonggak sejarah penting bagi kerja sama regional yang didirikan tahun 1967 di Bangkok ini. Posisi ASEAN akan semakin diperhitungkan negara-negara maju.
Daya saing global kawasan ini juga semakin meningkat. Di lingkup internal ASEAN, posisi Indonesia sangatlah dominan. Negara berpenduduk lebih dari 240 juta ini adalah yang terbesar di antara 10 anggota ASEAN. Sejarah telah mencatat, membahas soal ASEAN dari sisi apa pun tidak mungkin menghilangkan peran Indonesia.
Secara fisik Indonesia adalah negara yang terbesar baik dari luas wilayah, jumlah penduduk maupun potensi ekonomi. Bisa dikatakan Indonesia adalah wajah ASEAN. Hitam putihnya ASEAN sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di Indonesia.
Pemberlakuan pasar bersama yang didasarkan pada empat pilar itu akan sangat memengaruhi nasib bangsa Indonesia. Keempat pilar yang dimaksud adalah pasar tunggal dan basis produksi bersama, kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta integrasi dengan perekonomian global.
Secara domestik, empat pilar ini adalah tantangan besar bagi Indonesia. Baik dari sisi masyarakatnya maupun dari sisi pemerintahannya. Harus kita akui dalam sejumlah hal kita masih memiliki banyak kelemahan.
Misalnya dari pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR, selama 10 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan baik secara ekonomi maupun stabilitas keamanan.
Namun kemajuan itu belum cukup mampu menjawab tantangan besar dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN ini. Kita boleh berbangga dengan Tuhan memberi kita negeri yang luas, tanahnya subur, lautannya membentang dengan kekayaan alam yang melimpah.
Tapi kita memiliki ketergantungan yang besar pula kepada pihak lain dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang melimpah itu. Ketidakadilan distribusi dan penggunaan hasil pengolahan SDA ini bisa menjadi ganjalan serius Indonesia menghadapi pasar bersama ASEAN.
Belum lagi ancaman kejahatan korupsi yang sangat serius dan birokrasi yang masih dipengaruhi gaya lama yang kaku, tidak tangkas, dan sulit beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tentu ini PR besar kita, terutama pemerintahan baru yang akan dilantik 20 Oktober nanti.
Tidak relevan rasanya jika pemerintahan baru nanti harus diukur dengan cara capaian 100 hari, 300 hari, setahun maupun dua tahun. Pemerintah baru harus langsung tancap gas menutupi semua kelemahan yang belum sempat diperbaiki pemerintahan sebelumnya. Rasa ingin disanjung, dipuji, dan dianggap sudah bekerja keras harus dibuang jauh-jauh.
Rakyat tidak butuh pemimpin yang melankolis, yang lebih mendahulukan citra daripada kerja nyata. Susun prioritas sesuai dengan kepentingannya, selesaikan secepatnya tanpa banyak bicara. Era politik pencitraan harus segera diakhiri karena MEA tinggal hitungan bulan.
Empat pilar MEA yang penuh tantangan itu tidak akan mampu ditangani dan dikelola oleh pemimpin yang hanya mengandalkan kekuatan popularitas seorang pemain sandiwara. Siapa pun pemerintahan baru nanti, jangan harap bisa mengelabui hati rakyat dengan gaya seperti pemain sandiwara.
Penonton kita sudah hafal betul gaya dan model pemimpin seperti ini. Pasar pun tidak akan mudah tergiur oleh tindakan-tindakan yang sifatnya hanya lipstik, bukan hal yang substantif.
MEA bukanlah judul drama yang mengharu biru perasaan penonton di panggung sandiwara. MEA adalah kenyataan di depan mata yang bisa berasa manis atau getir, bahkan pahit. Tergantung bagaimana kita menghadapinya.
(hyk)