Pungli

Senin, 11 Agustus 2014 - 16:58 WIB
Pungli
Pungli
A A A
PENEGAKAN hukum terutama terkait tindak pidana korupsi memang belum memberikan efek jera sama sekali. Penangkapan 10 oknum anggota polisi lalu lintas Polda Jawa Tengah yang diduga melakukan pungutan liar (pungli) di Jembatan Comal kemarin salah satu bukti bobroknya aparat hukum di negara ini.

Fenomena tersebut tamparan keras bagi para penegak hukum. Mereka yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat malah menjadi pelaku kejahatan. Tentu ini sangat menyakitkan di tengah harapan besar masyarakat Indonesia yang menginginkan negara ini bebas dari korupsi.

Tak salah memang kalau banyak kalangan akhirnya mencap korupsi telah menjadi budaya negara ini.

Pengungkapan kasus pungli di Comal tersebut sebenarnya bukan hal yang luar biasa karena sudah bukan rahasia umum bahwa praktik-praktik semacam itu sudah biasa terjadi di masyarakat baik dilakukan oknum polisi maupun oknum aparat lain.

Fenomena pungli memang tidak terjadi kali ini saja. Sebelumnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo marah besar kala memergoki bagaimana pungli juga terjadi di Jembatan Timbang.

Banyak masyarakat mengeluhkan harus membayar mahal untuk mengurus kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang seharusnya gratis. Artinya apa? Kita semua merasakan korupsi telah menjadi fenomena yang sudah biasa di negara ini. Tak mengherankan bila sangat sulit untuk diberantas dengan cara-cara konvensional.

Ringannya hukuman bagi para pelaku korupsi menjadikan tidak ada efek jera bagi yang lain. Kita banyak menyaksikan bahwa pengadilan memberikan vonis ringan bahkan bebas bagi koruptor. Catatan Indonesia Corruption Watch menyebutkan dalam semester I/2014 ini yang meliputi 210 perkara korupsi dengan 261 terdakwa mayoritasnya divonis ringan.

Ada memang beberapa kasus korupsi yang sudah mulai mendapat hukuman cukup berat seperti vonis hukuman seumur hidup bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, namun jumlahnya masih minim. Di kalangan polisi juga ada Irjen Pol Djoko Susilo yang divonis 13 tahun penjara.

Meski begitu, hukuman tersebut tidak bisa menghentikan laju makin masifnya virus korupsi di negara ini. Memang faktanya putusan pengadilan tak memberi pengaruh apa-apa bagi pemberantasan korupsi. Koruptor terus tumbuh bahkan ironisnya para pelakunya sudah semakin muda.

Karena itu, diperlukan terobosan luar biasa bagaimana mengubah wajah negara ini agar bebas dari korupsi. Pengadilan harus berani memberikan hukuman setinggi-tingginya bagi kasus korupsi termasuk menjatuhkan vonis hukuman mati.

Apalagi, jika pelakunya para penegak hukum, sudah seharusnya diberikan hukuman yang lebih berat daripada pelaku lain. Itu diperlukan karena negara ini telah berstatus darurat korupsi yang membutuhkan langkah luar biasa untuk menyembuhkannya.

Gebrakan KPK dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebenarnya sudah lumayan. Karena minim jumlah personel KPK, jangkauannya menjadi terbatas. Karena itu, KPK harus didorong dan difasilitasi untuk membuka cabang-cabang di daerah agar laju kinerjanya bisa efektif membasmi korupsi.

Selain itu, pemerintah juga harus mendorong kinerja dua penegak hukum lain yakni Polri dan Kejaksaan agar bekerja optimal ikut dalam upaya pemberantasan korupsi. Selama ini Polri dan Kejaksaan tampak sekali mandul dalam mengusut kasus korupsi ini. Tidak jarang kasus yang diusut dua institusi tersebut berhenti di tengah jalan (SP3) atau bebas di pengadilan.

Polri dan Kejaksaan meski usianya jauh lebih senior tidak usah malu untuk belajar banyak dari KPK dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, banyak anggota KPK berasal dari dua instansi tersebut.

Jangan malah yang terjadi sebaliknya sehingga terjadi kasus cicak vs buaya seperti masa lalu. Sikap ego lembaga hendaknya ditanggalkan demi kemajuan negara ini. Karena itu, perlu komitmen dari semua pihak baik pemerintah, penegak hukum, maupun seluruh warga bangsa ini untuk mendukung pemberantasan korupsi, terutama implementasinya.

Mari kita dukung pemberantasan korupsi yang dimulai dari diri kita dengan berkomitmen tidak melakukan korupsi.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4355 seconds (0.1#10.140)