Juni Defisit Lagi
A
A
A
NERACA perdagangan Indonesia (NPI) kembali mencatat defisit. Juni lalu, NPI mencetak defisit sebesar USD305,1 juta, padahal Mei sebelumnya terjadi surplus USD69,9 juta.
Kondisi surplus tersebut tak bisa dipertahankan karena impor minyak dan gas (migas) sulit untuk ditekan. Dari data terbaru yang dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap impor hasil minyak menembus USD11,39 miliar pada Juni lalu. Tingginya angka impor migas tersebut menjadi sumber terbesar defisit. Impor nilai migas yang semakin sulit terkendalikan itu memaksa pemerintah untuk mengatur anggaran negara agar seefisien mungkin seraya mencari solusi yang jitu untuk membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Meski NPI kembali mengalami defisit, nilai ekspor masih mencatatkan perkembangan yang sedikit melegakan. Tengok saja, total nilai ekspor mencapai USD15,42 miliar pada Juni lalu atau naik sekitar 4,45% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Lantas, dibandingkan dengan nilai ekspor Mei 2014 juga tetap mencatatkan peningkatan sebesar 4%.
Adapun nilai impor yang tercatat sebesar USD15,72 miliar pada Juni lalu mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2013. Sepanjang Januari hingga Juni tahun ini, nilai ekspor mencapai USD88,83 miliar, sedangkan nilai impor tembus sebesar USD89,98 miliar.
Artinya, selama enam bulan pertama tahun ini NPI masih mengalami defisit sebesar USD1,15 miliar. Di sisi lain, pemerintah memang tidak pernah diam untuk mengatasi konsumsi BBM bersubsidi yang terus melambung meski hasilnya kuota bahan bakar masih juga tetap jebol.
Tahun ini pemerintah bertekad agar angka subsidi tidak bertambah terus, maka kuota BBM bersubsidi yang semula dipatok sebesar 48 juta kiloliter (KL) dipangkas menjadi 46 juta KL sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan pengurangan kuota tersebut, Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyikapi dengan menerbitkan tiga aturan terkait pengendalian BBM bersubsidi.
Pertama, aturan penghapusan solar bersubsidi di Jakarta Pusat yang dimulai 1 Agustus lalu. Kedua, aturan pelarangan penjualan BBM bersubsidi jenis premium untuk seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) jalan tol yang berlaku serentak pada 6 Agustus 2014.
Ketiga, pembatasan pembelian solar pada waktu tertentu dari pukul 06.00 hingga 18.00 di wilayah tertentu yang rawan penyelewengan atau tindak kriminal. Melalu tiga langkah tersebut pihak BPH Migas optimistis persediaan BBM bersubsidi hingga akhir tahun bisa diamankan. Lalu, sejauh mana realisasi konsumsi BBM bersubsidi hingga saat ini? Berdasarkan data yang dipublikasi PT Pertamina, realisasi BBM bersubsidi jenis solar sudah menembus sekitar 9,12 kiloliter (KL) atau sekitar 60% dari kuota yang dipatok sebesar 15,16 juta KL dan konsumsi premium sudah tembus 17,08 juta KL atau sekitar 58% dari kuota yang ditentukan sebesar 29,29 juta KL per 31 Juli 2014.
Dengan melihat kecenderungan realisasi konsumsi yang tinggi tersebut, sangat terbuka kemungkinan kuota BBM bersubsidi tak akan terpenuhi hingga akhir tahun ini. Ujung-ujungnya angka impor migas pasti melambung lagi yang pada akhirnya memicu kenaikan angka defisit NPI yang terus menghantui pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini. Menyikapi kebijakan pemerintah tersebut, suara-suara sumbang mulai terdengar, terutama dari kalangan pengusaha angkutan di Jakarta.
Semula pengusaha yang tergabung di bawah payung Organda DKI Jakarta hanya minta dievaluasi kebijakan tersebut, tetapi belakangan justru menyatakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi itu harus dibatalkan. Suara senada juga disampaikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menilai kebijakan BPH Migas tersebut tidak menunjukkan solusi, tetapi lebih tepat hanya memindahkan masalah.
Benarkah kebijakan pembatasan subsidi BBM sekadar mengalihkan masalah ketimbang memecahkan persoalan pemenuhan kuota yang sudah dipatok dalam APBN-P 2014? Kebijakan tersebut memang belum teruji, tetapi alangkah baiknya pemerintah juga sudah siap dengan dampak negatif yang bakal ditimbulkan dari kebijakan tersebut.
Kondisi surplus tersebut tak bisa dipertahankan karena impor minyak dan gas (migas) sulit untuk ditekan. Dari data terbaru yang dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap impor hasil minyak menembus USD11,39 miliar pada Juni lalu. Tingginya angka impor migas tersebut menjadi sumber terbesar defisit. Impor nilai migas yang semakin sulit terkendalikan itu memaksa pemerintah untuk mengatur anggaran negara agar seefisien mungkin seraya mencari solusi yang jitu untuk membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Meski NPI kembali mengalami defisit, nilai ekspor masih mencatatkan perkembangan yang sedikit melegakan. Tengok saja, total nilai ekspor mencapai USD15,42 miliar pada Juni lalu atau naik sekitar 4,45% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Lantas, dibandingkan dengan nilai ekspor Mei 2014 juga tetap mencatatkan peningkatan sebesar 4%.
Adapun nilai impor yang tercatat sebesar USD15,72 miliar pada Juni lalu mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2013. Sepanjang Januari hingga Juni tahun ini, nilai ekspor mencapai USD88,83 miliar, sedangkan nilai impor tembus sebesar USD89,98 miliar.
Artinya, selama enam bulan pertama tahun ini NPI masih mengalami defisit sebesar USD1,15 miliar. Di sisi lain, pemerintah memang tidak pernah diam untuk mengatasi konsumsi BBM bersubsidi yang terus melambung meski hasilnya kuota bahan bakar masih juga tetap jebol.
Tahun ini pemerintah bertekad agar angka subsidi tidak bertambah terus, maka kuota BBM bersubsidi yang semula dipatok sebesar 48 juta kiloliter (KL) dipangkas menjadi 46 juta KL sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan pengurangan kuota tersebut, Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyikapi dengan menerbitkan tiga aturan terkait pengendalian BBM bersubsidi.
Pertama, aturan penghapusan solar bersubsidi di Jakarta Pusat yang dimulai 1 Agustus lalu. Kedua, aturan pelarangan penjualan BBM bersubsidi jenis premium untuk seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) jalan tol yang berlaku serentak pada 6 Agustus 2014.
Ketiga, pembatasan pembelian solar pada waktu tertentu dari pukul 06.00 hingga 18.00 di wilayah tertentu yang rawan penyelewengan atau tindak kriminal. Melalu tiga langkah tersebut pihak BPH Migas optimistis persediaan BBM bersubsidi hingga akhir tahun bisa diamankan. Lalu, sejauh mana realisasi konsumsi BBM bersubsidi hingga saat ini? Berdasarkan data yang dipublikasi PT Pertamina, realisasi BBM bersubsidi jenis solar sudah menembus sekitar 9,12 kiloliter (KL) atau sekitar 60% dari kuota yang dipatok sebesar 15,16 juta KL dan konsumsi premium sudah tembus 17,08 juta KL atau sekitar 58% dari kuota yang ditentukan sebesar 29,29 juta KL per 31 Juli 2014.
Dengan melihat kecenderungan realisasi konsumsi yang tinggi tersebut, sangat terbuka kemungkinan kuota BBM bersubsidi tak akan terpenuhi hingga akhir tahun ini. Ujung-ujungnya angka impor migas pasti melambung lagi yang pada akhirnya memicu kenaikan angka defisit NPI yang terus menghantui pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini. Menyikapi kebijakan pemerintah tersebut, suara-suara sumbang mulai terdengar, terutama dari kalangan pengusaha angkutan di Jakarta.
Semula pengusaha yang tergabung di bawah payung Organda DKI Jakarta hanya minta dievaluasi kebijakan tersebut, tetapi belakangan justru menyatakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi itu harus dibatalkan. Suara senada juga disampaikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menilai kebijakan BPH Migas tersebut tidak menunjukkan solusi, tetapi lebih tepat hanya memindahkan masalah.
Benarkah kebijakan pembatasan subsidi BBM sekadar mengalihkan masalah ketimbang memecahkan persoalan pemenuhan kuota yang sudah dipatok dalam APBN-P 2014? Kebijakan tersebut memang belum teruji, tetapi alangkah baiknya pemerintah juga sudah siap dengan dampak negatif yang bakal ditimbulkan dari kebijakan tersebut.
(hyk)