Solusi Permasalahan Energi

Senin, 04 Agustus 2014 - 15:33 WIB
Solusi Permasalahan...
Solusi Permasalahan Energi
A A A
DALAM beberapa tahun terakhir Indonesia menghadapi berbagai permasalahan energi tanpa solusi memadai.

Beberapa akar masalahnya terkait kebijakan politik, subsidi bahan bakar minyak (BBM), regulasi, kepemimpinan, komitmen, birokrasi, dan otonomi daerah. Jika dalam setahun ke depan tidak tersedia rencana solusi yang menyeluruh dan konsisten dijalankan, dapat timbul krisis energi yang berdampak buruk pada perekonomian, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat. Tulisan ini menawarkan solusi permasalahan energi bagi pemerintahan baru mendatang.

Kepentingan politik pencitraan membuat belanja subsidi BBM terus naik yakni Rp130 triliun pada 2011, Rp211 triliun (2012), Rp202 triliun (2013), dan Rp246 triliun (2014, perkiraan). Defisit APBN 2011, 2012, 2013, dan 2014 masing-masing Rp84 triliun, Rp150 triliun, Rp209 triliun, dan Rp241 triliun (perkiraan).

Dengan begitu, porsi belanja subsidi BBM terhadap APBN 2011 (Rp1.295 triliun), 2012 (Rp1.491 triliun), 2013(Rp1.639 triliun), dan 2014 (Rp1.876 triliun) masing-masing 10%, 14%, 12%, dan 13%.

Defisit APBN selalu dipenuhi dengan utang dan penerbitan obligasi. Melalui subsidi BBM yang 72% tidak tepat sasaran, untuk citra politik jangka pendek, negara telah berutang ratusan triliun rupiah sebagai beban generasi mendatang.

Selain terimbas subsidi BBM yang besar, keuangan negara telah pula terpuruk akibat defisit neraca perdagangan yang didominasi defisit neraca perdagangan migas. Konsumsi minyak terus naik, pada 2010, 2011, 2012, dan 2013 masing-masing 1,34 juta barel per hari (bph), 1,55 juta bph, 1,57 juta bph, dan 1,53 juta bph.

Sedangkan produksi minyak siap jual (lifting ) terus turun, pada 2010, 2011, 2012, dan 2013 masing-masing 954.000 bph, 898.000 bph, 860 bph, dan 825 bph. Pada kurs USD1= Rp11.500 dan impor minyak dan BBM saat ini sekitar 800.000 bph, Indonesia harus mengeluarkan devisa sekitar Rp1,4 triliun per hari.

Menurut BI, impor minyak kita mencapai USD34,2 miliar pada 2011, USD38,3 miliar pada 2012, dan USD43,3 miliar pada 2013. Adapun defisit perdagangan migas pada 2011, 2012, dan 2013 masing-masing USD0,7 miliar, USD5,2 miliar, dan USD9,7 miliar.

Memburuknya neraca migas, adanya rencana pengurangan stimulus AS, serta menurunnya aktivitas perekonomian dan harga komoditas dunia telah menimbulkan triple deficit: perdagangan, neraca pembayaran, dan APBN.

Dampak lanjutannya adalah penurunan kurs rupiah dan peningkatan inflasi. Akibat itu, kualitas kehidupan ekonomi rakyat semakin menurun dan kemiskinan bertambah.

Guna mengatasi masalah subsidi BBM dan permasalahan defisit, seyogianya kita melakukan diversifikasi, konversi, dan konservasi energi sesuai Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). KEN bertujuan mewujudkan ketahanan energi dengan sasaran pada 2025 diperoleh elastisitas energi kurang dari 1 dan bauran energi minyak 20%, gas 30%, batu bara 33%, dan energi baru dan terbarukan (EBT) 17%.

Belakangan target bauran energi telah diubah menjadi 24%, gas 30%, batu bara 30%, dan EBT 26%. Diversifikasi dan konversi energi jelas membutuhkan alokasi anggaran investasi dan subsidi.

Dengan APBN yang terus defisit sekitar 2,4% dan ruang fiskal yang terbatas untuk tambahan belanja investasi dan subsidi selain BBM, kemungkinan perbaikan bauran energi melalui peningkatan penggunaan EBT dan konversi BBM ke BBG semakin kecil.

Agar perbaikan dapat dilakukan, subsidi BBM harus dikurangi dan penghematannya direlokasikan untuk pengembangan EBT, konversi ke BBG, dan infrastruktur energi dalam satu paket kebijakan.

Langkah lain yang mendesak adalah memperbaiki regulasi. UU Migas yang liberal dan inkonstitusional perlu segera diganti dengan UU baru yang menjamin penguasaan negara melalui BUMN. Eksplorasi untuk memperoleh cadangan baru harus digalakkan melalui dana minyak (oil fund).

Begitu pula dengan pola open access dan unbundling sektor migas dan listrik harus dihentikan serta sinergi BUMN harus diutamakan. UU panas bumi dan sistem penarifannya harus segera ditetapkan.

PLN harus mendapat prioritas alokasi energi primer dengan harga khusus. Regulasi pun harus mengatur agar energi diperlakukan sebagai faktor pendukung perekonomian, bukan komoditas penghasil devisa. Birokrasi perlu meningkatkan profesionalisme, koordinasi, dan akuntabilitas guna menghasilkan roadmap dan blueprint pengembangan energi yang komprehensif ke depan. Ini diperlukan guna sinkronisasi kebijakan subsektor energi dan sektor lain serta koordinasi vertikal dan pusat-daerah.

Karena faktor kepemimpinan, politik, dan birokrasi, dalam delapan tahun terakhir pemerintah gagal menyelesaikan masalah subsidi BBM, mengembangkan EBT, konversi BBM ke BBG, serta membangun kilang BBM, pipa transmisi/distribusi gas, penerima LNG dan depot minyak/BBM guna ketahanan energi.

Karena itu, ke depan pemimpin baru harus mempunyai leadership yang kuat, bebas politik pencitraan, mengutamakan kedaulatan dan kemandirian, serta bebas pengaruh mafia.

Kepala negara dituntut mampu mengendalikan dan memimpin birokrasi, mencegah pemburu rente dan mengambil keputusan cepat dan efektif. Peran otonomi daerah pun perlu dibenahi dalam perizinan, bagi hasil, dan pengelolaan sumber daya energi.

Salah satu akar masalah yang mendesak diatasi adalah subsidi BBM yang telah menyandera APBN. Polanya harus diubah dari subsidi produk menjadi subsidi langsung sehingga harga BBM berubah menjadi harga keekonomian.

Perubahan harga perlu dilakukan dalam waktu singkat dan terkendali guna meminimalkan dampak inflasi. Sejalan dengan itu, sebagian dari penghematan yang diperoleh dari penghapusan subsidi harus dialokasikan terutama untuk masyarakat miskin yang terimbas dalam bentuk bantuan langsung tunai dan berbagai program pemberdayaan yang berkelanjutan misalnya pembentukan koperasi penghasil BBN di berbagai desa.

Bagian lainnya harus dialokasikan untuk investasi dan subsidi pengembangan EBT, peningkatan cadangan migas, konversi, dan infrastruktur.

Perlu dipahami bahwa IRESS tidak mengusulkan dihapuskan subsidi energi bagi rakyat. Gagasan yang ditawarkan adalah penerapan pola subsidi langsung yang tepat sasaran dan berkeadilan agar tersedia ruang fiskal lebih besar untuk diversifikasi dan infrastruktur. Program subsidi langsung, pemberdayaan masyarakat, konversi, dan diversifikasi harus dijalankan secara bersamaan dalam satu paket kebijakan.

Dengan demikian, kita diharapkan dapat keluar dari lingkaran setan permasalahan energi, subsidi besar tidak tepat sasaran, yang dampaknya terasa semakin merusak perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan itu, guna mengeliminasi politisasi kenaikan harga BBM, pemimpin baru perlu menggalang dukungan seluruh komponen bangsa dalam suatu konsensus nasional sehingga penerapan harga BBM sesuai keekonomian dan solusi menyeluruh masalah energi dapat terlaksana dengan baik.

MARWAN BATUBARA

Direktur IRESS
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1602 seconds (0.1#10.140)