Lupakan Euforia
A
A
A
Pada 22 Juli 2014 lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019.
Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014. Sebelum pengumuman KPU tersebut, calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa menyatakan menarik diri dari proses rekapitulasi suara Pilpres 2014 karena menilai hasil pilpres diwarnai kecurangan yang masif. Terlepas dari kemungkinan akan adanya upaya hukum terkait hasil Pilpres 2014, kita bisa lihat pemilu yang berlangsung aman, damai dan tertib membawa euforia pada sektor ekonomi.
Euforia pemilu ini merembes ke pasar modal yang memberi sentimen positif di pasar saham dan keuangan. Mengawali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk sesi pagi indeks harga saham gabungan (IHSG) langsung melejit 21,309 poin atau 0,42% ke level 4.104,83. Indeks bahkan sempat bertengger di level 5.139,666, namun tak bertahan lama. Pada penutupan perdagangan sesi kedua indeks tercatat 5.107,678 atau naik 24,157 poin. Mengakhiri perdagangan kemarin, IHSG hanya mampu menguat tipis sebesar 9,709 poin ke level 5.094,230.
Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga turut menguat meski tidak signifikan dari posisi Rp11.590 per USD pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya ke level Rp11.505 per USD pada penutupan perdagangan kemarin. Memang tidak dapat disangkal bahwa hasil Pilpres 2014 ini memberi sentimen positif di bursa saham dan pasar keuangan meski tidak signifikan. Sejumlah pengamat ekonomi memprediksi euforia keberhasilan pelaksanaan Pilpres 2014 ini hanya untuk sementara waktu. Oleh karena itu, mari lupakan euforia.
Ada setumpuk pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan oleh presiden dan wakil presiden baru yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014. Masalah-masalah yang menghadang harus sudah diidentifikasi oleh calon pemimpin bangsa yang akan dilantik menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Setidaknya ada empat hal yang mendesak untuk segera diatasi saat pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang baru mengambil tongkat estafet kepemimpinan nanti.
Pertama, subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggelembung karena konsumsi yang kian melambung, ujung-ujungnya impor BBM makin deras yang berdampak pada defisit neraca perdagangan. Masalah BBM ini menjadi warisan beberapa rezim pemerintahan yang tidak juga mampu menekan konsumsi BBM sehingga angka subsidi BBM kian meroket.
Jika pemerintahan baru hasil Pilpres 2014 tidak mampu mengambil solusi yang tepat, maka perekonomian Indonesia akan terhambat oleh beban subsidi BBM. Kedua, impor pangan yang makin tidak rasional. Bayangkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, kabarnya pemerintah menutupi melalui impor sekitar 65%. Ketergantungan pada pangan impor juga membahayakan ketahanan pangan Indonesia. Padahal masalah pangan berkaitan langsung dengan rakyat, permasalahan pada sektor pangan baik harga yang tinggi atau kelangkaan pasokan akan menimbulkan ketidakpuasan rakyat.
Ketiga, utang pemerintah yang terus bertambah, kini rasio utang sudah berada pada kisaran 25,5% terhadap PDB pada Juni lalu. Artinya, kalau utang tidak dikontrol dengan baik, bisa jadi rasionya semakin membesar. Kita harus becermin pada sejumlah negara di kawasan Eropa yang rontok karena utang yang menggunung. Sejatinya berutang itu tidak masalah sepanjang pengalokasian tepat sasaran yang disertai pengawasan yang melekat. Keempat, mengantisipasi dampak pemberlakuan masyarakat ekonomi ASEAN yang resmi diberlakukan akhir 2015.
Mengapa pemberlakuan pasar bebas ASEAN harus mendapat perhatian penuh? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara negara serumpun itu, Indonesia salah satu negara yang paling mengkhawatirkan meraih dampak negatifnya. Daya saing Indonesia masih terbilang rendah, sementara Indonesia pasar yang empuk. Harus disadari siapa pun yang menakhodai Indonesia yang berpenduduk 250 juta jiwa itu memang bukanlah persoalan gampang.
Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014. Sebelum pengumuman KPU tersebut, calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa menyatakan menarik diri dari proses rekapitulasi suara Pilpres 2014 karena menilai hasil pilpres diwarnai kecurangan yang masif. Terlepas dari kemungkinan akan adanya upaya hukum terkait hasil Pilpres 2014, kita bisa lihat pemilu yang berlangsung aman, damai dan tertib membawa euforia pada sektor ekonomi.
Euforia pemilu ini merembes ke pasar modal yang memberi sentimen positif di pasar saham dan keuangan. Mengawali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk sesi pagi indeks harga saham gabungan (IHSG) langsung melejit 21,309 poin atau 0,42% ke level 4.104,83. Indeks bahkan sempat bertengger di level 5.139,666, namun tak bertahan lama. Pada penutupan perdagangan sesi kedua indeks tercatat 5.107,678 atau naik 24,157 poin. Mengakhiri perdagangan kemarin, IHSG hanya mampu menguat tipis sebesar 9,709 poin ke level 5.094,230.
Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga turut menguat meski tidak signifikan dari posisi Rp11.590 per USD pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya ke level Rp11.505 per USD pada penutupan perdagangan kemarin. Memang tidak dapat disangkal bahwa hasil Pilpres 2014 ini memberi sentimen positif di bursa saham dan pasar keuangan meski tidak signifikan. Sejumlah pengamat ekonomi memprediksi euforia keberhasilan pelaksanaan Pilpres 2014 ini hanya untuk sementara waktu. Oleh karena itu, mari lupakan euforia.
Ada setumpuk pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan oleh presiden dan wakil presiden baru yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014. Masalah-masalah yang menghadang harus sudah diidentifikasi oleh calon pemimpin bangsa yang akan dilantik menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Setidaknya ada empat hal yang mendesak untuk segera diatasi saat pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang baru mengambil tongkat estafet kepemimpinan nanti.
Pertama, subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggelembung karena konsumsi yang kian melambung, ujung-ujungnya impor BBM makin deras yang berdampak pada defisit neraca perdagangan. Masalah BBM ini menjadi warisan beberapa rezim pemerintahan yang tidak juga mampu menekan konsumsi BBM sehingga angka subsidi BBM kian meroket.
Jika pemerintahan baru hasil Pilpres 2014 tidak mampu mengambil solusi yang tepat, maka perekonomian Indonesia akan terhambat oleh beban subsidi BBM. Kedua, impor pangan yang makin tidak rasional. Bayangkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, kabarnya pemerintah menutupi melalui impor sekitar 65%. Ketergantungan pada pangan impor juga membahayakan ketahanan pangan Indonesia. Padahal masalah pangan berkaitan langsung dengan rakyat, permasalahan pada sektor pangan baik harga yang tinggi atau kelangkaan pasokan akan menimbulkan ketidakpuasan rakyat.
Ketiga, utang pemerintah yang terus bertambah, kini rasio utang sudah berada pada kisaran 25,5% terhadap PDB pada Juni lalu. Artinya, kalau utang tidak dikontrol dengan baik, bisa jadi rasionya semakin membesar. Kita harus becermin pada sejumlah negara di kawasan Eropa yang rontok karena utang yang menggunung. Sejatinya berutang itu tidak masalah sepanjang pengalokasian tepat sasaran yang disertai pengawasan yang melekat. Keempat, mengantisipasi dampak pemberlakuan masyarakat ekonomi ASEAN yang resmi diberlakukan akhir 2015.
Mengapa pemberlakuan pasar bebas ASEAN harus mendapat perhatian penuh? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara negara serumpun itu, Indonesia salah satu negara yang paling mengkhawatirkan meraih dampak negatifnya. Daya saing Indonesia masih terbilang rendah, sementara Indonesia pasar yang empuk. Harus disadari siapa pun yang menakhodai Indonesia yang berpenduduk 250 juta jiwa itu memang bukanlah persoalan gampang.
(hyk)