Berharap Mudik yang Menyenangkan
A
A
A
FENOMENA tahunan yang dirindukan, tetapi juga membuat pusing banyak keluarga di Indonesia kian terasa kehadirannya.
Lebaran yang akan datang dalam seminggu lagi membuat aktivitas mudik ke kampung halaman kian meningkat dan akan kian dekat dengan kita semua, baik bagi yang menjalaninya atau yang menyaksikannya melalui media massa. Rakyat negeri ini bahagia akan berkumpul bersama keluarga, tetapi juga pusing karena mudik itu selalu menjadi aktivitas yang melelahkan.
Semangat mudik adalah semangat yang sangat positif. Suasana kehangatan Ramadan dan Lebaran membuat banyak umat Islam yang merantau di berbagai kota metropolis di Indonesia ingin kembali berkumpul dengan keluarga setelah bekerja keras mencari nafkah. Berkumpul dengan keluarga diyakini para pemudik bisa menjadi penyemangat untuk menjalani kehidupan di kota satu tahun ke depan. Selama ini yang ada di dalam bayangan kita yang namanya mudik itu sudah pasti macet, penuhsesak, dan melelahkan.
Di negara-negara lain pun fenomena serupa juga terjadi, tetapi memang skalanya tak sekolosal di Indonesia. Kemacetan akibat mudik sering kali sudah sampai pada skala yang tidak masuk akal. Waktu tempuh pun molor hingga dua, tiga, bahkan empat kali dari waktu normal. Memang wajar saja terjadi seperti itu karena memang arus mudik maupun arus balik setelah Lebaran jauh melebihi daya tampung jalan yang ada. Fenomena ini pun bukan hanya terjadi di Jawa, tetapi di semua pulau di Indonesia yang memiliki kota metropolitan yang menjadi tujuan urbanisasi.
Sayang pemerintah belum punya solusi optimal untuk menyelesaikan masalah mudik ini. Solusi yang diambil masih terkesan ad hoc. Pemerintah harus melihat akar masalah dari kesemrawutan fenomena mudik ini. Ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan. Pertama, sudah jelas infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat minim. Lihat saja sejak zaman Orde Baru jalan tol trans-Jawa sudah dicanangkan. Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Kondisi yang lebih parah dialami jalan tol trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah-daerah lain.
Kedua, infrastruktur kereta api yang masih relatif minim. Padahal moda transportasi yang satu ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk mereduksi kemacetan mudik di jalan raya. Syukurlah PT KAI sudah menunjukkan berbagai perbaikan berarti yang menggembirakan belakangan ini. Pemerintah harus menjadikan kereta api sebagai tulang punggung transportasi di negeri ini. Ketiga, infrastruktur laut juga masih sangat minim di negeri ini.
Sebagai negara maritim dengan garis pantai yang membentang ternyata transportasi laut Indonesia masih sangat minim. Padahal harusnya jika transportasi laut bisa diperkuat akan jauh mengurangi beban jalan raya. Transportasi laut juga bisa menjadi sarana penunjang transportasi darat yang reliable. Saat ini kapal penumpang yang berlayar pada kecepatan 20-30 knot (sekitar 30-45 km/jam) sudah cukup banyak yang dipakai. Kecepatan itu tentu jauh lebih cepat dibandingkan dengan bermacet-macetan di sepanjang jalur mudik.
Selain itu transportasi laut ini relatif minim perawatan jika dibandingkan dengan transportasi darat. Pos perawatan paling besar untuk transportasi laut hanyalah pelabuhan dan pengatur lalu lintasnya saja, tidak perlu memikirkan biaya perawatan seperti menambal kerusakan jalan raya. Keempat, buruknya transportasi lokal di daerah. Selain faktor gengsi, sebagian pemudik yang membawa kendaraan pribadi menempatkan kemudahan transportasi saat di kampung halaman sebagai salah satu alasan utama membawa kendaraan pribadi. Jika transportasi umum di daerah diperkuat, hal itu akan memudahkan pemudik untuk mengambil keputusan tidak membawa kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil.
Kelima, fenomena ketidakmerataan pembangunan yang memicu urbanisasi. Jika pembangunan tersebar, penduduk negeri ini tak perlu jauh-jauh mengadu nasib ke kota metropolitan. Sudah saatnya pemerintah mencari solusi dari mudik ini agar tidak menjadi momok tahunan. Tentu kita semua ingin mudik yang menyenangkan.
Lebaran yang akan datang dalam seminggu lagi membuat aktivitas mudik ke kampung halaman kian meningkat dan akan kian dekat dengan kita semua, baik bagi yang menjalaninya atau yang menyaksikannya melalui media massa. Rakyat negeri ini bahagia akan berkumpul bersama keluarga, tetapi juga pusing karena mudik itu selalu menjadi aktivitas yang melelahkan.
Semangat mudik adalah semangat yang sangat positif. Suasana kehangatan Ramadan dan Lebaran membuat banyak umat Islam yang merantau di berbagai kota metropolis di Indonesia ingin kembali berkumpul dengan keluarga setelah bekerja keras mencari nafkah. Berkumpul dengan keluarga diyakini para pemudik bisa menjadi penyemangat untuk menjalani kehidupan di kota satu tahun ke depan. Selama ini yang ada di dalam bayangan kita yang namanya mudik itu sudah pasti macet, penuhsesak, dan melelahkan.
Di negara-negara lain pun fenomena serupa juga terjadi, tetapi memang skalanya tak sekolosal di Indonesia. Kemacetan akibat mudik sering kali sudah sampai pada skala yang tidak masuk akal. Waktu tempuh pun molor hingga dua, tiga, bahkan empat kali dari waktu normal. Memang wajar saja terjadi seperti itu karena memang arus mudik maupun arus balik setelah Lebaran jauh melebihi daya tampung jalan yang ada. Fenomena ini pun bukan hanya terjadi di Jawa, tetapi di semua pulau di Indonesia yang memiliki kota metropolitan yang menjadi tujuan urbanisasi.
Sayang pemerintah belum punya solusi optimal untuk menyelesaikan masalah mudik ini. Solusi yang diambil masih terkesan ad hoc. Pemerintah harus melihat akar masalah dari kesemrawutan fenomena mudik ini. Ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan. Pertama, sudah jelas infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat minim. Lihat saja sejak zaman Orde Baru jalan tol trans-Jawa sudah dicanangkan. Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Kondisi yang lebih parah dialami jalan tol trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah-daerah lain.
Kedua, infrastruktur kereta api yang masih relatif minim. Padahal moda transportasi yang satu ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk mereduksi kemacetan mudik di jalan raya. Syukurlah PT KAI sudah menunjukkan berbagai perbaikan berarti yang menggembirakan belakangan ini. Pemerintah harus menjadikan kereta api sebagai tulang punggung transportasi di negeri ini. Ketiga, infrastruktur laut juga masih sangat minim di negeri ini.
Sebagai negara maritim dengan garis pantai yang membentang ternyata transportasi laut Indonesia masih sangat minim. Padahal harusnya jika transportasi laut bisa diperkuat akan jauh mengurangi beban jalan raya. Transportasi laut juga bisa menjadi sarana penunjang transportasi darat yang reliable. Saat ini kapal penumpang yang berlayar pada kecepatan 20-30 knot (sekitar 30-45 km/jam) sudah cukup banyak yang dipakai. Kecepatan itu tentu jauh lebih cepat dibandingkan dengan bermacet-macetan di sepanjang jalur mudik.
Selain itu transportasi laut ini relatif minim perawatan jika dibandingkan dengan transportasi darat. Pos perawatan paling besar untuk transportasi laut hanyalah pelabuhan dan pengatur lalu lintasnya saja, tidak perlu memikirkan biaya perawatan seperti menambal kerusakan jalan raya. Keempat, buruknya transportasi lokal di daerah. Selain faktor gengsi, sebagian pemudik yang membawa kendaraan pribadi menempatkan kemudahan transportasi saat di kampung halaman sebagai salah satu alasan utama membawa kendaraan pribadi. Jika transportasi umum di daerah diperkuat, hal itu akan memudahkan pemudik untuk mengambil keputusan tidak membawa kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil.
Kelima, fenomena ketidakmerataan pembangunan yang memicu urbanisasi. Jika pembangunan tersebar, penduduk negeri ini tak perlu jauh-jauh mengadu nasib ke kota metropolitan. Sudah saatnya pemerintah mencari solusi dari mudik ini agar tidak menjadi momok tahunan. Tentu kita semua ingin mudik yang menyenangkan.
(hyk)