Belajar dari Jerman
A
A
A
PIALA Dunia 2014 yang digelar di Brasil menahbiskan Jerman sebagai juara. Ini adalah gelar keempat bagi Jerman (1954, 1974, 1990, dan 2014) pada ajang sepak bola paling bergengsi menyamai rekor Italia meski masih di bawah Brasil yang merengkuh lima gelar juara.
Raihan luar biasa Jerman ini terwujud setelah menunggu waktu 24 tahun, buah kerja keras selama 10 tahun melakukan evolusi sepak bola mereka. Ya, kemenangan Jerman ini seolah sudah disiapkan sejak 10 tahun yang lalu oleh organisasi sepak bola mereka, Deutscher Fussball Bund (DFB). Selepas menjuarai Piala Dunia 1990, Jerman memang seolah tenggelam. Hanya liga lokal mereka yang lebih banyak dikenal masyarakat dunia. Hingga tahun 2000, sepak bola Jerman tidak ada tanda-tanda lebih baik. Bahkan menjelang Piala Dunia 2006, kala Jerman didapuk sebagai tuan rumah, timnas mereka menempati peringkat ke-24 FIFA.
Peringkat terendah sepanjang sejarah sepak bola Jerman. Pada saat itu memang sepak bola Jerman tengah berbenah. Evolusi sepak bola Jerman dilakukan sejak sekitar 10 tahun yang lalu atau pada 2004. Saat itu DFB membuat keputusan setiap klub harus melakukan pembinaan pemain-pemain muda dengan baik. Program mengumpulkan pemain-pemain muda bertalenta demikian dipastikan akan menaikkan performa timnas Jerman. Memang, meski sudah dicanangkan, sepak bola Jerman mengalami guncangan.
Pada Maret 2006, Der Panzer harus menerima pil pahit menempati peringkat ke-24 FIFA itu. Pengorbanan demikian sepertinya sudah diprediksi dan pada Piala Dunia 2006, di bawah Pelatih Juergen Klinsman dan asisten pelatih saat itu Joachim Loew, timnas Jerman menampilkan banyak pemain muda mereka. Nama Lukas Podolski, Philipp Lahm, Bastian Schweinsteiger, dan Per Mertesacker yang baru memasuki usia 20 tahun saat Piala Dunia 2006 tampil menggebrak meski hasilnya hanya di peringkat ketiga. Selanjutnya, Jerman terus menampilkan pemain-pemain muda mereka di Piala Dunia 2010, yaitu Thomas Mueler, Mesut Oezil, Sami Khedira, dan Toni Kroos.
Hasilnya sama, yaitu menempati peringkat ketiga di Piala Dunia yang digelar di Afrika Selatan. Nah, pada Piala Dunia 2014, ketika pemain-pemain muda di atas kembali tampil dan menjadi sangat matang ditambah dengan beberapa pemain muda baru seperti Mario Gotze, Andre Schurrle, Julian Draxler, Skodran Mustafi, hasil maksimal berhasil diraih. Program pelibatan pemain-pemain muda ini memang berjalan lama, tetapi berbuah sangat manis. Bahkan posisi mereka sempat terjatuh pada titik yang paling bawah, tetapi Jerman yakin mereka akan melompat lebih tinggi.
Ya, sebuah perubahan memang harus diawali atau diiringi rasa sakit yang bikin menderita dan itulah yang dialami Jerman. Hal lain yang membuat Jerman luar biasa adalah penggunaan teknologi sepak bola baru hasil karya perusahaan peranti lunak SAP. Sebuah teknologi untuk menganalisis persiapan, pelatihan hingga pertandingan. Bahkan perangkat yang diberi nama Match Insight ini juga mampu melakukan analisis terhadap suporter, cuaca hingga kondisi setiap pemain. Teknologi ini mampu merekam 7 juta data dari 10 pemain dalam waktu 10 menit.
Manajer Timnas Jerman Oliver Bierhoff mengaku timnya sangat terbantu dengan Match Insight ini. ”Kami memiliki banyak data, tetapi kita sulit melakukan analisisnya,” keluh Bierhoff sebelum menggunakan teknologi tersebut. Negeri ini bisa belajar dari timnas Jerman dalam menjalani perubahan. Visi DFB jelas, yaitu menjadikan sepak bola Jerman menjadi nomor satu. Misinya adalah membina pemain muda dan menggunakan teknologi modern. Adapun negeri ini juga sudah sangat jelas visinya, yaitu memakmurkan negeri ini dan disegani negara-negara lain.
Lalu misinya juga sangat jelas. Pertanyaannya, siapkah negeri ini menjalani perubahan ke arah yang lebih baik? Siapkah negeri ini menelan pil pahit demi kemakmuran? Siapkah negeri ini sabar menjalani setiap perubahan untuk menuju kemakmuran? Presiden yang nanti terpilih harus bisa melalukan ini karena negeri ini harus berubah. Wajar jika presiden baru nanti harus belajar dari kesuksesan timnas Jerman.
Raihan luar biasa Jerman ini terwujud setelah menunggu waktu 24 tahun, buah kerja keras selama 10 tahun melakukan evolusi sepak bola mereka. Ya, kemenangan Jerman ini seolah sudah disiapkan sejak 10 tahun yang lalu oleh organisasi sepak bola mereka, Deutscher Fussball Bund (DFB). Selepas menjuarai Piala Dunia 1990, Jerman memang seolah tenggelam. Hanya liga lokal mereka yang lebih banyak dikenal masyarakat dunia. Hingga tahun 2000, sepak bola Jerman tidak ada tanda-tanda lebih baik. Bahkan menjelang Piala Dunia 2006, kala Jerman didapuk sebagai tuan rumah, timnas mereka menempati peringkat ke-24 FIFA.
Peringkat terendah sepanjang sejarah sepak bola Jerman. Pada saat itu memang sepak bola Jerman tengah berbenah. Evolusi sepak bola Jerman dilakukan sejak sekitar 10 tahun yang lalu atau pada 2004. Saat itu DFB membuat keputusan setiap klub harus melakukan pembinaan pemain-pemain muda dengan baik. Program mengumpulkan pemain-pemain muda bertalenta demikian dipastikan akan menaikkan performa timnas Jerman. Memang, meski sudah dicanangkan, sepak bola Jerman mengalami guncangan.
Pada Maret 2006, Der Panzer harus menerima pil pahit menempati peringkat ke-24 FIFA itu. Pengorbanan demikian sepertinya sudah diprediksi dan pada Piala Dunia 2006, di bawah Pelatih Juergen Klinsman dan asisten pelatih saat itu Joachim Loew, timnas Jerman menampilkan banyak pemain muda mereka. Nama Lukas Podolski, Philipp Lahm, Bastian Schweinsteiger, dan Per Mertesacker yang baru memasuki usia 20 tahun saat Piala Dunia 2006 tampil menggebrak meski hasilnya hanya di peringkat ketiga. Selanjutnya, Jerman terus menampilkan pemain-pemain muda mereka di Piala Dunia 2010, yaitu Thomas Mueler, Mesut Oezil, Sami Khedira, dan Toni Kroos.
Hasilnya sama, yaitu menempati peringkat ketiga di Piala Dunia yang digelar di Afrika Selatan. Nah, pada Piala Dunia 2014, ketika pemain-pemain muda di atas kembali tampil dan menjadi sangat matang ditambah dengan beberapa pemain muda baru seperti Mario Gotze, Andre Schurrle, Julian Draxler, Skodran Mustafi, hasil maksimal berhasil diraih. Program pelibatan pemain-pemain muda ini memang berjalan lama, tetapi berbuah sangat manis. Bahkan posisi mereka sempat terjatuh pada titik yang paling bawah, tetapi Jerman yakin mereka akan melompat lebih tinggi.
Ya, sebuah perubahan memang harus diawali atau diiringi rasa sakit yang bikin menderita dan itulah yang dialami Jerman. Hal lain yang membuat Jerman luar biasa adalah penggunaan teknologi sepak bola baru hasil karya perusahaan peranti lunak SAP. Sebuah teknologi untuk menganalisis persiapan, pelatihan hingga pertandingan. Bahkan perangkat yang diberi nama Match Insight ini juga mampu melakukan analisis terhadap suporter, cuaca hingga kondisi setiap pemain. Teknologi ini mampu merekam 7 juta data dari 10 pemain dalam waktu 10 menit.
Manajer Timnas Jerman Oliver Bierhoff mengaku timnya sangat terbantu dengan Match Insight ini. ”Kami memiliki banyak data, tetapi kita sulit melakukan analisisnya,” keluh Bierhoff sebelum menggunakan teknologi tersebut. Negeri ini bisa belajar dari timnas Jerman dalam menjalani perubahan. Visi DFB jelas, yaitu menjadikan sepak bola Jerman menjadi nomor satu. Misinya adalah membina pemain muda dan menggunakan teknologi modern. Adapun negeri ini juga sudah sangat jelas visinya, yaitu memakmurkan negeri ini dan disegani negara-negara lain.
Lalu misinya juga sangat jelas. Pertanyaannya, siapkah negeri ini menjalani perubahan ke arah yang lebih baik? Siapkah negeri ini menelan pil pahit demi kemakmuran? Siapkah negeri ini sabar menjalani setiap perubahan untuk menuju kemakmuran? Presiden yang nanti terpilih harus bisa melalukan ini karena negeri ini harus berubah. Wajar jika presiden baru nanti harus belajar dari kesuksesan timnas Jerman.
(hyk)