Israel Tak Ingin Perdamaian
A
A
A
BEBERAPA hari terakhir ini dunia kembali disuguhi keganasan militer zionis Israel. Mereka membombardir wilayah Jalur Gaza, Palestina. Alasannya adalah untuk menghancurkan kekuatan Hamas.
Akibat kekejian Israel tersebut, puluhan orang menjadi korban meninggal dunia, termasuk anak-anak yang tidak berdosa. Serangan udara Israel itu sedikitnya telah menewaskan 85 orang sejak operasi dimulai, termasuk setidaknya 11 perempuan dan 18 anak-anak. Militer Israel mengatakan, dalam semalam lebih dari 300 tempat di Gaza menjadi target, sehingga jumlah serangan lebih dari 48 jam bisa mencapai 750 sasaran. Ini adalah operasi militer Israel terbesar di Gaza sejak November 2012.
Kelompok Hamas tidak tinggal diam. Pada hari Selasa mereka menembakkan 117 roket ke arah Israel, tetapi 29 roket berhasil dicegat oleh sistem anti-rudal Israel. Rabu Hamas kembali melawan dengan meluncurkan 90 roket, tetapi Israel mencegat 24 roket. Pada hari Kamis 15 roket menghantam Israel, sementara tujuh lainnya dicegat. Sejauh ini tidak ada kematian di pihak Israel.
Kondisi ini tentunya sangat ironis. Sebulan lalu, 8 Juni 2014, di Vatikan diadakan doa bersama untuk perdamaian Palestina dan Israel. Inisiatif datang dari Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Yerusalem, 25 Mei 2014. Di kota yang dihormati tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) itu, Paus Fransiskus menawarkan undangan pribadinya bagi pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres untuk bergabung dengannya di rumahnya di Vatikan guna “berdoa bersama sepenuh hati” bagi perdamaian.
Paus menuturkan membangun perdamaian itu tidak mudah, tetapi hidup tanpa perdamaian akan menjadi siksaan terus menerus. Undangan itu diterima oleh kedua belah pihak. Maka, pada Minggu, 8 Juni 2014, Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas ikut doa bersama Paus Fransiskus di Vatikan.
Acara semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah. Ketiga pemimpin itu bersama kepala gereja Orthodox Konstantinople, Bartholomew, menyampaikan doa bersama kardinal, rabi dan imam dari ketiga agama (Kristen, Yahudi dan Islam). Pertemuan selama dua jam di sebuah taman di Vatikan itu mencakup doa-doa dari Kitab Perjanjian Lama dan Baru, serta Alquran yang dibaca dalam bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan Italia.
Semestinya suasana kebatinan yang telah dibangun oleh Paus Fransiskus di Vatikan tersebut dapat menjalar dalam proses perdamaian Palestina dan Israel yang mengalami deadlock. Doa bersama mestinya dapat menggugah hati untuk berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia. Perdamaian dapat diinisiasi melalui kebutuhan akan hidup bersama dengan menghargai adanya perbedaan.
Memang, dibutuhkan suatu keberanian dari seorang pemimpin untuk menyatakan kesediaan berunding, demi terlaksananya perdamaian. Tidak mudah, tetapi dapat dimulai kalau mereka mau dan bersedia. Tetapi, tampaknya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak terpengaruh usaha dari Paus Fransiskus. Tidak begitu jelas mengapa Netanyahu lebih senang berperang dari pada damai.
Sikap Netanyahu yang tidak senang damai terlihat juga ketika terjadi kesepakatan damai antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Dia dan para pemimpin Israel lainnya marah pada Mahmoud Abbas sebagai pemimpin Fatah. Sebagaimana diketahui pada 23 April 2014, dua kelompok pergerakan Palestina, Fatah dan Hamas, menandatangani kesepakatan untuk bersatu. Kesepakatan ini juga sekaligus menandai berakhirnya perseteruan yang telah berlangsung selama beberapa tahun antara dua organisasi perjuangan pembebasan Palestina itu.
Dari sisi Palestina, kesepakatan Hamas dan Fatah patut disyukuri. Dengan demikian, ada harapan untuk membangun kebersamaan. Mereka sepakat untuk membentuk satu pemerintahan yang anggota kabinetnya terdiri dari para teknokrat. Setelah itu mereka dapat melakukan pemilihan umum anggota parlemen dan presiden agar ada legitimasi baru bagi pemerintahan Palestina. Pemilihan umum terakhir diadakan pada tahun 2006 yang dimenangkan oleh kelompok Hamas.
Tetapi dalam perkembangannya, pemerintahan Palestina justru terbelah. Kelompok Fatah menguasai wilayah Tepi Barat, sedangkan Hamas memerintah di Jalur Gaza. Oleh karena itu, kesepakatan 23 April 2014 tentu baik bagi perjuangan rakyat Palestina. Menanggapi kesepakatan Hamas dan Fatah, Netanyahu berang. Dia mengancam Presiden Palestina Abbas untuk memilih “berdamai dengan Israel” atau “bersatu dengan Hamas”.
Netanyahu memaksa Abbas untuk memilih salah satu. Tetapi Abbas menghendaki kedua dapat dicapai. Dia butuh adanya persatuan Fatah dan Hamas untuk memperkuat posisi Palestina. Abbas juga ingin ada perdamaian dengan Israel agar ada kehidupan yang baik antartetangga.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman mengatakan, penandatanganan kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan berarti telah mengakhiri proses perjanjian damai dengan Israel.
Sikap petinggi Israel tersebut tidak aneh. Mereka memang menghendaki Palestina terus terbelah untuk mempermudah mengalahkannya. Israel mendekati kelompok Fatah, tetapi memusuhi dan bahkan berusaha menghancurkan kelompok Hamas.
Pengeboman wilayah Gaza oleh tentara Israel kali ini dalam rangka menghancurkan kekuatan kelompok Hamas. Israel tidak begitu peduli siapa yang menjadi korban di Gaza. Perempuan dan anak-anak yang mestinya dilindungi dalam peperangan, juga menjadi korban keganasan tentara Israel. Melihat eskalasi yang terus berkembang, Amerika Serikat pada 9 Juli 2014 mendesak Israel dan Palestina untuk menurunkan ketegangan di Gaza dan menyatakan keprihatinan atas keselamatan warga sipil di kedua belah pihak.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Jen Psaki mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah berbicara pada hari sebelumnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan berencana untuk berbicara dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Psaki mengatakan: “We are concerned about the safety and security of civilians on both sides.” (Al Ahram, 9 Juli 2014).
Sekjen PBB Ban Ki-moon, ikut prihatin dan mendesak segera ada penghentian serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza. Sedangkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas menanggapi serangan Israel itu dengan sebutan“genosida”.
Di Ramallah, Tepi Barat, Abbas mengatakan: “It’s genocide; the killing of entire families is genocide by Israel against our Palestinian people..... What’s happening now is a war against the Palestinian people as a whole and not against the (militant) factions...... We know that Israel is not defending it self, it is defending settlements, its main project .” (Al Ahram , 9 Juli 2014).
Menanggapi imbauan penghentian serangan Israel terhadap Gaza, Netanyahu justru menjawab tidak akan ada gencatan senjata. Di depan Komisi Pertahanan dan Luar Negeri Knesset (parlemen) Israel dia mengatakan, “I am not talking to anybody about a cease fire right now........It’s not even on the agenda.” (Haaretz, 10 Juli 2014).
Tampaknya, Netanyahu tidak mau berdamai dengan Palestina, khususnya kelompok Hamas. Kalau hal itu terus berlangsung, maka sulit terjadi adanya kehidupan yang aman dan tenteram antara Palestina dan Israel. Oleh karena itu, diperlukan usaha keras dari berbagai pihak, termasuk DK PBB, untuk mencegah adanya korban sipil dari pihak yang bertikai.
M HAMDAN BASYAR
Peneliti Utama Puslit Politik-LIPI
Akibat kekejian Israel tersebut, puluhan orang menjadi korban meninggal dunia, termasuk anak-anak yang tidak berdosa. Serangan udara Israel itu sedikitnya telah menewaskan 85 orang sejak operasi dimulai, termasuk setidaknya 11 perempuan dan 18 anak-anak. Militer Israel mengatakan, dalam semalam lebih dari 300 tempat di Gaza menjadi target, sehingga jumlah serangan lebih dari 48 jam bisa mencapai 750 sasaran. Ini adalah operasi militer Israel terbesar di Gaza sejak November 2012.
Kelompok Hamas tidak tinggal diam. Pada hari Selasa mereka menembakkan 117 roket ke arah Israel, tetapi 29 roket berhasil dicegat oleh sistem anti-rudal Israel. Rabu Hamas kembali melawan dengan meluncurkan 90 roket, tetapi Israel mencegat 24 roket. Pada hari Kamis 15 roket menghantam Israel, sementara tujuh lainnya dicegat. Sejauh ini tidak ada kematian di pihak Israel.
Kondisi ini tentunya sangat ironis. Sebulan lalu, 8 Juni 2014, di Vatikan diadakan doa bersama untuk perdamaian Palestina dan Israel. Inisiatif datang dari Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Yerusalem, 25 Mei 2014. Di kota yang dihormati tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) itu, Paus Fransiskus menawarkan undangan pribadinya bagi pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres untuk bergabung dengannya di rumahnya di Vatikan guna “berdoa bersama sepenuh hati” bagi perdamaian.
Paus menuturkan membangun perdamaian itu tidak mudah, tetapi hidup tanpa perdamaian akan menjadi siksaan terus menerus. Undangan itu diterima oleh kedua belah pihak. Maka, pada Minggu, 8 Juni 2014, Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas ikut doa bersama Paus Fransiskus di Vatikan.
Acara semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah. Ketiga pemimpin itu bersama kepala gereja Orthodox Konstantinople, Bartholomew, menyampaikan doa bersama kardinal, rabi dan imam dari ketiga agama (Kristen, Yahudi dan Islam). Pertemuan selama dua jam di sebuah taman di Vatikan itu mencakup doa-doa dari Kitab Perjanjian Lama dan Baru, serta Alquran yang dibaca dalam bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan Italia.
Semestinya suasana kebatinan yang telah dibangun oleh Paus Fransiskus di Vatikan tersebut dapat menjalar dalam proses perdamaian Palestina dan Israel yang mengalami deadlock. Doa bersama mestinya dapat menggugah hati untuk berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia. Perdamaian dapat diinisiasi melalui kebutuhan akan hidup bersama dengan menghargai adanya perbedaan.
Memang, dibutuhkan suatu keberanian dari seorang pemimpin untuk menyatakan kesediaan berunding, demi terlaksananya perdamaian. Tidak mudah, tetapi dapat dimulai kalau mereka mau dan bersedia. Tetapi, tampaknya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak terpengaruh usaha dari Paus Fransiskus. Tidak begitu jelas mengapa Netanyahu lebih senang berperang dari pada damai.
Sikap Netanyahu yang tidak senang damai terlihat juga ketika terjadi kesepakatan damai antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Dia dan para pemimpin Israel lainnya marah pada Mahmoud Abbas sebagai pemimpin Fatah. Sebagaimana diketahui pada 23 April 2014, dua kelompok pergerakan Palestina, Fatah dan Hamas, menandatangani kesepakatan untuk bersatu. Kesepakatan ini juga sekaligus menandai berakhirnya perseteruan yang telah berlangsung selama beberapa tahun antara dua organisasi perjuangan pembebasan Palestina itu.
Dari sisi Palestina, kesepakatan Hamas dan Fatah patut disyukuri. Dengan demikian, ada harapan untuk membangun kebersamaan. Mereka sepakat untuk membentuk satu pemerintahan yang anggota kabinetnya terdiri dari para teknokrat. Setelah itu mereka dapat melakukan pemilihan umum anggota parlemen dan presiden agar ada legitimasi baru bagi pemerintahan Palestina. Pemilihan umum terakhir diadakan pada tahun 2006 yang dimenangkan oleh kelompok Hamas.
Tetapi dalam perkembangannya, pemerintahan Palestina justru terbelah. Kelompok Fatah menguasai wilayah Tepi Barat, sedangkan Hamas memerintah di Jalur Gaza. Oleh karena itu, kesepakatan 23 April 2014 tentu baik bagi perjuangan rakyat Palestina. Menanggapi kesepakatan Hamas dan Fatah, Netanyahu berang. Dia mengancam Presiden Palestina Abbas untuk memilih “berdamai dengan Israel” atau “bersatu dengan Hamas”.
Netanyahu memaksa Abbas untuk memilih salah satu. Tetapi Abbas menghendaki kedua dapat dicapai. Dia butuh adanya persatuan Fatah dan Hamas untuk memperkuat posisi Palestina. Abbas juga ingin ada perdamaian dengan Israel agar ada kehidupan yang baik antartetangga.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman mengatakan, penandatanganan kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan berarti telah mengakhiri proses perjanjian damai dengan Israel.
Sikap petinggi Israel tersebut tidak aneh. Mereka memang menghendaki Palestina terus terbelah untuk mempermudah mengalahkannya. Israel mendekati kelompok Fatah, tetapi memusuhi dan bahkan berusaha menghancurkan kelompok Hamas.
Pengeboman wilayah Gaza oleh tentara Israel kali ini dalam rangka menghancurkan kekuatan kelompok Hamas. Israel tidak begitu peduli siapa yang menjadi korban di Gaza. Perempuan dan anak-anak yang mestinya dilindungi dalam peperangan, juga menjadi korban keganasan tentara Israel. Melihat eskalasi yang terus berkembang, Amerika Serikat pada 9 Juli 2014 mendesak Israel dan Palestina untuk menurunkan ketegangan di Gaza dan menyatakan keprihatinan atas keselamatan warga sipil di kedua belah pihak.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Jen Psaki mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah berbicara pada hari sebelumnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan berencana untuk berbicara dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Psaki mengatakan: “We are concerned about the safety and security of civilians on both sides.” (Al Ahram, 9 Juli 2014).
Sekjen PBB Ban Ki-moon, ikut prihatin dan mendesak segera ada penghentian serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza. Sedangkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas menanggapi serangan Israel itu dengan sebutan“genosida”.
Di Ramallah, Tepi Barat, Abbas mengatakan: “It’s genocide; the killing of entire families is genocide by Israel against our Palestinian people..... What’s happening now is a war against the Palestinian people as a whole and not against the (militant) factions...... We know that Israel is not defending it self, it is defending settlements, its main project .” (Al Ahram , 9 Juli 2014).
Menanggapi imbauan penghentian serangan Israel terhadap Gaza, Netanyahu justru menjawab tidak akan ada gencatan senjata. Di depan Komisi Pertahanan dan Luar Negeri Knesset (parlemen) Israel dia mengatakan, “I am not talking to anybody about a cease fire right now........It’s not even on the agenda.” (Haaretz, 10 Juli 2014).
Tampaknya, Netanyahu tidak mau berdamai dengan Palestina, khususnya kelompok Hamas. Kalau hal itu terus berlangsung, maka sulit terjadi adanya kehidupan yang aman dan tenteram antara Palestina dan Israel. Oleh karena itu, diperlukan usaha keras dari berbagai pihak, termasuk DK PBB, untuk mencegah adanya korban sipil dari pihak yang bertikai.
M HAMDAN BASYAR
Peneliti Utama Puslit Politik-LIPI
(hyk)