Kampanye Hitam untuk Apa?
A
A
A
PELAKSANAAN pemilu presiden (pilpres) langsung yang ketiga di Indonesia menampilkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo- Hatta) dan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada 9 Juli tinggal menunggu dalam hitungan jari.
Ada satu tahapan yang patut dicermati dari beberapa tahapan pilpres tersebut, yaitu tahapan kampanye yang berlangsung mulai 4 Juni hingga 5 Juli 2014. Idealnya tahapan ini dimaksudkan untuk mengenalkan dan memberikan kesempatan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden guna menyosialisasikan visi dan misi serta berbagai program dan kebijakan kepada masyarakat, utamanya para calon pemilih sehingga dapat dipertimbangkan oleh para pemilih untuk menentukan siapa yang tepat untuk dipilih.
Berbagai siasat dan strategi untuk menarik massa pemilih bisa dilakukan oleh pasangan calon baik yang positif maupun negatif. Strategi positif bisa dilakukan dengan mengampanyekan program-program kerja kepada pemilih yang bisa dilakukan dengan kampanye baik terbuka maupun tertutup, debat terstruktur, dialog, serta sosialisasi tanda gambar lewat brosur, spanduk, baliho, billboard, atau program lainnya baik di dalam media elektronik maupun media massa. Kampanye model ini tentu dengan harapan untuk memperkenalkan, mempengaruhi dan memantapkan kepada para pemilih agar memilihnya.
Selain kampanye positif yang menampilkan segala ”kebaikan dan keandalan” calon dan pasangannya sehingga para calon pemilih ”kepincut” agar mencoblos calon itu, maka ada juga strategi yang digunakan yakni dengan melakukan kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign). Model kampanye hitam ini bisa dilakukan terhadap lawannya dengan cara mendiskreditkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan; menjelek-jelekkan kehidupan masa lalunya baik yang bersifat pribadi maupun pada masa dinasnya; memberikan informasi-informasi yang pada umumnya tidak baik agar para pemilih bisa berpaling dan akhirnya berpindah pilihannya.
Dalam kampanye hitam tersebut jika dipandang sebagai bagian dari kehidupan demokratisasi, bisa digunakan sebagai batu ujian serta pencernaan terhadap informasi itu apakah kampanye hitam tersebut memang benar atau tidak. Segi negatif dan positif hampir tidak ada yang seratus persen bersih dan sportif dalam sebuah pertarungan politik pada sebuah fase kampanye, termasuk di dalamnya disisipi kampanye hitam baik dalam skala luas maupun sempit.
Jika dilihat dari segi negatifnya, upaya kampanye hitam ini akan menjauhkan dari sifat hakiki pemilihan presiden itu sendiri yang mengandalkan persiapan matang, dedikasi dan integritas, serta kemampuan akan tugas dan tanggung jawab dengan didukung sportivitas tinggi agar dipilih untuk memimpin negeri yang berpenduduk lebih dari 240 juta ini. Perlu dipertanyakan kembali, apakah mendiskreditkan, menjelek-jelekkan orang lain itu merupakan sifat para pendahulu kita ataupun para pendiri republik ini? Apakah ada ajaran agama yang menyuruh untuk mendiskreditkan dan menjelek-jelekkan orang lain?
Jika jawabannya tidak tentu pada saat-saat ini kita sedang dipertontonkan pada sifat dan sikap yang tidak pernah diwariskan oleh para leluhur kita dan para pendiri bangsa ini, apalagi oleh agama. Terlalu murah apabila nilai-nilai persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika NKRI ini dikotori oleh sifat dan sikap yang jauh dari hakikat sportivitas dalam mendapatkan jabatan tertinggi di negeri ini.
Besarnya nilai negatif dari kampanye hitam itu tentu pada sisi lain ada positifnya, yakni para pemilih diharapkan kritis dan cerdas serta bisa menyaring keakuratan kampanye hitam tersebut serta para pemilih dapat memilih dan memilah isi kampanye hitam tersebut.
Pendewasaan diri pada pemilih untuk dapat mencerna isi kampanye tersebut sekaligus dapat menjadi bagian dari proses demokratisasi yang makin dewasa. Sebaliknya bagi penyebar kampanye hitam tersebut jika tidak benar atau patut diduga tidak benar, maka pihak yang tidak bisa menerima atas isi kampanye hitam tersebut dapat mengadukan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun aparat kepolisian setempat. Proses ini juga dianggap sebagai sebuah proses pendidikan hukum yang bagus bahwa setiap tindakan yang memungkinkan dapat merugikan orang lain maka mereka harus berani mempertanggungjawabkan secara hukum pula.
Batu uji hukum ini dapat dipergunakan sebagai upaya mempertebal doktrin hukum bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum tanpa ada perkecualiannya. Selain itu jika dilihat secara positif, kebenaran informasi atas suatu ”black campaign” itu diperlukan agar untuk menjadi pemimpin diperlukan tingkah laku, budi pekerti, tabiat dalam hidup kemasyarakatan dan kedinasan yang baik, jujur, tidak mempunyai ”beban” masa lalu yang kurang baik.
Oleh karena itu, pada tataran lain ini menjadi sebuah tantangan bagi orang tua agar dapat mendidik anakanaknya sebagai calon generasi yang memiliki ”track record” baik dan tidak tercela. Selain itu tantangan itu rasanya tidak hanya dibebankan pada calon pemimpin itu saja, akan tetapi juga suami/ istri, beserta keluarga dan para teman-teman dekatnya. Dari kasus negatif dan positifnya kampanye hitam, kita dapat mengambil pelajaran dari sistem pemilihan langsung pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Di sana pada setiap pemilihan presiden banyak diwarnai oleh gagalnya calon presiden karena mereka terbebani oleh perilaku yang kurang baik selama kecil atau selama yang bersangkutan selama melakukan aktivitas kemasyarakatan dan kedinasan sebelumnya. Harus dilakukan penelaahan yang mendalam terhadap para pemilih di negara kita bahwa dari berbagai survei yang dilakukan atas dampak dari kampanye hitam tersebut ternyata hanya sekitar 2% dari pemilih yang terpengaruh akan kampanye negatif ataupun kampanye hitam itu.
Walau demikian, kita tetap dapat mengambil hikmah atas sebuah kampanye tersebut, setidak-tidaknya kemanfaatan itu adalah bahwa kita diharapkan selalu bertindak dan bertingkah laku baik, jujur, benar, penuh kearifan dan keadilan di setiap waktu. Semoga!
JAMAL WIWOHO
Pembantu Rektor II/Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ada satu tahapan yang patut dicermati dari beberapa tahapan pilpres tersebut, yaitu tahapan kampanye yang berlangsung mulai 4 Juni hingga 5 Juli 2014. Idealnya tahapan ini dimaksudkan untuk mengenalkan dan memberikan kesempatan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden guna menyosialisasikan visi dan misi serta berbagai program dan kebijakan kepada masyarakat, utamanya para calon pemilih sehingga dapat dipertimbangkan oleh para pemilih untuk menentukan siapa yang tepat untuk dipilih.
Berbagai siasat dan strategi untuk menarik massa pemilih bisa dilakukan oleh pasangan calon baik yang positif maupun negatif. Strategi positif bisa dilakukan dengan mengampanyekan program-program kerja kepada pemilih yang bisa dilakukan dengan kampanye baik terbuka maupun tertutup, debat terstruktur, dialog, serta sosialisasi tanda gambar lewat brosur, spanduk, baliho, billboard, atau program lainnya baik di dalam media elektronik maupun media massa. Kampanye model ini tentu dengan harapan untuk memperkenalkan, mempengaruhi dan memantapkan kepada para pemilih agar memilihnya.
Selain kampanye positif yang menampilkan segala ”kebaikan dan keandalan” calon dan pasangannya sehingga para calon pemilih ”kepincut” agar mencoblos calon itu, maka ada juga strategi yang digunakan yakni dengan melakukan kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign). Model kampanye hitam ini bisa dilakukan terhadap lawannya dengan cara mendiskreditkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan; menjelek-jelekkan kehidupan masa lalunya baik yang bersifat pribadi maupun pada masa dinasnya; memberikan informasi-informasi yang pada umumnya tidak baik agar para pemilih bisa berpaling dan akhirnya berpindah pilihannya.
Dalam kampanye hitam tersebut jika dipandang sebagai bagian dari kehidupan demokratisasi, bisa digunakan sebagai batu ujian serta pencernaan terhadap informasi itu apakah kampanye hitam tersebut memang benar atau tidak. Segi negatif dan positif hampir tidak ada yang seratus persen bersih dan sportif dalam sebuah pertarungan politik pada sebuah fase kampanye, termasuk di dalamnya disisipi kampanye hitam baik dalam skala luas maupun sempit.
Jika dilihat dari segi negatifnya, upaya kampanye hitam ini akan menjauhkan dari sifat hakiki pemilihan presiden itu sendiri yang mengandalkan persiapan matang, dedikasi dan integritas, serta kemampuan akan tugas dan tanggung jawab dengan didukung sportivitas tinggi agar dipilih untuk memimpin negeri yang berpenduduk lebih dari 240 juta ini. Perlu dipertanyakan kembali, apakah mendiskreditkan, menjelek-jelekkan orang lain itu merupakan sifat para pendahulu kita ataupun para pendiri republik ini? Apakah ada ajaran agama yang menyuruh untuk mendiskreditkan dan menjelek-jelekkan orang lain?
Jika jawabannya tidak tentu pada saat-saat ini kita sedang dipertontonkan pada sifat dan sikap yang tidak pernah diwariskan oleh para leluhur kita dan para pendiri bangsa ini, apalagi oleh agama. Terlalu murah apabila nilai-nilai persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika NKRI ini dikotori oleh sifat dan sikap yang jauh dari hakikat sportivitas dalam mendapatkan jabatan tertinggi di negeri ini.
Besarnya nilai negatif dari kampanye hitam itu tentu pada sisi lain ada positifnya, yakni para pemilih diharapkan kritis dan cerdas serta bisa menyaring keakuratan kampanye hitam tersebut serta para pemilih dapat memilih dan memilah isi kampanye hitam tersebut.
Pendewasaan diri pada pemilih untuk dapat mencerna isi kampanye tersebut sekaligus dapat menjadi bagian dari proses demokratisasi yang makin dewasa. Sebaliknya bagi penyebar kampanye hitam tersebut jika tidak benar atau patut diduga tidak benar, maka pihak yang tidak bisa menerima atas isi kampanye hitam tersebut dapat mengadukan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun aparat kepolisian setempat. Proses ini juga dianggap sebagai sebuah proses pendidikan hukum yang bagus bahwa setiap tindakan yang memungkinkan dapat merugikan orang lain maka mereka harus berani mempertanggungjawabkan secara hukum pula.
Batu uji hukum ini dapat dipergunakan sebagai upaya mempertebal doktrin hukum bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum tanpa ada perkecualiannya. Selain itu jika dilihat secara positif, kebenaran informasi atas suatu ”black campaign” itu diperlukan agar untuk menjadi pemimpin diperlukan tingkah laku, budi pekerti, tabiat dalam hidup kemasyarakatan dan kedinasan yang baik, jujur, tidak mempunyai ”beban” masa lalu yang kurang baik.
Oleh karena itu, pada tataran lain ini menjadi sebuah tantangan bagi orang tua agar dapat mendidik anakanaknya sebagai calon generasi yang memiliki ”track record” baik dan tidak tercela. Selain itu tantangan itu rasanya tidak hanya dibebankan pada calon pemimpin itu saja, akan tetapi juga suami/ istri, beserta keluarga dan para teman-teman dekatnya. Dari kasus negatif dan positifnya kampanye hitam, kita dapat mengambil pelajaran dari sistem pemilihan langsung pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Di sana pada setiap pemilihan presiden banyak diwarnai oleh gagalnya calon presiden karena mereka terbebani oleh perilaku yang kurang baik selama kecil atau selama yang bersangkutan selama melakukan aktivitas kemasyarakatan dan kedinasan sebelumnya. Harus dilakukan penelaahan yang mendalam terhadap para pemilih di negara kita bahwa dari berbagai survei yang dilakukan atas dampak dari kampanye hitam tersebut ternyata hanya sekitar 2% dari pemilih yang terpengaruh akan kampanye negatif ataupun kampanye hitam itu.
Walau demikian, kita tetap dapat mengambil hikmah atas sebuah kampanye tersebut, setidak-tidaknya kemanfaatan itu adalah bahwa kita diharapkan selalu bertindak dan bertingkah laku baik, jujur, benar, penuh kearifan dan keadilan di setiap waktu. Semoga!
JAMAL WIWOHO
Pembantu Rektor II/Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
(hyk)