Penduduk Miskin Bertambah
A
A
A
JUMLAH penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan. Pada Maret 2014, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat angka kemiskinan mencapai 28,28 juta orang atau sekitar 11,25% dari total populasi penduduk Indonesia.
Bandingkan periode yang sama Maret 2013, angka kemiskinan terdaftar sekitar 28,17 juta orang. Mengapa jumlah angka kemiskinan cenderung meningkat di tengah berbagai upaya pemerintah mengatasinya? Menjawab hal tersebut, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Chairul Tanjung menyebut perlambatan pertumbuhan perekonomian nasional yang menjadi salah satu sumber masalah. Selain itu, pertumbuhan yang selama ini dibanggakan ternyata belum menyasar secara maksimal sektor yang berkaitan langsung dengan kemiskinan.
”Ini adalah sebuah keniscayaan. Kalau pertumbuhan ekonomi kita enggak tinggi dan kualitasnya juga enggak masuk pada sektor yang memberi keberpihakan kepada masyarakat miskin, ya memang begini hasilnya,” papar Chairul Tanjung. Mengurai masalah kemiskinan di negeri ini memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Misalnya bagaimana memacu pertumbuhan perekonomian yang tinggi sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Faktanya tidaklah demikian. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan perekonomian bertengger antara di atas 5% hingga 6% lebih, namun penurunan angka kemiskinan tidak signifikan.
Buktinya, tahun 2009 angka kemiskinan tercatat sebesar 32,53 juta orang, setahun kemudian tepatnya 2010 angka kemiskinan terkoreksi menjadi 31,02 juta orang, lalu 2011 angka tersebut turun lagi menjadi 30,12 juta orang, dan 2012 angka itu mengecil menjadi 29,25 juta orang, serta tahun lalu (2013) tercetak sebanyak 28,17 juta orang. Tahun ini ada kecenderungan meningkat seiring pelambatan pertumbuhan perekonomian. Melihat tren penurunan angka kemiskinan yang lamban itu menandakan bahwa pemerintah perlu menghadirkan kebijakan khusus, misalnya kebijakan yang mampu mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan.
Mengapa perlu kebijakan ekstra khusus? Persoalannya bukan sekadar bagaimana mendistribusikan pendapatan secara merata, melainkan terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat. Saat ini tingkat pendidikan penduduk miskin di negeri ini didominasi oleh pendidikan tamatan sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD. Kaitan antara kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah memang sulit dipisahkan.
Seorang ekonom dari University of London Anne Booth beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa masalah kemiskinan dan kesenjangan yang terjadi di Indonesia, disebabkan akses pendidikan yang sulit diraih oleh masyarakat banyak. Anne yang menjadi salah seorang narasumber dalam seminar bertajuk, ”Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Dari Soeharto ke SBY” bulan lalu menegaskan kalau Indonesia ingin menekan angka kemiskinan maka jalan paling rasional adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan.
Terlepas dari lemahnya akses pendidikan yang melahirkan kemiskinan di tengah masyarakat, lalu masyarakat yang mana menikmati dampak pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir ini? Jawabnya adalah masyarakat kelas menengah dan atas. Pada tahun lalu, pertumbuhan perekonomian nasional tercatat sekitar 5,8%. Sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati segelintir masyarakat atau tak kurang dari 20% dari total penduduk Indonesia.
Sayangnya, kevalidan angka tersebut masih sulit dipertanggungjawabkan karena baru merupakan perkiraan. Karena itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri membantah keras bahwa pertumbuhan perekonomian hanya dinikmati kalangan tertentu saja. Orang miskin, menurut Menkeu, juga mengalami peningkatan ekonomi, namun tidak sebesar yang dinikmati kelas menengah dan atas. Apapun alasannya, yang pasti pemberantasan kemiskinan harus mendapat prioritas utama. Jangan sampai upaya memburu pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru yang didapat tingkat kesenjangan antara yang kaya dan miskin di masyarakat makin melebar.
Bandingkan periode yang sama Maret 2013, angka kemiskinan terdaftar sekitar 28,17 juta orang. Mengapa jumlah angka kemiskinan cenderung meningkat di tengah berbagai upaya pemerintah mengatasinya? Menjawab hal tersebut, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Chairul Tanjung menyebut perlambatan pertumbuhan perekonomian nasional yang menjadi salah satu sumber masalah. Selain itu, pertumbuhan yang selama ini dibanggakan ternyata belum menyasar secara maksimal sektor yang berkaitan langsung dengan kemiskinan.
”Ini adalah sebuah keniscayaan. Kalau pertumbuhan ekonomi kita enggak tinggi dan kualitasnya juga enggak masuk pada sektor yang memberi keberpihakan kepada masyarakat miskin, ya memang begini hasilnya,” papar Chairul Tanjung. Mengurai masalah kemiskinan di negeri ini memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Misalnya bagaimana memacu pertumbuhan perekonomian yang tinggi sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Faktanya tidaklah demikian. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan perekonomian bertengger antara di atas 5% hingga 6% lebih, namun penurunan angka kemiskinan tidak signifikan.
Buktinya, tahun 2009 angka kemiskinan tercatat sebesar 32,53 juta orang, setahun kemudian tepatnya 2010 angka kemiskinan terkoreksi menjadi 31,02 juta orang, lalu 2011 angka tersebut turun lagi menjadi 30,12 juta orang, dan 2012 angka itu mengecil menjadi 29,25 juta orang, serta tahun lalu (2013) tercetak sebanyak 28,17 juta orang. Tahun ini ada kecenderungan meningkat seiring pelambatan pertumbuhan perekonomian. Melihat tren penurunan angka kemiskinan yang lamban itu menandakan bahwa pemerintah perlu menghadirkan kebijakan khusus, misalnya kebijakan yang mampu mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan.
Mengapa perlu kebijakan ekstra khusus? Persoalannya bukan sekadar bagaimana mendistribusikan pendapatan secara merata, melainkan terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat. Saat ini tingkat pendidikan penduduk miskin di negeri ini didominasi oleh pendidikan tamatan sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD. Kaitan antara kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah memang sulit dipisahkan.
Seorang ekonom dari University of London Anne Booth beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa masalah kemiskinan dan kesenjangan yang terjadi di Indonesia, disebabkan akses pendidikan yang sulit diraih oleh masyarakat banyak. Anne yang menjadi salah seorang narasumber dalam seminar bertajuk, ”Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Dari Soeharto ke SBY” bulan lalu menegaskan kalau Indonesia ingin menekan angka kemiskinan maka jalan paling rasional adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan.
Terlepas dari lemahnya akses pendidikan yang melahirkan kemiskinan di tengah masyarakat, lalu masyarakat yang mana menikmati dampak pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir ini? Jawabnya adalah masyarakat kelas menengah dan atas. Pada tahun lalu, pertumbuhan perekonomian nasional tercatat sekitar 5,8%. Sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati segelintir masyarakat atau tak kurang dari 20% dari total penduduk Indonesia.
Sayangnya, kevalidan angka tersebut masih sulit dipertanggungjawabkan karena baru merupakan perkiraan. Karena itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri membantah keras bahwa pertumbuhan perekonomian hanya dinikmati kalangan tertentu saja. Orang miskin, menurut Menkeu, juga mengalami peningkatan ekonomi, namun tidak sebesar yang dinikmati kelas menengah dan atas. Apapun alasannya, yang pasti pemberantasan kemiskinan harus mendapat prioritas utama. Jangan sampai upaya memburu pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru yang didapat tingkat kesenjangan antara yang kaya dan miskin di masyarakat makin melebar.
(hyk)