Mereformasi Kepolisian

Selasa, 01 Juli 2014 - 14:08 WIB
Mereformasi Kepolisian
Mereformasi Kepolisian
A A A
MENYAMBUT Hari Bhayangkara 1 Juli 2014 beberapa peristiwa yang cenderung menyudutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dapat dijadikan indikasi bahwa Polri masih dalam tahap perbaikan (reformasi).

Peristiwa tersebut adalah kelambanan mengungkap pelaku kampanye hitam yang sempat memanas di antara pendukung calon presiden. Reformasi Polri tahap kedua sampai 2014 ini adalah membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan masyarakat agar mendukung tugas dan fungsi kepolisian. Tetapi, realitas berkata lain sebab reformasi untuk membangun partnership building belum menunjukkan hasil maksimal sehingga reformasi Polri tidak boleh berhenti.

Lebih dari itu, tugas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) merupakan tugas utama Polri selain mengayomi, melayani, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum. Malah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memberi kewenangan strategis bagi Polri misalnya dalam melaksanakan tugas menjaga kamtibmas dilaksanakan dengan keleluasaan represi. Inilah yang sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat, terutama saat ada aksi unjuk rasa yang kadang dihadapi dengan kekerasan.

Maka itu, aparat kepolisian harus punya referensi bagaimana menjaga dan menghargai penyampaian aspirasi pengunjuk rasa sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat yang cenderung bebas, terbuka, lepas kontrol, dan ekstreme harus diantisipasi polisi dengan pendekatan persuasif.

Butuh Kesabaran
Ada ungkapan miring dalam masyarakat, saat ini susah mencari polisi jujur. Kalaupun ada, pastilah itu polisi tidur dan patung polisi. Bagi anggota Polri yang jujur dan mengabdi sepenuhnya, tudingan itu jelas menyakitkan. Tetapi, terpaksa diterima karena hampir setiap hari publik merasakan dan menyaksikan oknum-oknum polisi melakukan pungutan liar, tak peduli itu di jalan atau di tempat pelayanan surat izin mengemudi (SIM). Itulah wujud dari terbukanya gambaran tugas polisi yang bisa disaksikan secara kasat mata setiap hari.

Misalnya saat mengatur arus lalu lintas, melakukan patroli untuk mencegah gangguan kamtibmas, atau menangkap penjahat. Membangun profesionalitas Polri butuh kesabaran dan tidak boleh menyakiti hati rakyat. Ini menjadi bagian pekerjaan rumah bagi polisi dalam kesehariannya yang tentu saja membutuhkan kesabaran, ketelatenan, kemandirian, dan kemahiran. Dunia kejahatan juga harus diurai polisi agar tidak semakin meluas dan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Itu yang menuntut polisi agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada kejahatan yang rumit dibuktikan dalam bentuk pembuktian secara ilmiah (scientific criminal investigation).

Dalam kenyataan, niat dan modus operandi penjahat (mens rea) kadang selangkah lebih maju dari kemampuan polisi sehingga harus diimbangi kualitas sumber daya manusia yang memadai (profesional). Realitas selama ini, perjalanan mengubah watak dan perilaku anggota Polri tampak berjalan lamban dan alot. Terutama yang berkaitan dengan masalah mengubah perilaku manusia atau mengubah kultur lantaran termasuk pekerjaan raksasa yang berat dan membutuhkan waktu yang amat panjang. Reformasi kultur yang cukup alot itu tidak selalu dapat dipahami semua orang tentang bagaimana kesulitan mengubah perilaku dan kultur.

Masyarakat berhak merasakan ada perubahan sikap, perilaku, dan kultur polisi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Polri harus mandiri, tidak boleh memberi peluang diintervensi dalam menegakkan hukum. Setiap kebijakan kepolisian yang menyangkut kamtibmas harus dapat diawasi. Begitu pula soal proses yudisial seperti penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan harus di bawah kontrol kejaksaan.

Partisipasi Masyarakat
Setidaknya Polri harus profesional dalam mengapresiasi tugas kamtibmas agar mampu menjadi pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat. Artinya, Polri harus mampu mengayomi dan melayani masyarakat dengan baik. Kemudian melindungi masyarakat dalam menata tertib hukum. Formulanya tentu melalui pendekatan persuasif, bukan dengan ancaman dan represi.

Dalam reformasi Polri tahap kedua harus mampu membangkitkan partisipasi masyarakat sebab rasa aman merupakan bagian dari tanggung jawab masyarakat. Sebaliknya, masyarakat diberi ruang, kesempatan, dan tantangan untuk mewujudkan rasa aman sebagai bagian dari membangun civil society. Betapa tidak sederhananya pekerjaan mereformasi Polri. Selain mendorong Polri untuk terus memperbaiki kualitas personil, tetapi masyarakat juga tidak bisa tinggal diam melihat Polri jalan sendiri kemudian bersikap terima beres.

Kebersamaan itu menjadi momentum membangun hubungan masyarakat dengan institusi Polri, sekaligus hubungan warga dan personil polisi. Polri harus mampu membangun sosok personelnya yang bersahabat dan santun, sementara masyarakat memotivasi dan menerima Polri sebagai mitra. Kita juga berharap pemerintah dan DPR memberikan perhatian penuh dengan menganggarkan dana yang memadai dalam mereformasi Polri.

Misalnya, peralatan dan kesejahteraan anggota Polri diperbaiki agar tidak selalu dijadikan alibi atas berbagai dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kondisi yang terbatas bisa menggoda anggota Polri untuk mencari kompensasi melalui “kerja sampingan” yang merugikan publik atau meminta setoran bawahan. Gurita penyalahgunaan wewenang harus dipotong sebab lambannya reformasi Polri tidak boleh disikapi dengan cara jalan pintas.

Selama gurita itu belum berhasil dipangkas, reformasi, terutama reformasi memperoleh atau membangun sosok aparat yang bersih, efektif, profesional, akan terhambat. Tetapi, juga tidak boleh ada pembenaran jika hambatan dan kendala itu dijadikan alasan untuk tidak serius membangun Polri. Kita tidak boleh berhenti memotivasi Polri agar berubah ke arah yang lebih baik. Jangan berhenti mereformasi Polri, dirgahayu polisi Indonesia.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0623 seconds (0.1#10.140)