Budaya Mundur
A
A
A
KOMPETISI sepak bola paling akbar sejagat Piala Dunia 2014 di Brasil yang telah memasuki babak 16 besar memberi pelajaran yang sangat menarik bagi publik pencinta bola. Selain dihibur oleh penampilan atraktif tim-tim papan atas berikut aksi-aksi mengagumkan dari para bintangnya, penggemar bola juga mendapat tontonan yang mencerminkan sportivitas tinggi dari para pelatih tim yang gagal mencapai target di babak penyisihan grup.
Dari 32 pelatih tim yang ikut fase penyisihan grup, enam di antaranya mengundurkan diri atas kesadaran sendiri karena gagal mengemban misi meloloskan timnya ke babak 16 besar di Brasil. Mereka adalah Cesare Prandeli (pelatih timnas Italia), Sabri Lamaouchi (Pantai Gading), Alberto Zaccheroni (Jepang), Carlos Queiroz (Iran), Safet Susic (Bosnia-Herzegovina), Luis Fernando Suarez (pelatih timnas Honduras). Sementara pelatih timnas Spanyol, Vicente Del Bosque, masih dipertahankan hingga kontraknya selesai 2016 meski penampilan juara bertahan di babak penyisihan grup sangat mengecewakan.
Asosiasi Sepak Bola Spanyol berpandangan Del Bosque masih tetap pelatih terbaik yang mereka miliki. Enam pelatih yang memilih meninggalkan kursi empuknya bisa disebut sebagai korban kompetisi fase grup. Tapi, di sisi lain mereka pemimpin yang tahu diri dengan situasi, tidak mabuk kekuasaan, dan memiliki tanggung jawab moral.
Jika mau, sebenarnya para pelatih ini mampu bertahan dengan segala kapasitas yang mereka miliki. Pelatih timnas adalah puncak karier yang didambakan banyak orang yang menekuni adu taktik dan strategi sepak bola. Tapi, tanggung jawab moral adalah faktor yang paling mereka pertimbangkan.
Dalam dunia politik di Tanah Air, sportivitas pemimpin seperti yang ditunjukkan enam pelatih tersebut sangat didambakan. Jangankan mundur dengan sukarela, didesak mundur pun tidak sedikit pejabat publik yang gagal mengemban amanah rakyat enggan meninggalkan kursi empuknya.
Begitu pula dengan pejabat publik yang telah disangka terlibat kasus korupsi, bertahan dengan dalih asas praduga tak bersalah lebih diminati. Sportivitas dan kerelaan hati untuk meletakkan jabatan jika merasa tidak mampu perlu ditumbuhkan terus dalam iklim berdemokrasi kita. Di sebagian negara pejabat publik yang mundur karena kesalahan, terkena kasus, atau ketidakmampuan menjalankan amanah sudah merupakan kejadian biasa.
Di Indonesia kejadian seperti ini masih langka meski sudah ada satu-dua pejabat yang menyatakan mundur setelah menjadi tersangka kasus hukum. Namun, masih banyak pejabat yang enggan mundur atau bersedia mundur setelah didesak kanan-kiri. Malah ada yang ngotot tidak mau mundur meski sudah didemo masyarakat berulangkali.
Bagi sebagian masyarakat kita, mundur masih dianggap sebagai bentuk tindakan lepas tanggung jawab. Namun, sebagian lain menilai mundur adalah bentuk tanggung jawab dan kerelaan seorang pemimpin agar tidak membebani lembaga yang dia pimpin. Prinsip ini didasari keyakinan bahwa masih ada orang lain yang lebih baik yang bisa menggantikan posisinya.
Sebenarnya nilai-nilai ini seperti bisa menjadi pijakan regenerasi kepemimpinan. Akan sangat baik dan positif jika regenerasi kepemimpinan ini berjalan alami tanpa paksaan meski harus melalui kompetisi pemilu.
Pola rekrutmen calon-calon pemimpin bangsa akan terasa nyaman jika kesadaran memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan leadership mumpuni tidak terganjal kepentingan-kepentingan status quo dan jangka pendek. Budaya mundur adalah bagian dari mekanisme moral untuk mendorong tampilnya figur-figur yang kompeten.
Sejarah telah mencatat di sejumlah negara yang pemimpinnya tidak mau turun tahta setelah berkuasa puluhan tahun, meletuslah gerakan pemaksaan untuk menurunkan sang pemimpin. Tidak jarang gerakan ini menelan korban jiwa, harta benda, dan merusak tatanan negara itu sendiri dan belum tentu melahirkan pemimpin yang lebih baik.
Dari 32 pelatih tim yang ikut fase penyisihan grup, enam di antaranya mengundurkan diri atas kesadaran sendiri karena gagal mengemban misi meloloskan timnya ke babak 16 besar di Brasil. Mereka adalah Cesare Prandeli (pelatih timnas Italia), Sabri Lamaouchi (Pantai Gading), Alberto Zaccheroni (Jepang), Carlos Queiroz (Iran), Safet Susic (Bosnia-Herzegovina), Luis Fernando Suarez (pelatih timnas Honduras). Sementara pelatih timnas Spanyol, Vicente Del Bosque, masih dipertahankan hingga kontraknya selesai 2016 meski penampilan juara bertahan di babak penyisihan grup sangat mengecewakan.
Asosiasi Sepak Bola Spanyol berpandangan Del Bosque masih tetap pelatih terbaik yang mereka miliki. Enam pelatih yang memilih meninggalkan kursi empuknya bisa disebut sebagai korban kompetisi fase grup. Tapi, di sisi lain mereka pemimpin yang tahu diri dengan situasi, tidak mabuk kekuasaan, dan memiliki tanggung jawab moral.
Jika mau, sebenarnya para pelatih ini mampu bertahan dengan segala kapasitas yang mereka miliki. Pelatih timnas adalah puncak karier yang didambakan banyak orang yang menekuni adu taktik dan strategi sepak bola. Tapi, tanggung jawab moral adalah faktor yang paling mereka pertimbangkan.
Dalam dunia politik di Tanah Air, sportivitas pemimpin seperti yang ditunjukkan enam pelatih tersebut sangat didambakan. Jangankan mundur dengan sukarela, didesak mundur pun tidak sedikit pejabat publik yang gagal mengemban amanah rakyat enggan meninggalkan kursi empuknya.
Begitu pula dengan pejabat publik yang telah disangka terlibat kasus korupsi, bertahan dengan dalih asas praduga tak bersalah lebih diminati. Sportivitas dan kerelaan hati untuk meletakkan jabatan jika merasa tidak mampu perlu ditumbuhkan terus dalam iklim berdemokrasi kita. Di sebagian negara pejabat publik yang mundur karena kesalahan, terkena kasus, atau ketidakmampuan menjalankan amanah sudah merupakan kejadian biasa.
Di Indonesia kejadian seperti ini masih langka meski sudah ada satu-dua pejabat yang menyatakan mundur setelah menjadi tersangka kasus hukum. Namun, masih banyak pejabat yang enggan mundur atau bersedia mundur setelah didesak kanan-kiri. Malah ada yang ngotot tidak mau mundur meski sudah didemo masyarakat berulangkali.
Bagi sebagian masyarakat kita, mundur masih dianggap sebagai bentuk tindakan lepas tanggung jawab. Namun, sebagian lain menilai mundur adalah bentuk tanggung jawab dan kerelaan seorang pemimpin agar tidak membebani lembaga yang dia pimpin. Prinsip ini didasari keyakinan bahwa masih ada orang lain yang lebih baik yang bisa menggantikan posisinya.
Sebenarnya nilai-nilai ini seperti bisa menjadi pijakan regenerasi kepemimpinan. Akan sangat baik dan positif jika regenerasi kepemimpinan ini berjalan alami tanpa paksaan meski harus melalui kompetisi pemilu.
Pola rekrutmen calon-calon pemimpin bangsa akan terasa nyaman jika kesadaran memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan leadership mumpuni tidak terganjal kepentingan-kepentingan status quo dan jangka pendek. Budaya mundur adalah bagian dari mekanisme moral untuk mendorong tampilnya figur-figur yang kompeten.
Sejarah telah mencatat di sejumlah negara yang pemimpinnya tidak mau turun tahta setelah berkuasa puluhan tahun, meletuslah gerakan pemaksaan untuk menurunkan sang pemimpin. Tidak jarang gerakan ini menelan korban jiwa, harta benda, dan merusak tatanan negara itu sendiri dan belum tentu melahirkan pemimpin yang lebih baik.
(nfl)