Menyelamatkan PSK, Menghukum Mucikari
A
A
A
Para pekerja seks komersial (PSK) Dolly mempertanyakan komitmen pemerintah untuk membina mereka sebelum menutup kompleks prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu. Pertanyaan yang masuk akal, karena berulang kali pemerintah daerah Surabaya memang menjanjikan akan memberikan pembekalan keterampilan agar para PSK tersebut dapat berganti profesi.
Karena para PSK menganggap pemerintah tidak memenuhi janji, mereka dikabarkan menolak keras rencana penutupan Dolly. Terdapat beberapa catatan terkait situasi di Dolly dan reaksi para PSK di sana. Pertama, saya tidak yakin bahwa para PSK menentang agenda pemerintah Surabaya. Mayorita setidaknya demikian PSK melawan rencana penutupan Dolly, lebih karena mereka diintimidasi oleh para mucikari. Dalam kondisi terjerat dalam perangkap, para PSK tidak memiliki pilihan kecuali mematuhi desakan mucikari-mucikari tersebut.
Kedua, ketika kebanyakan kalangan menyoroti masalah Dolly dari perspektif moral dan ekonomi, sangat penting sesungguhnya untuk membingkai situasi Dolly juga sebagai situasi kejahatan. Dalam konteks sedemikian rupa, niscaya muncul kebutuhan akan kategorisasi: siapa pelaku dan siapa korban. Yang belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya, oleh karena itu perlu ditegaskan, adalah posisi sekian banyak negara yang kini menyetarakan prostitusi sebagai human trafficking.
Dengan penyetaraan tersebut, para PSK dipandang sebagai korban, sementara para mucikari dianggap sebagai pelaku kejahatan yang telah mengeksploitasi orang lain sebagai mesin ekonomi mereka. Ketiga, paradigma bahwa prostitusi merupakan human trafficking menjadi acuan bagi khususnya penegak hukum untuk mengembangkan strategi penindakan baru. Strategi ini lebih bersifat represif, dengan asumsi bahwa pendekatan sosio edukatif telah dijalankan terlebih dahulu.
Strategi dimaksud adalah alih-alih melakukan penertiban secara non diskriminatif, otoritas hukum perlu memprioritaskan upaya penyisiran (baca: penangkapan) terhadap para mucikari dan memproses mereka secara pidana. Apabila nantinya divonis bersalah, patut kiranya para mucikari tidak hanya dikenai sanksi pemidanaan berupa pemenjaraan. Mucikari-mucikari itu juga seharusnya dikenakan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada para PSK yang telah mereka eksploitasi. Pada sisi itu pula, saya kerap mengerutkan dahi saban kali menyimak protes para PSK Dolly.
Mereka, para korban mucikari, berulang kali memprotes pemerintah yang dinilai kurang peduli. Tetapi ironisnya, tidak pernah terdengar PSK mendesak para mucikari untuk membekali mereka dengan keterampilan agar bisa keluar dari pekerjaan hina tersebut. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga terkait dapat berkampanye secara masif agar para PSK berani melarikan diri dari orang-orang yang telah memperbudak mereka. Isi kampanye itu tidak sebatas program pemberdayaan, tetapi juga jaminan perlindungan dari teror para mucikari terhadap PSK dan keluarga mereka.
Keempat, beberapa kalangan melihat bahwa tidak sedikit PSK yang menunjukkan keberpihakan pada para mucikari mereka. Perempuan-perempuan malang itu justru melihat mucikari sebagai sosok yang memelihara dan melindungi. Seolah, tanpa mucikari, PSK yakin hidup mereka bakal sengsara. Kompleksitas psikologis tersebut sesungguhnya merefleksikan Stockholm Syndrome, yakni jatuh simpatinya para korban terhadap pihak yang sebenarnya telah memviktimisasi mereka. Keberpihakan terhadap mucikari merupakan efek interaksi intens antara PSK dengan majikan mereka yang sesungguhnya berlangsung secara manipulatif.
Mucikari hadir dengan berpura-pura sebagai sosok yang peduli. Mereka, misalnya, menyantuni kehidupan PSK maupun keluarganya, kendati uang santunan itu pada kenyataannya berasal dari PSK sendiri. Pendekatan lainnya, keluarga PSK diperkenankan tinggal di kawasan prostitusi, sebagai cara mucikari untuk membatasi ruang gerak PSK. Padahal, akal sehat mengatakan apabila mucikari benarbenar orang yang peduli maka mereka niscaya tidak akan mempekerjakan ataupun membiarkan para PSK berkecimpung di lembah nista itu untuk waktu yang tak pernah dipastikan kapan akan berakhir.
Apalagi jika dilihat fakta bahwa perputaran uang dari bisnis maksiat di Dolly mencapai angka sangat fantastis, yakni satu hingga dua miliar per malam. Optimistis, jumlah tersebut bisa digunakan untuk mengentaskan prostitusi di sana. Tetapi pertanyaan sederhana yang niscaya dijawab dengan gelengan kepala: apakah PSK, selaku pekerja, menerima porsi terbesar dari omzet bisnis human trafficking tersebut? Adalah mucikari, bukan pihak lain, yang justru paling menikmati uang hasil jerih payah para PSK.
Atas dasar itu, pemisahan antara PSK dan mucikari seperti tercantum pada poin ketiga di atas juga dijadikan sebagai sesi-sesi pendidikan guna meluruskan kembali persepsi para PSK akan relasi manipulatif yang telah menjerat mereka. Upaya untuk maksud tersebut bisa jadi tidak sederhana, karena distorsi psikologis kemungkinan juga dialami sanak saudara PSK sendiri. Tak pelak, reedukasi perlu diperluas sasarannya, yakni para PSK dan orang-orang terdekat yang selama ini juga telah menggantungkan kehidupan mereka pada PSK tersebut.
Kelima, upaya pemulangan para PSK ke kampung halaman mereka masing-masing dipastikan tidak akan efektif apabila tempat asal tersebut tidak menjanjikan sumber pendapatan yang baik. Penutupan Dolly, dengan demikian, sesungguhnya juga merupakan momentum yang tepat bagi program revitalisasi desa. Pemerintah mendatang mesti selekasnya merealisasikan program pembangunan pedesaan dengan menggiatkan potensipotensi perekonomian setempat.
Keenam, riuh rendah penutupan Dolly terkesan kuat abai terhadap anak-anak para PSK di sana. Ini tidak boleh dipandang sepele! Secara normatif, sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, semua pihak berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya kepentingan terbaik anak. Anak juga merupakan kelompok individu yang sangat rentan tercederai akibat pekerjaan yang telah “dipilih” oleh ibu mereka. Anak-anak PSK terpapar langsung pada sikap ambigu terhadap nilai budi pekerti, yang tragisnya justru diperagakan oleh figur sentral yaitu orang tua mereka sendiri.
Dan sangat beralasan untuk waswas bahwa itu semua merupakan basis yang sama sekali tidak ideal bagi perkembangan moral anak pada fase-fase hidup mereka berikutnya. Jadi jelas, penutupan Dolly maupun kompleks-kompleks prostitusi lainnya sepatutnya didesain secara terintegrasi dengan agenda perlindungan anak. Baik anak para PSK maupun anak-anak yang berada di sekitar Dolly. Namun disayangkan, instansi yang berkepentingan langsung dengan agenda tersebut, utamanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia belum terlihat mengambil langkah nyata dan memadai guna menyelamatkan sesegera mungkin anak-anak PSK Dolly. Ayo, selamatkan para PSK dan borgol tangan para mucikari!.
Karena para PSK menganggap pemerintah tidak memenuhi janji, mereka dikabarkan menolak keras rencana penutupan Dolly. Terdapat beberapa catatan terkait situasi di Dolly dan reaksi para PSK di sana. Pertama, saya tidak yakin bahwa para PSK menentang agenda pemerintah Surabaya. Mayorita setidaknya demikian PSK melawan rencana penutupan Dolly, lebih karena mereka diintimidasi oleh para mucikari. Dalam kondisi terjerat dalam perangkap, para PSK tidak memiliki pilihan kecuali mematuhi desakan mucikari-mucikari tersebut.
Kedua, ketika kebanyakan kalangan menyoroti masalah Dolly dari perspektif moral dan ekonomi, sangat penting sesungguhnya untuk membingkai situasi Dolly juga sebagai situasi kejahatan. Dalam konteks sedemikian rupa, niscaya muncul kebutuhan akan kategorisasi: siapa pelaku dan siapa korban. Yang belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya, oleh karena itu perlu ditegaskan, adalah posisi sekian banyak negara yang kini menyetarakan prostitusi sebagai human trafficking.
Dengan penyetaraan tersebut, para PSK dipandang sebagai korban, sementara para mucikari dianggap sebagai pelaku kejahatan yang telah mengeksploitasi orang lain sebagai mesin ekonomi mereka. Ketiga, paradigma bahwa prostitusi merupakan human trafficking menjadi acuan bagi khususnya penegak hukum untuk mengembangkan strategi penindakan baru. Strategi ini lebih bersifat represif, dengan asumsi bahwa pendekatan sosio edukatif telah dijalankan terlebih dahulu.
Strategi dimaksud adalah alih-alih melakukan penertiban secara non diskriminatif, otoritas hukum perlu memprioritaskan upaya penyisiran (baca: penangkapan) terhadap para mucikari dan memproses mereka secara pidana. Apabila nantinya divonis bersalah, patut kiranya para mucikari tidak hanya dikenai sanksi pemidanaan berupa pemenjaraan. Mucikari-mucikari itu juga seharusnya dikenakan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada para PSK yang telah mereka eksploitasi. Pada sisi itu pula, saya kerap mengerutkan dahi saban kali menyimak protes para PSK Dolly.
Mereka, para korban mucikari, berulang kali memprotes pemerintah yang dinilai kurang peduli. Tetapi ironisnya, tidak pernah terdengar PSK mendesak para mucikari untuk membekali mereka dengan keterampilan agar bisa keluar dari pekerjaan hina tersebut. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga terkait dapat berkampanye secara masif agar para PSK berani melarikan diri dari orang-orang yang telah memperbudak mereka. Isi kampanye itu tidak sebatas program pemberdayaan, tetapi juga jaminan perlindungan dari teror para mucikari terhadap PSK dan keluarga mereka.
Keempat, beberapa kalangan melihat bahwa tidak sedikit PSK yang menunjukkan keberpihakan pada para mucikari mereka. Perempuan-perempuan malang itu justru melihat mucikari sebagai sosok yang memelihara dan melindungi. Seolah, tanpa mucikari, PSK yakin hidup mereka bakal sengsara. Kompleksitas psikologis tersebut sesungguhnya merefleksikan Stockholm Syndrome, yakni jatuh simpatinya para korban terhadap pihak yang sebenarnya telah memviktimisasi mereka. Keberpihakan terhadap mucikari merupakan efek interaksi intens antara PSK dengan majikan mereka yang sesungguhnya berlangsung secara manipulatif.
Mucikari hadir dengan berpura-pura sebagai sosok yang peduli. Mereka, misalnya, menyantuni kehidupan PSK maupun keluarganya, kendati uang santunan itu pada kenyataannya berasal dari PSK sendiri. Pendekatan lainnya, keluarga PSK diperkenankan tinggal di kawasan prostitusi, sebagai cara mucikari untuk membatasi ruang gerak PSK. Padahal, akal sehat mengatakan apabila mucikari benarbenar orang yang peduli maka mereka niscaya tidak akan mempekerjakan ataupun membiarkan para PSK berkecimpung di lembah nista itu untuk waktu yang tak pernah dipastikan kapan akan berakhir.
Apalagi jika dilihat fakta bahwa perputaran uang dari bisnis maksiat di Dolly mencapai angka sangat fantastis, yakni satu hingga dua miliar per malam. Optimistis, jumlah tersebut bisa digunakan untuk mengentaskan prostitusi di sana. Tetapi pertanyaan sederhana yang niscaya dijawab dengan gelengan kepala: apakah PSK, selaku pekerja, menerima porsi terbesar dari omzet bisnis human trafficking tersebut? Adalah mucikari, bukan pihak lain, yang justru paling menikmati uang hasil jerih payah para PSK.
Atas dasar itu, pemisahan antara PSK dan mucikari seperti tercantum pada poin ketiga di atas juga dijadikan sebagai sesi-sesi pendidikan guna meluruskan kembali persepsi para PSK akan relasi manipulatif yang telah menjerat mereka. Upaya untuk maksud tersebut bisa jadi tidak sederhana, karena distorsi psikologis kemungkinan juga dialami sanak saudara PSK sendiri. Tak pelak, reedukasi perlu diperluas sasarannya, yakni para PSK dan orang-orang terdekat yang selama ini juga telah menggantungkan kehidupan mereka pada PSK tersebut.
Kelima, upaya pemulangan para PSK ke kampung halaman mereka masing-masing dipastikan tidak akan efektif apabila tempat asal tersebut tidak menjanjikan sumber pendapatan yang baik. Penutupan Dolly, dengan demikian, sesungguhnya juga merupakan momentum yang tepat bagi program revitalisasi desa. Pemerintah mendatang mesti selekasnya merealisasikan program pembangunan pedesaan dengan menggiatkan potensipotensi perekonomian setempat.
Keenam, riuh rendah penutupan Dolly terkesan kuat abai terhadap anak-anak para PSK di sana. Ini tidak boleh dipandang sepele! Secara normatif, sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, semua pihak berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya kepentingan terbaik anak. Anak juga merupakan kelompok individu yang sangat rentan tercederai akibat pekerjaan yang telah “dipilih” oleh ibu mereka. Anak-anak PSK terpapar langsung pada sikap ambigu terhadap nilai budi pekerti, yang tragisnya justru diperagakan oleh figur sentral yaitu orang tua mereka sendiri.
Dan sangat beralasan untuk waswas bahwa itu semua merupakan basis yang sama sekali tidak ideal bagi perkembangan moral anak pada fase-fase hidup mereka berikutnya. Jadi jelas, penutupan Dolly maupun kompleks-kompleks prostitusi lainnya sepatutnya didesain secara terintegrasi dengan agenda perlindungan anak. Baik anak para PSK maupun anak-anak yang berada di sekitar Dolly. Namun disayangkan, instansi yang berkepentingan langsung dengan agenda tersebut, utamanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia belum terlihat mengambil langkah nyata dan memadai guna menyelamatkan sesegera mungkin anak-anak PSK Dolly. Ayo, selamatkan para PSK dan borgol tangan para mucikari!.
(mhd)