Kecakapan Mengelola APBD
A
A
A
PEMERINTAH daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota tiap tahun menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Di dalam APBD terdapat fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Melalui APBD, pemerintah menunjukkan keberpihakannya melalui pos penerimaan dan belanja daerah.
Dua pos itu sekaligus menggambarkan juga bagaimana pemerintah memperlakukan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau warganya. Sesuai asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, gubernur bertanggung jawab selaku pengelola keuangan daerah terhadap APBD.
Bagi badan legislatif (DPRD), keberadaan APBD merupakan alat untuk menilai kinerja pemerintah. Untuk memperkuat akurasi penilaian, DPRD menggunakan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan APBD yang sudah diaudit BPK.
Untuk itulah, gubernur memiliki kewajiban menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa BPK, selambatlambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan pemeriksaan oleh BPK biasanya disertai penilaian melalui pemberian opini.
Dalam melakukan penilaian terhadap laporan keuangan pemerintah, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebagai peringkat pertama. Kemudian opini wajar dengan pengecualian (WDP) di urutan kedua. Pada peringkat ketiga adalah tidak beropini (disclaimer).
Lalu yang keempat adalah opini tidak wajar (adverse). Terkait pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2013, BPK telah melakukan pemeriksaan atau audit terhadap Laporan Keuangan APBD Tahun Anggaran 2013. Setelah menjalani proses audit, Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP).
Opini yang diberikan BPK tersebut menurun dibandingkan opini WTP atas audit Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012 saat gubernur masih dijabat Fauzi Bowo.
Ramainya berita mengenai BPK yang memberikan opini WDP terhadap Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 tentu menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang. Tahun Anggaran 2013 merupakan tahun pertama masa jabatan Gubernur Joko Widodo. Bagaimanakah sampai bisa keluar penilaian tersebut? Inti dari penilaian WDP yang dikeluarkan BPK adalah ada temuan yang dianggap berpotensi merugikan negara dalam APBD DKI Tahun Anggaran 2013.
BPK memberikan opini WDP didasari ada temuan audit. Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK mendapati 86 temuan. Dari jumlah temuan tersebut, BPK menemukan total kerugian yang berjumlah Rp1,54 triliun.
Dari temuan itu terdapat indikasi kerugian daerah sebesar Rp85,36 miliar, kemudian potensi kerugian daerah sebesar Rp1,33 triliun, dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp95,01 miliar. Hasil audit BPK juga menemukan bahwa terjadi pemborosan sebesar Rp23,13 miliar.
Lalu ditemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp59,23 miliar, berkaitan dengan belanja operasional pendidikan, kegiatan penataan jalan kampung, dan biaya pengendalian teknis kegiatan.
Berdasarkan audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 menunjukkan ada tiga hal penting. Pertama, kurangnya komitmen Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo atas akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD.
Kedua, lemahnya sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI yang dipimpin Joko Widodo. Ketiga , meningkatnya pelanggaran kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo.
Di luar temuan tersebut, kinerja penyerapan APBD DKI Tahun Anggaran 2013 juga dinilai masih lemah dan terdapat sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) yang jumlahnya mencapai Rp7 triliun. Apabila kita melongok kembali saat BPK memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam audit pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta APBD Tahun Anggaran 2011, kita patut prihatin.
Mengingat prestasi tersebut merupakan momentum dalam mendorong tercipta akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah di Provinsi DKI ibu kota negara dan sekaligus menjadi barometer nasional. Pada saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2011, BPK mengungkapkan ada 69 temuan.
Temuan tersebut antara lain terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah sebesar Rp4,82 miliar, temuan potensi kerugian daerah sebesar Rp2,44 miliar, dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp7,02 miliar.
Atas temuan-temuan tersebut, telah dilakukan penyetoran selama penyusunan laporan hasil pemeriksaan masing-masing indikasi kerugian daerah sebesar Rp2,24 miliar, potensi kerugian sebesar Rp2,02 miliar, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp532,86 juta.
Kemudian saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2012, temuan oleh BPK menurun menjadi 65 temuan yang meliputi temuan dengan indikasi kerugian daerah Rp11,05 miliar, temuan potensi kerugian daerah Rp7,15 miliar, kekurangan penerimaan daerah Rp18,52 miliar, dan temuan 3E senilai Rp117,82 miliar.
Hasil audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 membuka kenyataan bahwa Gubernur Joko Widodo kurang cakap dalam membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD. Kemudian Gubernur Joko Widodo juga kurang memberikan perhatian pada upaya membangun sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI.
Lalu, Gubernur Joko Widodo juga tidak menunjukkan kemampuannya dalam mencegah terjadi pelanggaran kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI. Kenyataan ini pertanda baik dan sekaligus memberikan panduan yang menunjukkan arah perubahan dalam tata kelola pemerintahan yang harusnya bisa dilakukan Gubernur Joko Widodo sebagai kepala daerah Provinsi DKI Jakarta.
KUSFIARDI
Pengamat Ekonomi
Di dalam APBD terdapat fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Melalui APBD, pemerintah menunjukkan keberpihakannya melalui pos penerimaan dan belanja daerah.
Dua pos itu sekaligus menggambarkan juga bagaimana pemerintah memperlakukan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau warganya. Sesuai asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, gubernur bertanggung jawab selaku pengelola keuangan daerah terhadap APBD.
Bagi badan legislatif (DPRD), keberadaan APBD merupakan alat untuk menilai kinerja pemerintah. Untuk memperkuat akurasi penilaian, DPRD menggunakan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan APBD yang sudah diaudit BPK.
Untuk itulah, gubernur memiliki kewajiban menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa BPK, selambatlambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan pemeriksaan oleh BPK biasanya disertai penilaian melalui pemberian opini.
Dalam melakukan penilaian terhadap laporan keuangan pemerintah, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebagai peringkat pertama. Kemudian opini wajar dengan pengecualian (WDP) di urutan kedua. Pada peringkat ketiga adalah tidak beropini (disclaimer).
Lalu yang keempat adalah opini tidak wajar (adverse). Terkait pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2013, BPK telah melakukan pemeriksaan atau audit terhadap Laporan Keuangan APBD Tahun Anggaran 2013. Setelah menjalani proses audit, Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP).
Opini yang diberikan BPK tersebut menurun dibandingkan opini WTP atas audit Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012 saat gubernur masih dijabat Fauzi Bowo.
Ramainya berita mengenai BPK yang memberikan opini WDP terhadap Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 tentu menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang. Tahun Anggaran 2013 merupakan tahun pertama masa jabatan Gubernur Joko Widodo. Bagaimanakah sampai bisa keluar penilaian tersebut? Inti dari penilaian WDP yang dikeluarkan BPK adalah ada temuan yang dianggap berpotensi merugikan negara dalam APBD DKI Tahun Anggaran 2013.
BPK memberikan opini WDP didasari ada temuan audit. Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK mendapati 86 temuan. Dari jumlah temuan tersebut, BPK menemukan total kerugian yang berjumlah Rp1,54 triliun.
Dari temuan itu terdapat indikasi kerugian daerah sebesar Rp85,36 miliar, kemudian potensi kerugian daerah sebesar Rp1,33 triliun, dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp95,01 miliar. Hasil audit BPK juga menemukan bahwa terjadi pemborosan sebesar Rp23,13 miliar.
Lalu ditemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp59,23 miliar, berkaitan dengan belanja operasional pendidikan, kegiatan penataan jalan kampung, dan biaya pengendalian teknis kegiatan.
Berdasarkan audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 menunjukkan ada tiga hal penting. Pertama, kurangnya komitmen Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo atas akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD.
Kedua, lemahnya sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI yang dipimpin Joko Widodo. Ketiga , meningkatnya pelanggaran kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo.
Di luar temuan tersebut, kinerja penyerapan APBD DKI Tahun Anggaran 2013 juga dinilai masih lemah dan terdapat sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) yang jumlahnya mencapai Rp7 triliun. Apabila kita melongok kembali saat BPK memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam audit pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta APBD Tahun Anggaran 2011, kita patut prihatin.
Mengingat prestasi tersebut merupakan momentum dalam mendorong tercipta akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah di Provinsi DKI ibu kota negara dan sekaligus menjadi barometer nasional. Pada saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2011, BPK mengungkapkan ada 69 temuan.
Temuan tersebut antara lain terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah sebesar Rp4,82 miliar, temuan potensi kerugian daerah sebesar Rp2,44 miliar, dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp7,02 miliar.
Atas temuan-temuan tersebut, telah dilakukan penyetoran selama penyusunan laporan hasil pemeriksaan masing-masing indikasi kerugian daerah sebesar Rp2,24 miliar, potensi kerugian sebesar Rp2,02 miliar, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp532,86 juta.
Kemudian saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2012, temuan oleh BPK menurun menjadi 65 temuan yang meliputi temuan dengan indikasi kerugian daerah Rp11,05 miliar, temuan potensi kerugian daerah Rp7,15 miliar, kekurangan penerimaan daerah Rp18,52 miliar, dan temuan 3E senilai Rp117,82 miliar.
Hasil audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 membuka kenyataan bahwa Gubernur Joko Widodo kurang cakap dalam membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD. Kemudian Gubernur Joko Widodo juga kurang memberikan perhatian pada upaya membangun sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI.
Lalu, Gubernur Joko Widodo juga tidak menunjukkan kemampuannya dalam mencegah terjadi pelanggaran kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI. Kenyataan ini pertanda baik dan sekaligus memberikan panduan yang menunjukkan arah perubahan dalam tata kelola pemerintahan yang harusnya bisa dilakukan Gubernur Joko Widodo sebagai kepala daerah Provinsi DKI Jakarta.
KUSFIARDI
Pengamat Ekonomi
(nfl)