Piala Dunia: Antara Ritual Konsumsi dan Politik

Rabu, 18 Juni 2014 - 14:54 WIB
Piala Dunia: Antara...
Piala Dunia: Antara Ritual Konsumsi dan Politik
A A A
PIALA Dunia 2014 sudah dimulai di Brazil. Perhatian masyarakat di seluruh dunia tertuju ke ajang empat tahunan tersebut. Piala Dunia adalah ajang olahraga dunia yang paling banyak ditonton.

Bagi penggila bola dunia, perhelatan ini selalu ditunggu-tunggu karena bersamaan dengan liburan musim panas. Pesta olahraga paling populer di muka bumi ini selalu menarik disimak, seolah menjadi pesta sepak bola empat tahunan yang sayang ditinggalkan begitu saja. Sepak bola, sebagaimana sudah menjadi fenomena kesejagadan, tak hanya menyuguhkan atraksi dan penampilan pemain-pemainnya yang ciamik di lapangan. Ia tak sekadar menampilkan strategi permainan ala cattenacio ataupun total football-nya Belanda.

Ia pun tak hanya menyodorkan berbagai selebrasi setelah gol diciptakan. Tetapi, sepak bola sudah melampaui hal-hal yang bersifat makro. Ia sudah menjadi multifenomena, dari ekonomi, kultural hingga politik. Pada aras ini sepak bola betul-betul sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya akselerasi global dari berbagai ranah. Lapangan hijau dengan 22 pemain dan puluhan ribu penonton hanyalah bagian kasatmata yang kita saksikan. Lebih dari itu, sepak bola menghadirkan pengaruh yang sangat luar biasa di tingkat global.

Industri Global
Faktanya, saat ini sepak bola sudah menjadi industri global yang sarat dengan perputaran kapital. Sepak bola sudah menghasilkan ribuan pemain yang memiliki kontrak triliunan rupiah. Piala Dunia juga telah menghasilkan keuntungan bagi tuan rumah dan perusahaan-perusahaan global yang berkompetisi menjadi sponsor resminya.

Perusahaan-perusahaan yang logonya mejeng di seluruh stadion berlangsungnya Piala Dunia adalah salah satunya. Bagi perusahaan multinasional ajang ini merupakan ladang uang yang semakin mengukuhkan posisi bisnisnya. Tak kalah pentingnya adalah citra perusahaan dalam industri global. Salah satunya yang sangat kompetitif adalah persaingan berbagai produk jersey ternama.

Beberapa produk jersey yang merupakan perusahaan global itu adu seru menguasai dunia sepak bola global, terutama Piala Dunia. Produk-produk jersey tersebut selalu ditunggu-tunggu oleh jutaan penonton yang menyaksikan bagaimana kesebelasan favoritnya berlaga di ajang tersebut. Kontrak ini saja sudah memiliki harga yang sangat besar. Belum lagi harga hak siar dari seluruh pertandingan Piala Dunia ini yang disiarkan oleh seluruh negara di dunia.

Belum lagi penjualan tiket, merchandise, hingga acara nonton bareng yang digelar di setiap negara. Bagi pemain, inilah saatnya mereka menunjukkan performa terbaiknya. Jika mereka berhasil memikat pemantau dari berbagai klub raksasa, yakinlah kontrak mereka bakal meningkat selepas Piala Dunia. Mereka siap digadang-gadang dengan kontrak termahal di liga dunia.

Arena Konsumsi
Tak kalah pentingnya adalah, Piala Dunia menjadi arena konsumsi bagi jutaan manusia di muka bumi ini. Siaran televisi menjadi media strategis untuk menanamkan nilai-nilai baru yang disajikan dalam ajang tersebut. Sejarah mencatat, misalnya, ajang banyak pemain dunia yang menjadi trend setter gaya rambut, maupun fashion.

Di sinilah Piala Dunia menjadi arena berkembangnya tren dari mulai gaya rambut, kostum kesebelasan hingga aksesori lain yang kerap dipakai pemain-pemain. Setiap menjelang perhelatan Piala Dunia, bisnis kostum timnas peserta Piala Dunia selalu laris manis. Mulai dari yang harga pasar pinggiran hingga produk asli. Orang dewasa hingga anak-anak tak kalah memiliki kostum dari negara favoritnya.

Belum lagi berbagai pernak-pernik mulai dari cangkir, boneka, jam dinding, gantungan kunci laris diproduksi secara massal. Lagu resmi Piala Dunia juga banyak dicari oleh penonton di seluruh dunia. Meminjam istilah sosiolog Manuel Castell, inilah saatnya apa yang disebut dengan “collective consumption”. Sebuah era saat individu di muka bumi memiliki kepentingan dan preferensi yang sama untuk mengonsumsi secara massal ajang Piala Dunia.

Dalam pandangan Castell, penduduk di muka bumi ini adalah kumpulan konsumen. Begitulah Piala Dunia sudah menjadi ritual empat tahunan dan apa yang dijelaskan di atas menggambarkan bahwa kita sedang berada di era Post Footbalism.

Relaksasi Politik
Perhelatan Piala Dunia 2014 dalam konteks Indonesia menjadi istimewa karena terkait dengan dua momen penting yaitu pilpres dan Ramadan. Di tengah kontestasi politik yang semakin memanas setiap harinya dengan berbagai suguhan kampanye hitam kepada para kandidat capres-cawapres, Piala Dunia bisa menjadi alat pemersatu sekaligus meredakan berbagai ketegangan politik di kalangan pendukung, tim sukses hingga para kandidatnya.

Ibaratnya, Piala Dunia menjadi ruang relaksasi politik sesaat dengan menyaksikan laga-laga terbaik yang dipentaskan oleh tim-tim unggulan. Masyarakat bisa saja beda pilihan politik, tetapi dengan bola yang ditontonnya bisa mempersatukan sekaligus merekatkan tensi-tensi politik yang sudah provokatif dan di luar ambang batas rasional. Piala Dunia menjadi jembatan memecahkan stres politik yang sudah semakin tak sehat.

Politik selalu melahirkan atraksi-atraksi yang provokatif tanpa basis rasional. Politik sering dilakukan tanpa kendali moral. Semua atas nama kepentingan abadi. Tak ada rumus membangun budaya politik dengan suguhan seni politik yang ciamik. Nah, atraksi-atraksi para pemain terbaik di lapangan apalagi dengan gol-gol yang cantik mampu mengobati kegundahan politik yang sedang melanda panggung politik Indonesia.

Sepak bola melahirkan budaya dan nilai-nilai seni yang menjadi kekuatan emosi serta psikologis masyarakat. Kebersamaan dan guyub justru didapatkan dengan berbagai kesempatan nonton bareng untuk mendukung tim favoritnya. Mereka bisa teriak kencang sepuas-puasnya tanpa perlu mengumpat teman yang membela lawannya.

Mereka bisa berjingkrak-jingkrak merayakan selebrasi gol tim favoritnya tanpa melakukan serangan-serangan politik yang menjatuhkan lawannya. Inilah kekuatan dan ideologi sepak bola yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Tanpa pretensi politik, tanpa kepentingan religius. Sepak bola adalah ruang publik yang mencairkan kebuntuan-kebuntuan pemikiran sekaligus menata kembali nilai-nilai seni yang hilang dalam panggung politik Indonesia.

Karenanya, para tim sukses dan kandidat belajarlah dari para pemain sepak bola. Belajar membangun serangan kepada tim lawannya secara elegan, ciamik dan kekompakan dengan berbagai strategi yang dimilikinya. Apapun strateginya. Entah cattenacio, atau total football. Belajarlah bermain secara fair tanpa melakukan serangan fisik kepada lawan. Belajarlah sportif yang disuguhkan para pemain di lapangan.

Jika sepak bola yang sudah menjadi “agama dunia” bisa digemari jutaan umat manusia, maka kita sebenarnya tak lagi mendengar maraknya kampanye hitam yang murahan. Kita tak lagi menyaksikan sentimen SARA yang terus dihembuskan kepada kandidat tertentu.

Dengan sepak bolalah cermin peradaban bisa dilihat. Dan, politik Indonesia harusnya belajar betul kepada ajang Piala Dunia 2014. Selamat menikmati Piala Dunia 2014!

RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0688 seconds (0.1#10.140)