Politik Perempuan Menyambut Pilpres

Selasa, 17 Juni 2014 - 07:59 WIB
Politik Perempuan Menyambut...
Politik Perempuan Menyambut Pilpres
A A A
PADA 9 April 2014 bangsa Indonesia telah menggelar perhelatan demokrasi, yaitu pemilu legislatif. Sebagai pemilu keempat di era Reformasi, Pemilu 2014 merupakan perhelatan demokrasi yang penting bagi proses konsolidasi demokrasi kita yang sampai saat ini masih terus berlangsung.

Salah satu isu penting dalam konsolidasi demokrasi itu adalah peningkatan partisipasi dan penguatan representasi perempuan dalam kancah politik, khususnya di parlemen. Di era Reformasi ini representasi perempuan di parlemen memang mengalami fluktuasi dan pasang surut. Pada periode 1999-2004, anggota DPR perempuan sebanyak 44 orang atau 8,80%. Representasi perempuan meningkat pada pemilu kedua di masa reformasi.

Pada periode 2004-2009, wakil rakyat perempuan meningkat menjadi 62 orang (11%), meski dengan persentase lebih kecil ketimbang periode 1992-1997, yaitu 12,15% dengan 60 wakil perempuan. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan kenaikan perempuan terpilih secara signifikan menjadi 101 orang perempuan atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009-2014.

Tidak hanya di level DPR RI, hasil Pemilu 2009 juga membawa peningkatan jumlah perempuan terpilih di legislatif tingkat DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota. Kenaikan itu adalah: 18% di DPR, 16% kursi perempuan di seluruh DPRD provinsi, dan 12 % perempuan di seluruh DPRD kabupaten/kota. Sayang, Pemilu 2014 yang diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan representasi perempuan tidak tercapai.

Pada pemilu keempat di era ini representasi perempuan di parlemen justru turun. Jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 hanya 17,32%, yaitu 97 kursi dari 560 anggota DPR. Persentase keterwakilan perempuan tersebut masih jauh dari angka kritis (critical number) sebesar 30% dari jumlah anggota parlemen.

Penurunan Representasi Politik Perempuan
Penurunan ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor kultural. Faktor ini berupa paradigma patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Dunia politik masih dianggap sebagai dunia kaum lelaki. Masih kuat persepsi yang memandang bahwa perempuan tidak pantas masuk kancah politik.

Situasi ini berdampak pada dua hal, yaitu masih sedikitnya kader perempuan yang serius masuk politik, dan rendahnya kesadaran dan partisipasi pemilih perempuan untuk memilih caleg perempuan.

Kedua, secara struktural, affirmative action yang dilakukan untuk mendorong keterpilihan perempuan ternyata belum efektif. Langkah afirmasi yang tertuang dalam Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu itu salah satunya berupa kewajiban bagi partai politik untuk mencalonkan minimal 30% caleg perempuan dari total jumlah caleg di setiap daerah pemilihan.

Bahkan, KPU berwenang mencoret dari kepesertaan pemilu di dapil yang bersangkutan bagi partai politik yang jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30%. Namun, langkah itu ternyata belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan karena terbentur sistem pemilu yang sedemikian liberal. Pemilu dengan sistem terbuka dan suara terbanyak ternyata telah melahirkan kompetisi yang liberal dan menyuburkan politik uang.

Dalam situasi demikian, caleg yang tidak memiliki ”modal” banyak akan tersingkir dari pertarungan. Tradisi politik ini telah mendorong pemilih untuk menentukan pilihan tidak lagi secara rasional, melainkan memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis. Dalam konteks inilah caleg perempuan kerap menjadi korban dari kompetisi yang pragmatis tersebut.

Berbagai faktor penyebab penurunan jumlah keterwakilan perempuan diparlemen itu perlu mendapatkan perhatian untuk dicegah dan diubah. Kabar kurang baik ini tentu menyadarkan kita bahwa kemajuan proses demokratisasi di Indonesia belum paralel dengan kemajuan politik kaum perempuan. Kondisi itu menunjukkan bahwa perjuangan politik perempuan masih jauh dari garis finis.

Masih panjang perjuangan yang harus dilakukan. Di samping secara kuantitatif terus mengejar pemenuhan angka representasi minimal, upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan peran para anggota parlemen perempuan dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan, menciptakan keadilan gender, dan pemenuhan hak-hak kaum perempuan di semua ranah kehidupan.

Dalam negara demokrasi, parlemen menjadi alat negara yang berfungsi merumuskan dan mengesahkan regulasi, salah satunya undang-undang. Untuk itu, para legislator perempuan mempunyai tugas besar untuk memperjuangkan hak-hak perempuan melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Lebih dari sekadar perjuangan hak-hak dan nasib perempuan, parlemen menjadi arena strategisbagi perempuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Tidak hanya memberi ruang bagi sumber daya besar perempuan untuk turut serta mengambil kebijakan negara, perempuan juga membuat keputusan berdasarkan ethics of care atau peduli pada kepentingan banyak orang.

Menyambut Pilpres 2014
Setelah pemilu legislatif digelar, bangsa Indonesia masih mempunyai agenda politik yang tak kalah penting, yaitu pemilu presiden dan wakil presiden. Perhelatan pemilihan pemimpin nasional yang akan digelar pada 9 Juli 2014 tersebut merupakan momentum strategis untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.

Tidak hanya untuk lima tahun mendatang, sebagai arena untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, Pilpres 2014 menjadi pertaruhan demokrasi Indonesia karena hingga 16 tahun reformasi, konsolidasi demokrasi kita belum juga selesai. Lebih dari sekadar peralihan kepemimpinan nasional, pilpres kali ini juga merupakan momentum bagi regenerasi kepemimpinan nasional.

Pada tahun politik 2014 inilah tongkat kepemimpinan nasional akan beralih dari generasi tua kepada generasi muda. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya tokoh-tokoh politik baru yang tampil menjadi capres. Situasi ini merupakan kemajuan bagi demokrasi Indonesia. Dengan tampilnya generasi muda dalam kancah kepemimpinan nasional, kita berharap berbagai agenda reformasi yang belum tuntas akan dapat diselesaikan dengan lebih cepat.

Mengingat begitu pentingnya proses politik itu, kaum perempuan tidak boleh tinggal diam. Setelah berhasil terlibat dalam mengusahakan peningkatan keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif, lalu, kaum perempuan juga harus kembali turut ambil bagian secara aktif dalam momentum pilpres ini. Sebagai salah satu komponen terpenting bangsa, setidaknya ada tiga hal yang harus didorong dan diupayakan kaum perempuan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional itu.

Pertama, meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam Pilpres 2014. Menurut data BPS, perempuan merupakan separuh dari populasi penduduk, yaitu 49,83% dari total populasi penduduk Indonesia. Pada DPT Pemilu 2014 lalu jumlah pemilih perempuan adalah 93.151.087 orang, sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 93.418.119.

Kenyataan ini harus dibaca dengan perspektif bahwa perempuan sesungguhnya sangat menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan legislator dan penentuan kepemimpinan nasional. Karena itu, kita bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi politik kaum perempuan dalam Pilpres 2014. Kedua, memilih capres dan cawapres yang properempuan.

Memilih pemimpin yang berkomitmen pada kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu keniscayaan karena keberpihakan pemerintah terhadap perempuan sangat tergantung oleh political will pemimpinnya. Komitmen ini dapat dibaca dari visi dan misi capres-cawapres, di samping komitmen memberikan ruang dan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi strategis.

Pilihlah calon pemimpin yang memberikan perhatian khusus kepada perempuan dengan berbagai program aksi untuk memberdayakan dan melindungi kaum perempuan, serta memosisikan perempuan sebagai subjek yang setara, berdaulat secara politik, merdeka, dan bermartabat. Di samping itu, representasi perempuan dalam pemerintahan juga perlu ditingkatkan untuk mendorong pengarusutamaan gender di tingkat eksekutif.

Selama ini jumlah menteri perempuan di kabinet maksimal hanya 5 orang, atau 1,7% dari 34 kursi menteri. Dibandingkan dengan representasi perempuan di ranah legislatif, angka itu sangat timpang.

Ketiga, memastikan keberpihakan pemerintahan yang baru terhadap kaum perempuan. Di samping berpartisipasi dalam demokrasi prosedural berupa pemilu, hal yang jauh lebih penting adalah memastikan berjalannya demokrasi substansial dengan mendorong pelaksanaan komitmen pengarusutamaan gender dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang berkeadilan dan berpihak pada kaum perempuan.

Untuk itu, kita harus terus mendorong, mengawal, dan mengadvokasi kebijakan pemerintah yang baru melalui perumusan berbagai kebijakan dan aksi konkret dalam upaya pengembangan, pemenuhan hak, dan perlindungan terhadap perempuan. Pilpres 2014 ini merupakan momentum penting bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya melalui perjuangan politik.

Keterlibatan politik perempuan memiliki makna penting untuk meningkatkan keberpihakan negara terhadap kaum perempuan dan meneruskan agenda pengarusutamaan gender di Indonesia. Dalam proses konsolidasi demokrasi yang kini sedang berlangsung kaum perempuan tidak boleh absen, karena tidak ada demokrasi sejati tanpa keterlibatan perempuan.

DRA IDA FAUZIYAH, MSI
Ketua Umum PP Fatayat NU dan Ketua Komisi VIII DPR RI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0719 seconds (0.1#10.140)