Debat Capres Perdana

Rabu, 11 Juni 2014 - 10:25 WIB
Debat Capres Perdana
Debat Capres Perdana
A A A
HAMPIR seluruh media massa dan jagat media sosial ramai membicarakan debat capres perdana yang digelar KPU, Senin (9/6).

Layaknya sebuah tontonan di ruang publik, debat capres antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK ini tentu saja mengundang polemik, terutama jika menilai siapa pasangan yang lebih unggul. Tentu masing-masing pendukung kandidat akan memberi argumentasi sendiri-sendiri bahwa calonnyalah yang memenangi pertarungan opini.

Indikator Retorika
Ibarat sebuah pertunjukkan, tulisan ini mencoba memotret debat dalam indikatorindikator komunikasi politik yang sifatnya dialektis. Indikator pertama adalah kemampuan seni berbicara (art of speech). Sebagai prosesi komunikasi, indikator debat yang akan diperhatikan pertama kali oleh khalayak tentu saja retorika para capres. Retorika memberi kesan citra personal yang terhubung dengan kapasitas individu di tengah adu gagasan.

Dalam hal tipologi retorika berdebat, dua pasangan memiliki kesamaan yakni pada pilihan impromptu dengan cara mengungkapkan gagasan secara spontan, fleksibel, dan berorientasi pada orisinalitas forum. Kekurangan tipe seperti ini tentu saja pada susunan kalimat dan logika berpikir yang kurang sistematis. Memang banyak pilihan tipologi retorika, ada manuskrip atau paparan yang berorientasi pada naskah yang telah dipersiapkan.

Jika ini dilakukan oleh capres saat berdebat, pasti menjemukan! Ada juga tipe memoriter yakni capres memilih untuk berdebat dengan mengandalkan hafalanhafalan, bukan pada penguasaan yang mendalam. Ini tentu akan mencelakakan kandidat terlebih jika apa yang dihafalkan lupa atau tidak memahami konteks dari persoalan yang sesungguhnya. Tipe lain yakni ekstemporer di mana capres yang hendak berdebat mempersiapkan outline dan pokok-pokok penunjang pembahasan.

Dengan outline itulah, dia banyak mengelaborasi berbagai dinamisasi diskusi sehingga mampu meyakinkan pihak lain bahwa dirinya mampu menjelaskan. Tipe terakhir memang paling ideal, tapi dalam debat-debat capres yang diatur KPU sulit dilakukan mengingat pertanyaan moderator dan kandidat lain sangat mungkin berbeda dari yang disiapkan sehingga pilihan impromptu menjadi keniscayaan bagi semua pasangan. Hanya soal gaya memang JK berbeda sendiri, dia mengambil pilihan komunikasi low context culture yang menekankan pada orientasi hasil, ketegasan makna meski mengambil risiko untuk agresif di topik-topik sensitif seperti isu HAM.

Sementara Prabowo, Hatta, dan Jokowi lebih memilih high context culture dengan menjaga harmoni dalam berdebat. Bedanya Hatta dan Jokowi stabil di pilihan high context culture, sementara Prabowo tergiring masuk pada ”serangan” JK dengan menunjukkan bahasa tubuh (kinesics) seperti isyarat tangan yang kerap mengacungkan jari telunjuk, ekspresi wajah, dan tatapan mata Prabowo pun tak bisa dibohongi bahwa dia tidak nyaman dengan pernyataan JK. Peribahasa (vocalics) pun terasa.

Nada tinggi, intensitas suara, dan intonasi Prabowo berubah dan justru menunjukkan di debat perdana ini, Prabowo terangsang kurang siap secara mental berada dalam situasi heteronomi komunikasi. Dominic Ifanta dalam bukunya, Argumentativness and Verbal Agressivness (1996), mengemukakan ada dua sifat agresi yang seyogianya dikelola terlebih dalam suatu perdebatan di muka umum yang ditayangkan oleh media massa.

Dua hal itu adalah tendensi mengajak atau menanggapi pihak lain berdebat mengenai topik-topik kontroversial dan keagresifan verbal yang biasanya menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri di mana argumen bernalar.

Substansi Gagasan
Indikator kedua yang dapat dinilai oleh khalayak tentu saja rasionalitas saat membingkai gagasan. Dalam konteks inilah diperlukan sebuah skema berpikir yang logis, proporsional, analitis, dan berbasis data. Debat harus berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving-oriented) dari sekadar berorientasi citra (image oriented).

Dalam debat seluruh jargonjargon besar sloganistik yang elitis seperti selama ini banyak dikemukakan kandidat sudah harus beralih pada indikator-indikator nyata (real world indicator). Debat harus mampu menghadirkan, apa dan bagaimana program masing-masing capres dalam mengurai benang kusut pengelolaan negeri ini lima tahun ke depan. Capres menjelaskan skema mengurangi masalah (reduce problem) secara terukur dengan dukungan data atau fakta.

Semakin dangkal rasionalitas pemaparan program dan semakin kabur indikatorindikator nyata penyelesaian masalah, akan semakin kalah dia dalam perdebatan. Di persoalan substansial juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua pasangan itu.

Prabowo- Hatta lebih menekankan pada konsep-konsep dan programprogrambesar, sementara Jokowi- JK lebih menyasar programprogram implementatif. Misalnya Prabowo menyatakan demokrasi membutuhkan pendidikan politik, budaya politik, dalam mewujudkan demokrasi yang produktif.

Meskipun di sesi-sesi tengah debat capres Prabowo-Hatta juga beberapa kali menyentuh program-program teknis seperti penggunaan teknologi modern sebagai alat mengontrol pemerintahan, menjamin kualitas hidup pejabat negara untuk mencegah korupsi, meningkatkan kemampuan manajerial penegak hukum, memperkuat KPK,dan sebagainya. Sementara di topik yang sama, Jokowi lebih membawa gagasan soal demokrasi dialogis itu ke beberapa topik implementasi.

Misalnya soal pemerintahan yang bersih dan efektif, perlunya akuntabilitas sistem melalui teknologi modern seperti e-budgeting, e-performance, pajak online , IMB online, dan sebagainya. Hanya sedikit Jokowi mengulas tujuan demokrasi untuk kesejahteraan dengan cara mendengar suara rakyat.

Selebihnya, Jokowi dan JK banyak bicara ihwal mikro seperti pola perekrutan pegawai berdasarkan sistem promosi dan seleksi terbuka. Sebenarnya keduanya mencoba menawarkan gagasan makro dan mikro dalam perdebatan. Hanya, porsi elaborasinya yang berbeda.

Porsi bahasan paparan awal Prabowo- Hatta lebih banyak di area gagasan besar, sementara Jokowi-JK di area gagasan operasional. Secara substansial keduanya memiliki gagasan yang layak. Hanya, dalam konteks debat capres di negara mana pun, audiens cenderung lebih mengapresiasi kandidat yang mampu menghadirkan indikator-indikator nyata.

Yang dikelola kandidat dalam debat capres sesungguhnya adalah kesan dan dukungan. Impresifkah sang kandidat di mata masyarakat? Masih ada empat perdebatan lagi yang akan menjadi uji publik untuk memastikan program-program apa yang ditawarkan para kandidat lima tahun ke depan.

DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7776 seconds (0.1#10.140)