Tantangan Kinerja Hukum Lima Tahun ke Depan
A
A
A
SIAPA pun presiden lima tahun yang akan datang jika tidak peduli pada kemuliaan hukum dan tidak menghargai kekuatan hukum tanpa kecuali, pasti pemerintahan akan rontok dengan sendirinya. Hal ini disebabkan antara kekuasaan dan hukum saling menguatkan satu sama lain dan tidak relevan untuk dipertentangkan.
Hukum dan kekuasaan bak dua sisi dari satu mata uang; hukum tanpa kekuasaan adalah anganangan tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki (Mochtar Kusumaatmadja). Lalu, bagaimana cara memuliakan hukum? Yaitu dengan menggunakan prinsip non-intervensi kekuasaan terhadap bekerjanya hukum tanpa kecuali dan dengan alasan kepentingan apa pun.
Bagaimana dengan diskresi Jaksa Agung mengeluarkan saponeering? Di negara hukum manapun diskresi ini tetap diakui sehingga Jaksa Agung memiliki wewenang penuh berdasarkan perkiraannya sendiri.
Di sinilah kerentanan intervensi kekuasaan sehingga memerlukan seorang Jaksa Agung yang berintegritas tinggi, kredibel dan akuntabel sesuai dengan landasan perundang-undangan yang berlaku. Selain kejaksaan, kepolisian juga memiliki kerentanan atas intervensi kekuasaan; memang di negara mana pun, kepolisian tidak lepasdari pengaruh kekuasaan.
Di Amerika Serikat (AS) saja pengaruh seorang walikota (mayor) terhadap kinerja kepala kepolisian distrik sangat dominan. Untuk kepolisian mungkin, apalagi di Indonesia, jargon independensi masih ”jauh panggang dari api”.
Suka atau tidak suka itulah kenyataannya. Independensi, integritas dan akuntabilitas kinerja yang pas seharusnya dilekatkan pada kekuasaan kehakiman in casu seluruh hakim pada tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung RI.
Jika kekuasaan kehakiman telah dapat dipengaruhi kekuasaan baik kekuasaan uang dan pertemanan atau kepentingan politik maka merupakan saat kejatuhan suatu negara hukum yang akan berujung pada anarki sosial dan struktural. Jika hal itu terjadi maka idealisme hukum dengan cita keadilan dan kepastian hukum, apalagi kemanfaatan, hanyalah merupakan halusinasi belaka, sehingga rakyat hanya dapat bermimpi datangnya ratu adil yang tidak akan pernah tiba di Tanah Air.
Kejatuhan negara dengan kekuasaan pemerintahan yang cenderung otoriter serta kekuatan masyarakat sipil tanpa daya merupakan sasaran empuk kekuasaan asing untuk kembali menjajah negeri tercinta.
Penjajahan itu melalui beberapa cara antara lain bantuan teknis melalui hibah berbungkus kepentingan timbal balik dan tidak ada yang gratis serta penempatan orang asing di beberapa posisi strategis baik sebagai penasihat/ahli ataupun selaku ”manajer” pemerintahan (di belakang layar/ terselubung) baik pada pemerintah maupun di lembaga legislatif (DPR RI) dengan dalih ”transfer of knowledge and skilled”.
Padahal dalih ini tidak pernah menjadi kenyataan sejak Orde Baru sampai saat ini. Hambatan mendahulukan tenaga ahli pribumi disebabkan kurang perhatian dan penghargaan pemerintah terhadap mereka sehingga tren kenaikan ”braindrain ” dan migrasi WNI ahli ke negara lain semakin meningkat sedangkan tenaga asing menjadi ”tuan” di negeri tercinta.
Menurut pengamatan saya, kisruh dan kemelut menegakkan hukum di Tanah Air adalah dimulai antara lain, oleh proses rekrutmen berbasis kompensasi dan nepotisme sampai saat ini lebih dominan dari berbasis kompetensi dan keahlian.
Sistem promosi, mutasi dan demosi yang berjalan sarat kepentingan subjektif pemegang kekuasaan sehingga terjadi apa yang dinamakan, ”the right man in the wrong place” atau ”the wrong man in the right place ”.
Buktinya yang saya amati pada era pemerintahan SBY ada beberapa menteri yang tidak mengetahui pekerjaannya dan ada juga yang mengetahui pekerjaannya tetapi tidak tahu harus bagaimana bertindak menjalankan jabatannya. Yang benar adalah jabatan-jabatan strategis baik dalam bidang hukum dan ekonomi-keuangan seharusnya diserahkan pada ahlinya karena dengan cara ini maka seorang presiden dapat ”tidur nyenyak” tanpa harus waswas apalagi bersikap suudzon kepada pembantunya.
Presiden adalah kepala negara juga kepala pemerintahan oleh karena itu seorang presiden tidak dapat mengelak apalagi melepaskan tanggung jawab di semua lini pemerintahan kepada hanya para pembantunya karena muara keberhasilan atau ketidakberhasilan adalah pada pundak seorang presiden dalam sistem presidensial versi UUD 1945. Semestinya hak prerogatif memilih para pembantu presiden berada di tangan ”himself ”, bukan pada tangan parpol pengusung (koalisi).
Karena baik buruk kinerja pembantu presiden, pada akhirnya di tangan presiden; rakyat tidak mau tahu siapa pembantu presiden kecuali presiden sendiri yang dipandang tidak becus memimpin rakyatnya; jika tidak berhasil.
Dalam konteks pembangunan hukum termasuk penegakan hukum, maka seorang presiden yang komit terhadap pemuliaan hukum dan kekuatan hukum dalam menjalankan pemerintahan merupakan modal keberhasilan.
Apalagi seorang presiden yang mampu memadukan pendekatan ekonomi dan hukum di satu sisi dan pendekatan kedua disiplin ilmu tersebut dengan pendekatan politik karena kebijakan ekonomi dan hukum yang tidak memperoleh legitimasi rakyat tidak akan berhasil melindungi apalagi menyejahterakan rakyatnya.
Begitu pula sekalipun legitimasi politik telah di tangan seorang presiden jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan ekonomi dan hukum yang terpadu, sudah pasti ambruk di tengah jalan. Contoh kasus BLBI dan Kasus Century adalah bukti nyata ketimpangan antara ketiga disiplin ilmu tersebut sehingga mengakibatkan beban bagi pemerintahan lima tahun ke depan dan belum tertuntaskan sampai saat ini.
Kekeliruan penetapan kebijakan di bidang ekonomi dan perbankan dalam kedua kasus tersebut telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp700 triliun yang kini selalu menjadi beban APBN; belum terhitung hutang-hutang pemerintahan SBY yang telah mencapai Rp3.000 triliun sampai saat ini. Pemerintahan lima tahun ke depan memerlukan seorang presiden yang dapat menyinergikan (pemimpin musik orkestra) kinerja para pembantu di bidang ekonomi, keuangan dan perbankan dengan pembantu di bidang hukum dan politik termasuk koordinasi dengan badan legislatif.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
Hukum dan kekuasaan bak dua sisi dari satu mata uang; hukum tanpa kekuasaan adalah anganangan tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki (Mochtar Kusumaatmadja). Lalu, bagaimana cara memuliakan hukum? Yaitu dengan menggunakan prinsip non-intervensi kekuasaan terhadap bekerjanya hukum tanpa kecuali dan dengan alasan kepentingan apa pun.
Bagaimana dengan diskresi Jaksa Agung mengeluarkan saponeering? Di negara hukum manapun diskresi ini tetap diakui sehingga Jaksa Agung memiliki wewenang penuh berdasarkan perkiraannya sendiri.
Di sinilah kerentanan intervensi kekuasaan sehingga memerlukan seorang Jaksa Agung yang berintegritas tinggi, kredibel dan akuntabel sesuai dengan landasan perundang-undangan yang berlaku. Selain kejaksaan, kepolisian juga memiliki kerentanan atas intervensi kekuasaan; memang di negara mana pun, kepolisian tidak lepasdari pengaruh kekuasaan.
Di Amerika Serikat (AS) saja pengaruh seorang walikota (mayor) terhadap kinerja kepala kepolisian distrik sangat dominan. Untuk kepolisian mungkin, apalagi di Indonesia, jargon independensi masih ”jauh panggang dari api”.
Suka atau tidak suka itulah kenyataannya. Independensi, integritas dan akuntabilitas kinerja yang pas seharusnya dilekatkan pada kekuasaan kehakiman in casu seluruh hakim pada tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung RI.
Jika kekuasaan kehakiman telah dapat dipengaruhi kekuasaan baik kekuasaan uang dan pertemanan atau kepentingan politik maka merupakan saat kejatuhan suatu negara hukum yang akan berujung pada anarki sosial dan struktural. Jika hal itu terjadi maka idealisme hukum dengan cita keadilan dan kepastian hukum, apalagi kemanfaatan, hanyalah merupakan halusinasi belaka, sehingga rakyat hanya dapat bermimpi datangnya ratu adil yang tidak akan pernah tiba di Tanah Air.
Kejatuhan negara dengan kekuasaan pemerintahan yang cenderung otoriter serta kekuatan masyarakat sipil tanpa daya merupakan sasaran empuk kekuasaan asing untuk kembali menjajah negeri tercinta.
Penjajahan itu melalui beberapa cara antara lain bantuan teknis melalui hibah berbungkus kepentingan timbal balik dan tidak ada yang gratis serta penempatan orang asing di beberapa posisi strategis baik sebagai penasihat/ahli ataupun selaku ”manajer” pemerintahan (di belakang layar/ terselubung) baik pada pemerintah maupun di lembaga legislatif (DPR RI) dengan dalih ”transfer of knowledge and skilled”.
Padahal dalih ini tidak pernah menjadi kenyataan sejak Orde Baru sampai saat ini. Hambatan mendahulukan tenaga ahli pribumi disebabkan kurang perhatian dan penghargaan pemerintah terhadap mereka sehingga tren kenaikan ”braindrain ” dan migrasi WNI ahli ke negara lain semakin meningkat sedangkan tenaga asing menjadi ”tuan” di negeri tercinta.
Menurut pengamatan saya, kisruh dan kemelut menegakkan hukum di Tanah Air adalah dimulai antara lain, oleh proses rekrutmen berbasis kompensasi dan nepotisme sampai saat ini lebih dominan dari berbasis kompetensi dan keahlian.
Sistem promosi, mutasi dan demosi yang berjalan sarat kepentingan subjektif pemegang kekuasaan sehingga terjadi apa yang dinamakan, ”the right man in the wrong place” atau ”the wrong man in the right place ”.
Buktinya yang saya amati pada era pemerintahan SBY ada beberapa menteri yang tidak mengetahui pekerjaannya dan ada juga yang mengetahui pekerjaannya tetapi tidak tahu harus bagaimana bertindak menjalankan jabatannya. Yang benar adalah jabatan-jabatan strategis baik dalam bidang hukum dan ekonomi-keuangan seharusnya diserahkan pada ahlinya karena dengan cara ini maka seorang presiden dapat ”tidur nyenyak” tanpa harus waswas apalagi bersikap suudzon kepada pembantunya.
Presiden adalah kepala negara juga kepala pemerintahan oleh karena itu seorang presiden tidak dapat mengelak apalagi melepaskan tanggung jawab di semua lini pemerintahan kepada hanya para pembantunya karena muara keberhasilan atau ketidakberhasilan adalah pada pundak seorang presiden dalam sistem presidensial versi UUD 1945. Semestinya hak prerogatif memilih para pembantu presiden berada di tangan ”himself ”, bukan pada tangan parpol pengusung (koalisi).
Karena baik buruk kinerja pembantu presiden, pada akhirnya di tangan presiden; rakyat tidak mau tahu siapa pembantu presiden kecuali presiden sendiri yang dipandang tidak becus memimpin rakyatnya; jika tidak berhasil.
Dalam konteks pembangunan hukum termasuk penegakan hukum, maka seorang presiden yang komit terhadap pemuliaan hukum dan kekuatan hukum dalam menjalankan pemerintahan merupakan modal keberhasilan.
Apalagi seorang presiden yang mampu memadukan pendekatan ekonomi dan hukum di satu sisi dan pendekatan kedua disiplin ilmu tersebut dengan pendekatan politik karena kebijakan ekonomi dan hukum yang tidak memperoleh legitimasi rakyat tidak akan berhasil melindungi apalagi menyejahterakan rakyatnya.
Begitu pula sekalipun legitimasi politik telah di tangan seorang presiden jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan ekonomi dan hukum yang terpadu, sudah pasti ambruk di tengah jalan. Contoh kasus BLBI dan Kasus Century adalah bukti nyata ketimpangan antara ketiga disiplin ilmu tersebut sehingga mengakibatkan beban bagi pemerintahan lima tahun ke depan dan belum tertuntaskan sampai saat ini.
Kekeliruan penetapan kebijakan di bidang ekonomi dan perbankan dalam kedua kasus tersebut telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp700 triliun yang kini selalu menjadi beban APBN; belum terhitung hutang-hutang pemerintahan SBY yang telah mencapai Rp3.000 triliun sampai saat ini. Pemerintahan lima tahun ke depan memerlukan seorang presiden yang dapat menyinergikan (pemimpin musik orkestra) kinerja para pembantu di bidang ekonomi, keuangan dan perbankan dengan pembantu di bidang hukum dan politik termasuk koordinasi dengan badan legislatif.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
(nfl)