Masyarakat Terbelah
A
A
A
TAMPAKNYA belum ada peristiwa politik pasca-Reformasi 1998 yang membuat bangsa ini sedemikian terbelah seperti yang terjadi menjelang Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden 2014 (Pilpres 2014) ini.
Di luar kelompok yang tidak ambil pusing dengan pesta demokrasi yang akan datang, sebagian besar masyarakat terbagi dalam dua kubu dukung-mendukung capres-cawapres yang akan maju pada Pilpres 2014. Polarisasi di level masyarakat begitu kental. Masing-masing mengasosiasikan dirinya dengan salah satu pasangan capres-cawapres baik Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dua pasangan calon beserta timnya memang sangat hebat dalam mengambil hati masyarakat yang mendukung sepenuh hati serta tak jarang menghasilkan pertarungan sengit. Serangan terhadap pasangan yang diusung seringkali dianggap sebagai serangan terhadap pilihannya yang harus serta-merta dibalas. Bahkan tak jarang nuansa pertarungan yang sengit ini membuat orang yang tadinya kritis dan skeptis dalam menerima suatu informasi berubah menjadi orang yang serampangan mencerna informasi.
Banyak orang yang menelan bulat-bulat segala bentuk informasi yang dapat digunakan untuk membela pasangan capres-cawapresnya tanpa bersusah-payah untuk melakukan cek dan ricek atau klarifikasi dengan berbagai sumber lain. Begitu pun ketika ada informasi miring terhadap capres-cawapres yang tidak didukungnya akan ditelan mentah-mentah juga. Fenomena ini terekam jelas di ranah media sosial.
Masyarakat yang sudah terbelah ini saling sibuk mengeluarkan pernyataan maupun membagikan berita online untuk mendukung pasangan yang diusung dan menyerang pasangan yang dilawan. Kritik terhadap pandangannya di media sosial tersebut tak jarang dianggap sebagai kritik personal yang bisa berujung pada permusuhan misalnya di Facebook. Jika ada yang mengkritik dan akhirnya berdebat, tak jarang akan berujung pada pernyataan "unfriend saja”.
Sungguh miris pertarungan dukung-mendukung capres-cawapres bisa sedemikian mudah menimbulkan permusuhan di masyarakat. Potensi gesekan di kehidupan sehari-hari pun kian terasa. Tiap-tiap orang seperti dicap berdasarkan pilihan politiknya dalam Pilpres 2014 ini. Kekurangan dari Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK langsung dialamatkan pada para pendukungnya misalnya dengan kalimat-kalimat seperti ”presiden pilihan kamu tuh seperti itu” dan berbagai varian lain.
Jika kita bicara teori dasar dalam ekonomi yaitu hukum konsep penawaran dan permintaan (supply and demand), pada titik inilah kampanye hitam (black campaign) menemukan pasarnya. Masyarakat haus akan ”amunisi” untuk menyerang lawannya, segala bentuk informasi hingga yang paling sumir sekalipun akan digunakan untuk menyerang pasangan capres-cawapres yang tidak didukungnya.
Alhasil, kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab seperti berpesta pora memproduksi materi black campaign yang membuat keruh politik Indonesia. Namun, tetap ada hal yang harus disyukuri dengan perkembangan ini yaitu kondisi kebebasan berpendapat yang begitu luas seperti ini salah satu hasil positif dari Reformasi.
Pada Orde Baru umumnya masyarakat takut untuk mengutarakan pilihan politiknya secara terbuka karena takut pada rezim. Saat ini masyarakat tak takut untuk mengkritik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta. Tak ada kekhawatiran akan rezim ataupun capres-cawapres yang nanti menang bisa menekan masyarakat. Kendati begitu, keterbelahan ini sungguh tidak menguntungkan sama sekali bagi semangat kebangsaan kita.
Kita harus sadar baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK merupakan politisi dengan serangkaian panjang gerbong politik di belakangnya. Mereka pasangan yang harus mengakomodasi berbagai kepentingan politik. Janji yang diutarakan saat ini janji politik yang harus diterima dengan kritis dan terus dimintakan pertanggungjawabannya.
Ada baiknya untuk meletakkan dukungan secara proporsional agar kita tidak kagok untuk mengkritik saat nanti pasangan yang kita usung tidak dapat menepati janji politiknya. Alangkah indahnya jika kita semua sibuk untuk memasarkan kebaikan capres-cawapres yang didukungnya, bukan sibuk saling serang keburukan dengan informasi yang sumir dan penuh prasangka.
Kita juga sebaiknya sadar bahwa kita hanya menitipkan program-program yang dianggap bisa memajukan negeri ini pada para capres-cawapres, bukan menitipkan harga diri.
Di luar kelompok yang tidak ambil pusing dengan pesta demokrasi yang akan datang, sebagian besar masyarakat terbagi dalam dua kubu dukung-mendukung capres-cawapres yang akan maju pada Pilpres 2014. Polarisasi di level masyarakat begitu kental. Masing-masing mengasosiasikan dirinya dengan salah satu pasangan capres-cawapres baik Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dua pasangan calon beserta timnya memang sangat hebat dalam mengambil hati masyarakat yang mendukung sepenuh hati serta tak jarang menghasilkan pertarungan sengit. Serangan terhadap pasangan yang diusung seringkali dianggap sebagai serangan terhadap pilihannya yang harus serta-merta dibalas. Bahkan tak jarang nuansa pertarungan yang sengit ini membuat orang yang tadinya kritis dan skeptis dalam menerima suatu informasi berubah menjadi orang yang serampangan mencerna informasi.
Banyak orang yang menelan bulat-bulat segala bentuk informasi yang dapat digunakan untuk membela pasangan capres-cawapresnya tanpa bersusah-payah untuk melakukan cek dan ricek atau klarifikasi dengan berbagai sumber lain. Begitu pun ketika ada informasi miring terhadap capres-cawapres yang tidak didukungnya akan ditelan mentah-mentah juga. Fenomena ini terekam jelas di ranah media sosial.
Masyarakat yang sudah terbelah ini saling sibuk mengeluarkan pernyataan maupun membagikan berita online untuk mendukung pasangan yang diusung dan menyerang pasangan yang dilawan. Kritik terhadap pandangannya di media sosial tersebut tak jarang dianggap sebagai kritik personal yang bisa berujung pada permusuhan misalnya di Facebook. Jika ada yang mengkritik dan akhirnya berdebat, tak jarang akan berujung pada pernyataan "unfriend saja”.
Sungguh miris pertarungan dukung-mendukung capres-cawapres bisa sedemikian mudah menimbulkan permusuhan di masyarakat. Potensi gesekan di kehidupan sehari-hari pun kian terasa. Tiap-tiap orang seperti dicap berdasarkan pilihan politiknya dalam Pilpres 2014 ini. Kekurangan dari Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK langsung dialamatkan pada para pendukungnya misalnya dengan kalimat-kalimat seperti ”presiden pilihan kamu tuh seperti itu” dan berbagai varian lain.
Jika kita bicara teori dasar dalam ekonomi yaitu hukum konsep penawaran dan permintaan (supply and demand), pada titik inilah kampanye hitam (black campaign) menemukan pasarnya. Masyarakat haus akan ”amunisi” untuk menyerang lawannya, segala bentuk informasi hingga yang paling sumir sekalipun akan digunakan untuk menyerang pasangan capres-cawapres yang tidak didukungnya.
Alhasil, kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab seperti berpesta pora memproduksi materi black campaign yang membuat keruh politik Indonesia. Namun, tetap ada hal yang harus disyukuri dengan perkembangan ini yaitu kondisi kebebasan berpendapat yang begitu luas seperti ini salah satu hasil positif dari Reformasi.
Pada Orde Baru umumnya masyarakat takut untuk mengutarakan pilihan politiknya secara terbuka karena takut pada rezim. Saat ini masyarakat tak takut untuk mengkritik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta. Tak ada kekhawatiran akan rezim ataupun capres-cawapres yang nanti menang bisa menekan masyarakat. Kendati begitu, keterbelahan ini sungguh tidak menguntungkan sama sekali bagi semangat kebangsaan kita.
Kita harus sadar baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK merupakan politisi dengan serangkaian panjang gerbong politik di belakangnya. Mereka pasangan yang harus mengakomodasi berbagai kepentingan politik. Janji yang diutarakan saat ini janji politik yang harus diterima dengan kritis dan terus dimintakan pertanggungjawabannya.
Ada baiknya untuk meletakkan dukungan secara proporsional agar kita tidak kagok untuk mengkritik saat nanti pasangan yang kita usung tidak dapat menepati janji politiknya. Alangkah indahnya jika kita semua sibuk untuk memasarkan kebaikan capres-cawapres yang didukungnya, bukan sibuk saling serang keburukan dengan informasi yang sumir dan penuh prasangka.
Kita juga sebaiknya sadar bahwa kita hanya menitipkan program-program yang dianggap bisa memajukan negeri ini pada para capres-cawapres, bukan menitipkan harga diri.
(hyk)