Tarung Gagasan
A
A
A
MANTAN presiden Uni Soviet Nikita Khruschev pernah membuat pernyataan terkait politisi yang cukup menarik. Dia mengatakan bahwa ”semua politisi itu sama saja, mereka akan berjanji untuk membangun jembatan bahkan ketika tidak ada sungai sama sekali”.
Perkataan tersebut patut kita resapi dalam panasnya suasana pertarungan politik dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 yang sudah benar-benar merasuk ke dalam setiap sendi kehidupan bangsa ini. Jangan sampai rakyat hanya menjadi objek janji para politisi karena kemajuan teknologi serta kebergantungan kita semua terhadapnya telah membawa pertarungan tersebut secara intens ke alam pikiran rakyat.
Terlebih dengan hanya ada dua pasang kandidat yang maju dalam Pilpres 2014 sehingga lahir polarisasi yang membuat pertarungan kian panas. Nyaris tak mungkin dalam sehari penuh kita bisa menghindar dari berita tentang Pilpres 2014, kecuali menjauhkan diri dari media massa baik cetak maupun elektronik serta media sosial.
Sekalipun mampu menghindari itu semua, dalam pergaulan dengan anggota masyarakat lainnya maka tak pelak obrolan mengenai Pilpres 2014 akan tak terelakkan juga. Obrolan ”pilih siapa nanti?” kian umum muncul dalam interaksi sehari-hari. Tak jarang bahkan perbedaan pilihan menimbulkan jarak bagi orang tadinya dekan dan mendekatkan orang-orang yang tadinya berjarak.
Sayang, keramaian politik ini masih sangat minim diwarnai pertarungan gagasan. Memang, kedua pasangan capres-cawapres sudah melampirkan visi-misinya dalam pendaftarannya ke KPU. Namun, kedua pasangan belum menjadikan visi-misinya sebagai modal untuk menyerang lawannya. Selama ini, perdebatan muncul hanya di sekitar isu pribadi masing-masing capres-cawapres.
Idealnya dengan waktu yang kian dekat ke Pilpres 9 Juli, maka sudah saatnya para capres-cawapres menyuarakan programnya. Sekalipun pasangan capres-cawapres baru akan resmi ditetapkan oleh KPU pada 31 Mei, namun tidak ada salahnya mencerdaskan masyarakat untuk menentukan pilihannya lewat visi-misi para capres-cawapres lebih awal.
Terlebih rakyat memang sudah sedemikian yakin dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla, pasti akan ditetapkan oleh KPU sebagai capres-cawapres pada Pemilu 2014. Bahkan, dukung-mendukung pun sudah dilancarkan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat baik itu asosiasi profesi, asosiasi usaha, kelompok kepentingan, dan berbagai kelompok lainnya terhadap masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Kesemua kelompok tersebut berharap kepentingan mereka dapat diakomodasi oleh pasangan capres-cawapres jika menang Pilpres 2014. Namun, dukungan ini seperti memberikan cek kosong pada para pasangan capres-cawapres. Setidaknya hingga kemarin masih belum bisa kita lihat adanya kontrak politik yang diajukan oleh para kelompok yang merapat ke masing-masing pasangan capres-cawapres.
Dalam demokrasi modern maka konteks dukung mendukung ini harus berdasarkan pada kepentingan tertentu. Para kelompok tersebut harus membuat kontrak politik dengan pasangan yang didukungnya. Mendukung tanpa kontrak politik sama saja siap kecewa. Kepentingan itu harus diperjuangkan. Tiap orang pasti memiliki kepentingan, tiap organisasi atau kelompok juga sudah barang tentu memiliki kepentingan.
Pemilu ada untuk memastikan kepentingan yang didukung oleh mayoritas pemilih untuk diperjuangkan dalam proses politik negara hingga mencapai suatu kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan baik.
Oleh karena itu, kita sebagai rakyat harus mendudukkan dukungan pada tempat yang semestinya, yaitu menyesuaikan kepentingan pribadi atau kelompok terkait arah pembangunan bangsa ini dengan visi-misi para capres-cawapres yang bertarung.
Jika capres-cawapres ingin mencerdaskan rakyatnya, modalilah rakyat dengan bahan perdebatan bermutu yang berasal dari visi misi capres-cawapres. Jika perdebatan sudah ke arah sana, hasil Pilpres 2014 pun pasti merupakan hasil terbaik dari demokrasi kita.
Arah itu akan menghindarkan hasil yang merupakan ilusi pencitraan yang pada akhirnya akan mengecewakan hati rakyat karena ternyata pilihannya tak memuaskan harapannya.
Perkataan tersebut patut kita resapi dalam panasnya suasana pertarungan politik dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 yang sudah benar-benar merasuk ke dalam setiap sendi kehidupan bangsa ini. Jangan sampai rakyat hanya menjadi objek janji para politisi karena kemajuan teknologi serta kebergantungan kita semua terhadapnya telah membawa pertarungan tersebut secara intens ke alam pikiran rakyat.
Terlebih dengan hanya ada dua pasang kandidat yang maju dalam Pilpres 2014 sehingga lahir polarisasi yang membuat pertarungan kian panas. Nyaris tak mungkin dalam sehari penuh kita bisa menghindar dari berita tentang Pilpres 2014, kecuali menjauhkan diri dari media massa baik cetak maupun elektronik serta media sosial.
Sekalipun mampu menghindari itu semua, dalam pergaulan dengan anggota masyarakat lainnya maka tak pelak obrolan mengenai Pilpres 2014 akan tak terelakkan juga. Obrolan ”pilih siapa nanti?” kian umum muncul dalam interaksi sehari-hari. Tak jarang bahkan perbedaan pilihan menimbulkan jarak bagi orang tadinya dekan dan mendekatkan orang-orang yang tadinya berjarak.
Sayang, keramaian politik ini masih sangat minim diwarnai pertarungan gagasan. Memang, kedua pasangan capres-cawapres sudah melampirkan visi-misinya dalam pendaftarannya ke KPU. Namun, kedua pasangan belum menjadikan visi-misinya sebagai modal untuk menyerang lawannya. Selama ini, perdebatan muncul hanya di sekitar isu pribadi masing-masing capres-cawapres.
Idealnya dengan waktu yang kian dekat ke Pilpres 9 Juli, maka sudah saatnya para capres-cawapres menyuarakan programnya. Sekalipun pasangan capres-cawapres baru akan resmi ditetapkan oleh KPU pada 31 Mei, namun tidak ada salahnya mencerdaskan masyarakat untuk menentukan pilihannya lewat visi-misi para capres-cawapres lebih awal.
Terlebih rakyat memang sudah sedemikian yakin dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla, pasti akan ditetapkan oleh KPU sebagai capres-cawapres pada Pemilu 2014. Bahkan, dukung-mendukung pun sudah dilancarkan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat baik itu asosiasi profesi, asosiasi usaha, kelompok kepentingan, dan berbagai kelompok lainnya terhadap masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Kesemua kelompok tersebut berharap kepentingan mereka dapat diakomodasi oleh pasangan capres-cawapres jika menang Pilpres 2014. Namun, dukungan ini seperti memberikan cek kosong pada para pasangan capres-cawapres. Setidaknya hingga kemarin masih belum bisa kita lihat adanya kontrak politik yang diajukan oleh para kelompok yang merapat ke masing-masing pasangan capres-cawapres.
Dalam demokrasi modern maka konteks dukung mendukung ini harus berdasarkan pada kepentingan tertentu. Para kelompok tersebut harus membuat kontrak politik dengan pasangan yang didukungnya. Mendukung tanpa kontrak politik sama saja siap kecewa. Kepentingan itu harus diperjuangkan. Tiap orang pasti memiliki kepentingan, tiap organisasi atau kelompok juga sudah barang tentu memiliki kepentingan.
Pemilu ada untuk memastikan kepentingan yang didukung oleh mayoritas pemilih untuk diperjuangkan dalam proses politik negara hingga mencapai suatu kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan baik.
Oleh karena itu, kita sebagai rakyat harus mendudukkan dukungan pada tempat yang semestinya, yaitu menyesuaikan kepentingan pribadi atau kelompok terkait arah pembangunan bangsa ini dengan visi-misi para capres-cawapres yang bertarung.
Jika capres-cawapres ingin mencerdaskan rakyatnya, modalilah rakyat dengan bahan perdebatan bermutu yang berasal dari visi misi capres-cawapres. Jika perdebatan sudah ke arah sana, hasil Pilpres 2014 pun pasti merupakan hasil terbaik dari demokrasi kita.
Arah itu akan menghindarkan hasil yang merupakan ilusi pencitraan yang pada akhirnya akan mengecewakan hati rakyat karena ternyata pilihannya tak memuaskan harapannya.
(nfl)