Antara Modi dan Prabowo
A
A
A
NARENDRA Modi menjadi buah bibir di dunia internasional. Pemimpin Bharatiya Janata Party (BJP) menjadi pembicaraan bukan karena dia berhasil menenggelamkan dinasti Jawaharlal Nehru dan Indira Gandi di pemerintahan maupun di parlemen setelah perjuangan partainya sejak 1952, tapi dia ”berhasil memaksa” Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama untuk memberi visa.
Perdana menteri India terpilih tersebut pada 2005 pernah ditolak mentah-mentah Paman Sam saat mengajukan visa. Penolakan berdasarkan konstitusi AS 1998 yang menolak masuknya warga yang asing yang ”melakukan pelanggaran keras terhadap kebebasan beragama”. Cap ini terkait tuduhan keterlibatan Modi pada kerusuhan agama di Gujara pada 2002 yang menewaskan 1.000 orang yang mayoritas muslim.
Bersamaan dengan pemberian visa, Obama bahkan juga langsung memberikan ucapan selamat dan mengundang Modi berkunjung ke Gedung Putih. Lantas apa hubungannya dengan Prabowo? Inilah yang menarik, media internasional seperti Reuters dan New York Times mengaitkan sikap Paman Sam tersebut dengan Prabowo. Media tersebut mencoba menggiring sikap negeri adidaya tersebut jika nanti Prabowo terpilih menjadi presiden Indonesia.
Fokus tersebut diangkat karena putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo tersebut pada 2000 pernah ditolak visanya oleh Deplu AS saat hendak menghadiri wisuda sang anak di Boston.
Berdasar pengakuan Prabowo, perlakuan tersebut masih berlaku hingga 2012. Walaupun tidak ada penjelasan resmi dari AS, penolakan tersebut bukan rahasia lagi terkait tuduhan keterlibatan mantan Danjen Kopassus tersebut pada kerusuhan Mei 1998.
Merujuk pada catatan Amnesty International, pada 1998 Prabowo dipecat dari jabatannya di TNI karena tuduhan penculikan aktivis. Hingga kini berbagai tuduhan miring tersebut secara tegas dibantah Prabowo. Pejabat AS yang dikonfirmasi belum memastikan apakah AS akan mengambil sikap seperti diberlakukan untuk Modi atau bersikukuh dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya.
Namun, pejabat Departemen Luar Negeri tersebut menegaskan komitmennya untuk terus menjalin hubungan dekat dengan Indonesia. Ernie Bower, pakar Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengingatkan perkembangan di Asia Tenggara harus menjadi bahan pemikiran baru Pemerintah AS.
Berdasarkan kacamata politik internasional, perubahan sikap pragmatis AS terhadap Modi mencerminkan menurunnya bargaining position AS vis a vis India. AS, yang selama ini menjadi penguasa utama dunia, tidak bisa lagi mendikte India, dan sebaliknya menjadi kepercayaan diri India dan rakyatnya bahwa mereka adalah bangsa besar yang tidak mau didikte oleh kekuatan mana pun.
Dengan demikian, tampilnya Modi adalah momen menunjukkan posisi sejajar dengan AS atau negara mana pun di dunia. Pun Indonesia. Jika memang rakyat menghendaki Prabowo sebagai presiden, tidak perlu takut dijauhi AS.
Analisis Ernie Bower benar, AS akan menghitung perkembangan konstelasi Asia Tenggara. Jika menjauhi, apalagi memusuhi Indonesia, AS harus rela kehilangan pengaruhnya dan siap menerima kenyataan negeri yang kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia semakin mesra dengan Rusia dan China.
Bahkan, di sisi lain, tampilnya pemimpin yang tidak disukai Paman Sam bisa menjadi momentum menunjukkan bahwa dalam konteks model relasi ”the centre-periphery”, Indonesia bukan negara pinggiran yang bergantung pada AS. Seperti India, kondisi demikian juga bisa menjadi momentum merevolusi mental inlander: bahwa Indonesia bukan negara kecil, tapi negara besar sejajar dengan AS dan negara dunia.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu sungkan menerapkan UU Minerba pada Freeport dan Newmont demi mengedepankan kepentingan nasional.
Perdana menteri India terpilih tersebut pada 2005 pernah ditolak mentah-mentah Paman Sam saat mengajukan visa. Penolakan berdasarkan konstitusi AS 1998 yang menolak masuknya warga yang asing yang ”melakukan pelanggaran keras terhadap kebebasan beragama”. Cap ini terkait tuduhan keterlibatan Modi pada kerusuhan agama di Gujara pada 2002 yang menewaskan 1.000 orang yang mayoritas muslim.
Bersamaan dengan pemberian visa, Obama bahkan juga langsung memberikan ucapan selamat dan mengundang Modi berkunjung ke Gedung Putih. Lantas apa hubungannya dengan Prabowo? Inilah yang menarik, media internasional seperti Reuters dan New York Times mengaitkan sikap Paman Sam tersebut dengan Prabowo. Media tersebut mencoba menggiring sikap negeri adidaya tersebut jika nanti Prabowo terpilih menjadi presiden Indonesia.
Fokus tersebut diangkat karena putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo tersebut pada 2000 pernah ditolak visanya oleh Deplu AS saat hendak menghadiri wisuda sang anak di Boston.
Berdasar pengakuan Prabowo, perlakuan tersebut masih berlaku hingga 2012. Walaupun tidak ada penjelasan resmi dari AS, penolakan tersebut bukan rahasia lagi terkait tuduhan keterlibatan mantan Danjen Kopassus tersebut pada kerusuhan Mei 1998.
Merujuk pada catatan Amnesty International, pada 1998 Prabowo dipecat dari jabatannya di TNI karena tuduhan penculikan aktivis. Hingga kini berbagai tuduhan miring tersebut secara tegas dibantah Prabowo. Pejabat AS yang dikonfirmasi belum memastikan apakah AS akan mengambil sikap seperti diberlakukan untuk Modi atau bersikukuh dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya.
Namun, pejabat Departemen Luar Negeri tersebut menegaskan komitmennya untuk terus menjalin hubungan dekat dengan Indonesia. Ernie Bower, pakar Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengingatkan perkembangan di Asia Tenggara harus menjadi bahan pemikiran baru Pemerintah AS.
Berdasarkan kacamata politik internasional, perubahan sikap pragmatis AS terhadap Modi mencerminkan menurunnya bargaining position AS vis a vis India. AS, yang selama ini menjadi penguasa utama dunia, tidak bisa lagi mendikte India, dan sebaliknya menjadi kepercayaan diri India dan rakyatnya bahwa mereka adalah bangsa besar yang tidak mau didikte oleh kekuatan mana pun.
Dengan demikian, tampilnya Modi adalah momen menunjukkan posisi sejajar dengan AS atau negara mana pun di dunia. Pun Indonesia. Jika memang rakyat menghendaki Prabowo sebagai presiden, tidak perlu takut dijauhi AS.
Analisis Ernie Bower benar, AS akan menghitung perkembangan konstelasi Asia Tenggara. Jika menjauhi, apalagi memusuhi Indonesia, AS harus rela kehilangan pengaruhnya dan siap menerima kenyataan negeri yang kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia semakin mesra dengan Rusia dan China.
Bahkan, di sisi lain, tampilnya pemimpin yang tidak disukai Paman Sam bisa menjadi momentum menunjukkan bahwa dalam konteks model relasi ”the centre-periphery”, Indonesia bukan negara pinggiran yang bergantung pada AS. Seperti India, kondisi demikian juga bisa menjadi momentum merevolusi mental inlander: bahwa Indonesia bukan negara kecil, tapi negara besar sejajar dengan AS dan negara dunia.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu sungkan menerapkan UU Minerba pada Freeport dan Newmont demi mengedepankan kepentingan nasional.
(nfl)