Utang di Mata Capres
A
A
A
UTANG pemerintah yang terus membengkak adalah sebuah keprihatinan tersendiri bagi para calon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga pada awal Juli mendatang.
Dalam visi-misi pasangan calon presiden (capres) Joko Widodo dan calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla yang bertajuk “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat dan Berkepribadian”, persoalan utang mendapatkan sorotan utama yang mendapat prioritas.
Secara tegas mereka menyatakan akan menekan utang pemerintah sehingga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin kecil. Selain itu, pembentukan utang baru hanya diperuntukkan pembiayaan produktif, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Di lain pihak, pasangan capres Prabowo Subianto dan cawapres Hatta Rajasa dalam menyikapi masalah utang pemerintah malah lebih ekstrem dibanding pesaingnya. Dalam visi-misi pasangan tersebut yang dikemas dalam tema “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia dari Prabowo–Hatta” ditegaskan, pasangan ini akan mengurangi pinjaman luar negeri baru, baik multilateral maupun bilateral, dengan target menjadi nol pada 2019.
Menyimak visi-misi kedua pasangan calon pemimpin negeri ini dalam lima tahun ke depan, terutama dalam mengatasi persoalan utang, sungguh membangkitkan semangat bahwa betapa pentingnya Indonesia untuk tidak tersandera oleh utang.
Terlepas dari tekad dari kedua pasangan calon pemimpin negeri itu untuk mengelola utang dengan sebaik-baiknya, saat ini jumlah utang pemerintah memang sungguh memprihatinkan. Kita berharap utang baru bisa diminimalkan sebagaimana yang sudah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), faktanya tetap saja bertumbuh signifikan.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total utang pemerintah sudah mencapai sebesar Rp2.440 triliun dengan rasio 24,8% terhadap PDB per April 2014. Dari total utang tersebut pemerintah telah mengorek kocek untuk mencicil pokok dan bunga utang untuk periode Januari–April 2014 sebesar Rp135,265 triliun atau 36,66% dari target cicilan utang yang akan dilunasi pemerintah sepanjang tahun ini.
Meliputi cicilan pokok utang sebesar Rp91,994 triliun (pokok utang luar negeri sebesar Rp15,368 triliun dan surat utang negara sekitar Rp76,625 triliun). Dan, pembayaran bunga utang sekitar Rp43,272 triliun untuk bunga utang luar negeri dan dalam negeri. Siapa sajakah negara atau lembaga keuangan internasional yang rajin mengutangi Pemerintah Indonesia?
Menyimak data dari Kemenkeu dalam dua tahun terakhir ini, setidaknya terdapat tiga negara yakni Jepang, Prancis, dan Jerman, sedangkan lembaga keuangan internasional meliputi Islamic Development Bank (IDB), Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia (World Bank).
Adapun utang pemerintah Indonesia ke Jepang sebesar Rp242,68 triliun, disusul Prancis sekitar Rp25,58 triliun dan Jerman sebesar Rp22,52 triliun per April 2014. Utang pemerintah pada Bank Dunia sebesar Rp154,44 triliun, ADB mencapai Rp103,38 triliun dan IDB sekitar Rp6,83 triliun per April 2014.
Kesadaran kedua pasangan capres dan cawapres yang bertekad membebaskan Indonesia dari sanderaan utang adalah sebuah catatan positif tersendiri. Setidaknya, para calon pemimpin tersebut tidak ingin rakyat terbelenggu oleh utang yang senantiasa mengancam kemandirian bangsa ke depan. Siapa pun yang terpilih kelak memimpin negeri ini, mereka harus berkaca pada sejumlah negara di Kawasan Eropa yang jatuh miskin karena terlilit utang yang begitu besar.
Upaya untuk meminimalkan utang dapat ditempuh dengan berbagai cara, dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara maksimal yang kini mulai ditempuh melalui kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral sebelum dilakukan pemurnian di dalam negeri. Ke depan, pemerintah baru harus lebih konsisten melaksanakan kebijakan tersebut, terutama menghadapi perusahaan tambang raksasa dunia yang cenderung menolak kebijakan tersebut.
Masih banyak cara lain, misalnya bagaimana mengefektifkan anggaran subsidi, terutama subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggerogoti anggaran negara—selain jumlahnya besar sasarannya pun melenceng.
Dalam visi-misi pasangan calon presiden (capres) Joko Widodo dan calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla yang bertajuk “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat dan Berkepribadian”, persoalan utang mendapatkan sorotan utama yang mendapat prioritas.
Secara tegas mereka menyatakan akan menekan utang pemerintah sehingga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin kecil. Selain itu, pembentukan utang baru hanya diperuntukkan pembiayaan produktif, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Di lain pihak, pasangan capres Prabowo Subianto dan cawapres Hatta Rajasa dalam menyikapi masalah utang pemerintah malah lebih ekstrem dibanding pesaingnya. Dalam visi-misi pasangan tersebut yang dikemas dalam tema “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia dari Prabowo–Hatta” ditegaskan, pasangan ini akan mengurangi pinjaman luar negeri baru, baik multilateral maupun bilateral, dengan target menjadi nol pada 2019.
Menyimak visi-misi kedua pasangan calon pemimpin negeri ini dalam lima tahun ke depan, terutama dalam mengatasi persoalan utang, sungguh membangkitkan semangat bahwa betapa pentingnya Indonesia untuk tidak tersandera oleh utang.
Terlepas dari tekad dari kedua pasangan calon pemimpin negeri itu untuk mengelola utang dengan sebaik-baiknya, saat ini jumlah utang pemerintah memang sungguh memprihatinkan. Kita berharap utang baru bisa diminimalkan sebagaimana yang sudah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), faktanya tetap saja bertumbuh signifikan.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total utang pemerintah sudah mencapai sebesar Rp2.440 triliun dengan rasio 24,8% terhadap PDB per April 2014. Dari total utang tersebut pemerintah telah mengorek kocek untuk mencicil pokok dan bunga utang untuk periode Januari–April 2014 sebesar Rp135,265 triliun atau 36,66% dari target cicilan utang yang akan dilunasi pemerintah sepanjang tahun ini.
Meliputi cicilan pokok utang sebesar Rp91,994 triliun (pokok utang luar negeri sebesar Rp15,368 triliun dan surat utang negara sekitar Rp76,625 triliun). Dan, pembayaran bunga utang sekitar Rp43,272 triliun untuk bunga utang luar negeri dan dalam negeri. Siapa sajakah negara atau lembaga keuangan internasional yang rajin mengutangi Pemerintah Indonesia?
Menyimak data dari Kemenkeu dalam dua tahun terakhir ini, setidaknya terdapat tiga negara yakni Jepang, Prancis, dan Jerman, sedangkan lembaga keuangan internasional meliputi Islamic Development Bank (IDB), Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia (World Bank).
Adapun utang pemerintah Indonesia ke Jepang sebesar Rp242,68 triliun, disusul Prancis sekitar Rp25,58 triliun dan Jerman sebesar Rp22,52 triliun per April 2014. Utang pemerintah pada Bank Dunia sebesar Rp154,44 triliun, ADB mencapai Rp103,38 triliun dan IDB sekitar Rp6,83 triliun per April 2014.
Kesadaran kedua pasangan capres dan cawapres yang bertekad membebaskan Indonesia dari sanderaan utang adalah sebuah catatan positif tersendiri. Setidaknya, para calon pemimpin tersebut tidak ingin rakyat terbelenggu oleh utang yang senantiasa mengancam kemandirian bangsa ke depan. Siapa pun yang terpilih kelak memimpin negeri ini, mereka harus berkaca pada sejumlah negara di Kawasan Eropa yang jatuh miskin karena terlilit utang yang begitu besar.
Upaya untuk meminimalkan utang dapat ditempuh dengan berbagai cara, dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara maksimal yang kini mulai ditempuh melalui kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral sebelum dilakukan pemurnian di dalam negeri. Ke depan, pemerintah baru harus lebih konsisten melaksanakan kebijakan tersebut, terutama menghadapi perusahaan tambang raksasa dunia yang cenderung menolak kebijakan tersebut.
Masih banyak cara lain, misalnya bagaimana mengefektifkan anggaran subsidi, terutama subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggerogoti anggaran negara—selain jumlahnya besar sasarannya pun melenceng.
(nfl)