KPK Tidak Lagi Perang-perangan
A
A
A
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menghadirkan dua wakil presiden RI dan direktur pelaksana Bank Dunia sebagai saksi persidangan skandal Bank Century di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Inilah penanda perang sesungguhnya terhadap komunitas koruptor di negara ini. Dua hari berturut-turut, Kamis (8/5) dan Jumat (9/5), jaksa penuntut umum (JPU) KPK bisa menghadirkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Wakil Presiden Boediono sebagai saksi untuk terdakwa Budi Mulya.
Sepekan sebelumnya, Jumat (2/5), para JPU KPK juga berhasil menghadirkan mantan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Fakta ini spesial karena sosok saksi yang satu ini masih menjabat direktur pelaksana Bank Dunia.
Dia harus meninggalkan kantornya di Washington DC, Amerika Serikat, dengan agenda utama menjawab pertanyaan JPU, kuasa hukum terdakwa, dan majelis hakim di ruang Pengadilan Tipikor Jakarta. Menghadirkan fakta persidangan seperti ini tidak mudah.
Banyak kalangan bahkan membayangkan KPK akan mengalami kesulitan, khususnya untuk menghadirkan Boediono. Selain karena aspek protokoler, sempat juga muncul pertimbangan tentang pantas-tidak pantas menghadirkan Wapres di ruang Pengadilan Tipikor sekalipun sekadar sebagai saksi.
Apalagi, saat memeriksa Boediono tempo hari, para penyidik KPK tidak melaksanakannya di Gedung KPK, tapi di kantor Wapres. Namun, karena kebutuhan akan kesaksian Boediono di pengadilan tak terhindarkan, panggilan kepada Wapres untuk bersaksi harus dibuat.
Kesediaan Boediono, Jusuf Kalla, serta Sri Mulyani Indrawati hadir di Pengadilan Tipikor tak hanya disyukuri, tetapi juga diapresiasi masyarakat. Dengan menghadirkan tiga sosok penting itu di Pengadilan Tipikor, KPK sudah menembus hambatan atau rintangan psikologis dalam mencari kebenaran atau fakta hukum dari sebuah kasus.
Artinya, KPK telah menegaskan sekaligus membuktikan bahwa demi mendapatkan fakta hukum dan kebenaran, jabatan seseorang tidak boleh menjadi faktor penghalang untuk memberi keterangan atau kesaksian di muka pengadilan.
Lebih dari itu, institusi KPK bersama tiga sosok penting itu sudah menunjukkan contoh tentang kesamaan semua orang di muka hukum. Itulah pesan yang secara tidak langsung ingin disampaikan KPK kepada siapa saja, terutama mereka yang masih tergabung dalam komunitas koruptor di negara ini.
KPK juga memberi sinyal tentang eskalasi perang melawan kekuatan koruptor. Bukan lagi perang-perangan melawan korupsi, melainkan serangan sapu bersih. Tidak ada lagi alasan untuk melakukan tebang pilih karena hambatan psikologis, terutama ketika menghadapi kekuasaan atau pejabat tinggi negara, sudah ditembus.
Selama ini muncul anggapan bahwa institusi penegak hukum, termasuk KPK, ewuh pakewuh, sungkan, bahkan cenderung permisif terhadap oknum penguasa atau oknum pejabat tinggi yang diduga terlibat kasus korupsi.
Jangankan mendakwa, memeriksa oknum pejabat tinggi terduga koruptor pun terkesan tidak berani. Belakangan persepsi publik mulai berubah, apalagi ketika KPK mulai berani mendakwa oknum menteri, sejumlah pejabat tinggi, termasuk para politisi.
Setelah menghadirkan Boediono dan Jusuf Kalla di Pengadilan Tipikor, KPK pun telah melayangkan surat panggilan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Keduanya perlu memberi keterangan kepada penyidik KPK sebagai saksi meringankan untuk Anas Urbaningrum, tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang.
Panggilan kepada SBY dan Ibas itu sejalan dengan permintaan Anas. Dia berhak mengajukan permohonan agar KPK memanggil pihak-pihak dapat menjadi saksi meringankan. Langkah KPK yang satu ini pun terbilang spesial sebab hingga kini tidak atau bahkan belum terbayangkan bahwa para pemimpin dari sebuah institusi penegak hukum berani melayangkan panggilan kepada presiden guna didengarkan kesaksiannya dalam sebuah pemeriksaan oleh petugas penyidik.
Alasannya adalah perilaku ewuh pakewuh itu tadi. Sejak dulu tindakan seperti yang dilakukan KPK itu justru dinilai lancang karena para pejabat negara telanjur memosisikan presiden sebagai the king can do no wrong. Lagi-lagi, KPK menghapus salah kaprah itu.
Efek jera
Kalau rintangan atau hambatan psikologis menghadapi para elite pemimpin sudah ditembus, praktis tidak ada hambatan lagi bagi KPK untuk menghadapi atau menyergap para pejabat di bawahnya. Kalau para elite hanya dihadirkan sebagai saksi, dalam rentang waktu yang sama di penghujung April hingga pekan kedua Mei 2014 ini, KPK menjaring sejumlah tersangka. Benar-benar periode yang sibuk dengan tangkapan lumayan besar.
Kejutan pertama adalah menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai direktur jenderal pajak periode 2002- 2004.
Setelah itu giliran mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk kasus dugaan korupsi penggunaan dana di Kesetjenan ESDM tahun anggaran (TA) 2012. Tak berhenti sampai di situ, KPK kembali menjaring Ilham Arief Sirajuddin pada hari terakhir masa jabatannya sebagai Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam proyek kerja sama kelola dan transfer PDAM Kota Makassar pada 2006-2012. Di tengah hingar-bingar isu tentang koalisi partai politik menuju Pilpres 2014, KPK menyergap dan menetapkan Bupati Bogor Rachmat Yasin sebagai tersangka kasus korupsi karena diduga menerima suap Rp4,5 miliar. Di Gedung KPK pun muncul pemandangan menarik. Menteri Agama Suryadharma Ali dimintai keterangan berkait dengan proses penyelidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013 di Kementerian Agama.
Menyusul penetapan Waryono Karno sebagai tersangka, KPK mulai membidik Menteri ESDM Jero Wacik. Rangkaian peristiwa hasil tangkapan KPK itu menjadi bukti belum tumbuhnya efek jera. Artinya, kendati KPK sudah menunjukkan sikap sangat tegas dalam dua tahun terakhir ini, efek jera untuk menghindari tindak pidana korupsi belum merata.
Memang di berbagai kesempatan di ruang publik terdengar percakapan mengenai rasa takut melakukan korupsi setelah menyimak sepak terjang KPK.Namun, baru sekadar rasa takut, bukan kesadaran untuk menghindar dari perilaku korup.
Takut sesaat itu akan hilang dengan sendirinya ketika ada kesempatan untuk korup. Takut sesaat itu akan mendorong calon koruptor untuk berbuat ekstra hati-hati. Pasca penetapan tersangka Bupati Bogor Rahmat Yasin, Ketua KPK Abraham Samad langsung membuat pernyataan yang mengingatkan semua pejabat negara maupun daerah untuk berhenti korupsi.
Apakah pernyataan Ketua KPK itu didengar atau tidak, itu persoalan lain. Terpenting, Ketua KPK sudah melaksanakan kewajibannya untuk mengingatkan dan mencegah PNS melakukan korupsi.
Fakta persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, yang menghadirkan dua wakil presiden RI dan direktur pelaksana Bank Dunia sebagai saksi kasus Century, semestinya bisa menumbuhkan efek jera.
Fakta persidangan ini menjelaskan bahwa KPK tak akan pernah lelah, takut, atau sungkan untuk mencari bukti. Perang yang dilancarkan KPK sekarang ini bukan lagi perangperangan dengan pedang-pedangan. Tapi, perang betulan dengan pedang hukum tanpa pandang bulu.
Kalau kemarin KPK telah menyentuh wakil presiden, ke depan bukan tidak mungkin KPK juga akan menyentuh presiden. Siapa takut?
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Inilah penanda perang sesungguhnya terhadap komunitas koruptor di negara ini. Dua hari berturut-turut, Kamis (8/5) dan Jumat (9/5), jaksa penuntut umum (JPU) KPK bisa menghadirkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Wakil Presiden Boediono sebagai saksi untuk terdakwa Budi Mulya.
Sepekan sebelumnya, Jumat (2/5), para JPU KPK juga berhasil menghadirkan mantan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Fakta ini spesial karena sosok saksi yang satu ini masih menjabat direktur pelaksana Bank Dunia.
Dia harus meninggalkan kantornya di Washington DC, Amerika Serikat, dengan agenda utama menjawab pertanyaan JPU, kuasa hukum terdakwa, dan majelis hakim di ruang Pengadilan Tipikor Jakarta. Menghadirkan fakta persidangan seperti ini tidak mudah.
Banyak kalangan bahkan membayangkan KPK akan mengalami kesulitan, khususnya untuk menghadirkan Boediono. Selain karena aspek protokoler, sempat juga muncul pertimbangan tentang pantas-tidak pantas menghadirkan Wapres di ruang Pengadilan Tipikor sekalipun sekadar sebagai saksi.
Apalagi, saat memeriksa Boediono tempo hari, para penyidik KPK tidak melaksanakannya di Gedung KPK, tapi di kantor Wapres. Namun, karena kebutuhan akan kesaksian Boediono di pengadilan tak terhindarkan, panggilan kepada Wapres untuk bersaksi harus dibuat.
Kesediaan Boediono, Jusuf Kalla, serta Sri Mulyani Indrawati hadir di Pengadilan Tipikor tak hanya disyukuri, tetapi juga diapresiasi masyarakat. Dengan menghadirkan tiga sosok penting itu di Pengadilan Tipikor, KPK sudah menembus hambatan atau rintangan psikologis dalam mencari kebenaran atau fakta hukum dari sebuah kasus.
Artinya, KPK telah menegaskan sekaligus membuktikan bahwa demi mendapatkan fakta hukum dan kebenaran, jabatan seseorang tidak boleh menjadi faktor penghalang untuk memberi keterangan atau kesaksian di muka pengadilan.
Lebih dari itu, institusi KPK bersama tiga sosok penting itu sudah menunjukkan contoh tentang kesamaan semua orang di muka hukum. Itulah pesan yang secara tidak langsung ingin disampaikan KPK kepada siapa saja, terutama mereka yang masih tergabung dalam komunitas koruptor di negara ini.
KPK juga memberi sinyal tentang eskalasi perang melawan kekuatan koruptor. Bukan lagi perang-perangan melawan korupsi, melainkan serangan sapu bersih. Tidak ada lagi alasan untuk melakukan tebang pilih karena hambatan psikologis, terutama ketika menghadapi kekuasaan atau pejabat tinggi negara, sudah ditembus.
Selama ini muncul anggapan bahwa institusi penegak hukum, termasuk KPK, ewuh pakewuh, sungkan, bahkan cenderung permisif terhadap oknum penguasa atau oknum pejabat tinggi yang diduga terlibat kasus korupsi.
Jangankan mendakwa, memeriksa oknum pejabat tinggi terduga koruptor pun terkesan tidak berani. Belakangan persepsi publik mulai berubah, apalagi ketika KPK mulai berani mendakwa oknum menteri, sejumlah pejabat tinggi, termasuk para politisi.
Setelah menghadirkan Boediono dan Jusuf Kalla di Pengadilan Tipikor, KPK pun telah melayangkan surat panggilan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Keduanya perlu memberi keterangan kepada penyidik KPK sebagai saksi meringankan untuk Anas Urbaningrum, tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang.
Panggilan kepada SBY dan Ibas itu sejalan dengan permintaan Anas. Dia berhak mengajukan permohonan agar KPK memanggil pihak-pihak dapat menjadi saksi meringankan. Langkah KPK yang satu ini pun terbilang spesial sebab hingga kini tidak atau bahkan belum terbayangkan bahwa para pemimpin dari sebuah institusi penegak hukum berani melayangkan panggilan kepada presiden guna didengarkan kesaksiannya dalam sebuah pemeriksaan oleh petugas penyidik.
Alasannya adalah perilaku ewuh pakewuh itu tadi. Sejak dulu tindakan seperti yang dilakukan KPK itu justru dinilai lancang karena para pejabat negara telanjur memosisikan presiden sebagai the king can do no wrong. Lagi-lagi, KPK menghapus salah kaprah itu.
Efek jera
Kalau rintangan atau hambatan psikologis menghadapi para elite pemimpin sudah ditembus, praktis tidak ada hambatan lagi bagi KPK untuk menghadapi atau menyergap para pejabat di bawahnya. Kalau para elite hanya dihadirkan sebagai saksi, dalam rentang waktu yang sama di penghujung April hingga pekan kedua Mei 2014 ini, KPK menjaring sejumlah tersangka. Benar-benar periode yang sibuk dengan tangkapan lumayan besar.
Kejutan pertama adalah menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai direktur jenderal pajak periode 2002- 2004.
Setelah itu giliran mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk kasus dugaan korupsi penggunaan dana di Kesetjenan ESDM tahun anggaran (TA) 2012. Tak berhenti sampai di situ, KPK kembali menjaring Ilham Arief Sirajuddin pada hari terakhir masa jabatannya sebagai Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam proyek kerja sama kelola dan transfer PDAM Kota Makassar pada 2006-2012. Di tengah hingar-bingar isu tentang koalisi partai politik menuju Pilpres 2014, KPK menyergap dan menetapkan Bupati Bogor Rachmat Yasin sebagai tersangka kasus korupsi karena diduga menerima suap Rp4,5 miliar. Di Gedung KPK pun muncul pemandangan menarik. Menteri Agama Suryadharma Ali dimintai keterangan berkait dengan proses penyelidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013 di Kementerian Agama.
Menyusul penetapan Waryono Karno sebagai tersangka, KPK mulai membidik Menteri ESDM Jero Wacik. Rangkaian peristiwa hasil tangkapan KPK itu menjadi bukti belum tumbuhnya efek jera. Artinya, kendati KPK sudah menunjukkan sikap sangat tegas dalam dua tahun terakhir ini, efek jera untuk menghindari tindak pidana korupsi belum merata.
Memang di berbagai kesempatan di ruang publik terdengar percakapan mengenai rasa takut melakukan korupsi setelah menyimak sepak terjang KPK.Namun, baru sekadar rasa takut, bukan kesadaran untuk menghindar dari perilaku korup.
Takut sesaat itu akan hilang dengan sendirinya ketika ada kesempatan untuk korup. Takut sesaat itu akan mendorong calon koruptor untuk berbuat ekstra hati-hati. Pasca penetapan tersangka Bupati Bogor Rahmat Yasin, Ketua KPK Abraham Samad langsung membuat pernyataan yang mengingatkan semua pejabat negara maupun daerah untuk berhenti korupsi.
Apakah pernyataan Ketua KPK itu didengar atau tidak, itu persoalan lain. Terpenting, Ketua KPK sudah melaksanakan kewajibannya untuk mengingatkan dan mencegah PNS melakukan korupsi.
Fakta persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, yang menghadirkan dua wakil presiden RI dan direktur pelaksana Bank Dunia sebagai saksi kasus Century, semestinya bisa menumbuhkan efek jera.
Fakta persidangan ini menjelaskan bahwa KPK tak akan pernah lelah, takut, atau sungkan untuk mencari bukti. Perang yang dilancarkan KPK sekarang ini bukan lagi perangperangan dengan pedang-pedangan. Tapi, perang betulan dengan pedang hukum tanpa pandang bulu.
Kalau kemarin KPK telah menyentuh wakil presiden, ke depan bukan tidak mungkin KPK juga akan menyentuh presiden. Siapa takut?
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
(nfl)