Revolusi mental

Sabtu, 10 Mei 2014 - 13:25 WIB
Revolusi mental
Revolusi mental
A A A
REVOLUSI Mental”. Frase ini kini kerap disebut salah seorang kandidat presiden Indonesia. Pengertiannya merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif menuju positif.

Perubahan dari ketidakpercayaan diri menjadi bangsa yang penuh kepercayaan. Menyadari diri bahwa kita adalah bangsa besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar. ”Visi” revolusi mental ini begitu pentingnya mengingat beragam kegagalan kita sebagai bangsa, kerap (selalu) dimulai dari mentalitas ini.

Bangsa besar
Harus ada yang terus mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar. Namun, masyarakatnya kerap tidak percaya diri saat menghadapi tantangan- tantangan zaman. Pola pikir ini harus diubah karena perubahan selalu berasal dari sikap dan mental manusia. Kendati sudah merdeka berpuluh tahun lamanya, kita masih merasa sebagai bangsa yang rendah diri dan bermental ”jongos”.

Kita tidak maju akibat sikap mental yang selalu merasa diri terjajah dan bahkan menikmati situasi ketergantungan pada bangsa lain. Kemakmuran yang ada seperti sebuah fatamorgana, hanya indah di bukubuku sekolahan, namun pahit dalam kenyataan. Sumber daya alam negeri ini bahkan nyaris ludes dikuasai oleh pihak asing.

Untuk mengembalikan semuanya, tidak berlebihan bila memang revolusi mental ini dikemukakan. Ini merupakan hal mendasar dan pertama kali dilakukan agar kita bisa memulai melakukan tindakantindakan konkret untuk mengambil manfaat sumber daya alam untuk kepentingan bangsa kita sendiri.

Merdeka sepenuhnya
Kita sering merasa minder sebagai bangsa. Kurang bisa memaknai harga diri dan begitu mudah menyerahkan segalagalanya pada bangsa lain. Orientasi elite kerap hanya keuntungan dirinya saja, dengan hanya menjadi perantara atau makelar saja. Bukan sebagai bangsa yang tangguh yang berani mengelola semua potensi untuk rakyat sendiri. Berabad-abad lamanya menjadi bangsa yang bisa membungkuk pada orang lain.

Dan, inilah musabab segala problematika bangsa ini sebab mental elite tidaklah merdeka sepenuhnya. Dalam konteks pendidikan, ketakutan luar biasa terhadap mereka yang memiliki uang merupakan cermin gagalnya pengelolaan republik ini. Kita belum mampu memproses manusia yang merdeka; mendidik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka.

Kita belum mampu memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang diwarnai oleh mentalitas kuli; cenderung menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Tidak setia kawan, mudah mengkhianati dan tega memfitnah, bahkan membunuh bila ada kesempatan. Akibatnya, lahir suatu watak yang tidak suka membela kebenaran.

Watak ini oleh Romo Mangun (1999) pernah dikatakan sebagai watak ”mencari selamat sendiri-sendiri”. Ini bahkan dilakukan melalui pengorbanan orang lain. Mereka lebih suka berbohong dengan dalih menjaga harmoni.

Demi semua itu, mereka tak mau bekerja secara fairplay, tetapi lebih menyukai menjadi bunglon demi menjaga karier, martabat, dan status. Mentalitas tersebut begitu kuat, dan akibatnya mereka tidak berani mengambil risiko dan berpedoman lebih baik mencari keselamatan diri sendiri saja.

Sistem penuh kepalsuan
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita hari ini, yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepalsuan. Sungguh ironis karena sudah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan.

Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol, jangan harap menghasilkan elite yang berkualitas. Cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh para pendiri republik seolah luntur. Barangkali, tak pernah disangka oleh para pendiri republik bahwa akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir penjajahan kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan.

Ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) dilakukan oleh bangsa sendiri bersama dengan bangsa lain melalui persekongkolan jahat. Dalihnya kemakmuran, tapi nyatanya ketertindasan. Romantisme perjuangan dalam bentuk solidaritas kebangsaan yang amat kuat luntur karena para pengisinya tak pernah sadar bahwa usaha membangun selalu dilakukan bersama, bukan orang per orang dan kelompok per kelompok.

Revolusi ’45 yang sudah menghasilkan landasan bagi kemerdekaan politik sulit diteruskan menuju kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai sebuah cita-cita kemerdekaan bangsa secara menyeluruh. Atas semua fakta di atas, refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan besar sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali cita-cita kemerdekaan yang mendasar.

Kemerdekaan sejati
Kemerdekaan adalah kepedulian untuk terus-menerus memberdayakan manusia agar ia memahami dirinya sendiri sekaligus mengaktualisasikan kreativitasnya demi membangun kemakmuran bangsa dan negara. Gagasan Romo Mangun tersebar dalam berbagai pikiran untuk membebaskan manusia dari belenggu. Bangsa baginya tidak hanya sebagai kumpulan manusia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan.

Kemerdekaan bangsa adalah cerminan dari manusia sebagai individu yang otonom. Kenyataannya, meski kita sudah merdeka hampir setengah abad dari penjajah, arti kemerdekaan itu hanya bisa dilekatkan sebagai kemerdekaan secara formal. Itupun masih harus kita pertanyakan kembali, meski kita sudah merdeka, pada hakikatnya kita masih terjajah secara ekonomi.

Kemerdekaan sebagai sebuah bangsa secara formal bukanlah cermin kemerdekaan manusia per manusia di dalamnya. Kemerdekaan itu lebih berkonotasi sebagai kemerdekaan kolektif, formalistik dan simbolistik. Bukan sebagai kemerdekaan jiwa dan otonomi individu di dalamya. Kegelisahan bangsa ini, terutama, adalah karena selama ini kita lebih hanya menjalankan reformasi yang setengah hati. Ini disebabkan oleh mentalitas yang setengah-setengah dalam menegakkan keadilan dan hukum.

Mentalitas setengahsetengah itu tercermin dalam berbagai keraguan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan kerap dikalahkan oleh kekuatan politik dan uang. Dua hal ini begitu kuat mengendalikan hukum di Republik ini. Dengan uang, semua perkara menjadi beres dan mudah diselesaikan di bawah meja.

Keadilan hanya menjadi permainan kata-kata oleh para elite politik yang selalu berkelit demi menjaga konstitusi. Padahal, semua tahu bahwa konstitusi sedang dijalankan dengan setengah hati; ”sesuai dengan pesanan”. Seolah-olah mereka mengalami keraguan, ketakutan untuk bertindak. Mereka tampaknya memiliki mentalitas minder dengan para pemilik uang.

Atas itu semualah, revolusi mental diperlukan, bukan hanya dalam kata-kata namun juga dalam tindakan konkret untuk mengembalikan Indonesia sebagai bangsa besar yang mengelola kekayaan alam untuk rakyatnya sendiri.

BENNY SUSETYO
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Pemerhati Sosial
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1317 seconds (0.1#10.140)