Mengakhiri kebijakan luar negeri SBY
A
A
A
KLAIM keberhasilan kebijakan luar negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dituliskan Juru Bicara Presiden Teuku Faizasyah di harian Kompas (26/4) dan Tempo (27/4), menarik untuk dicermati manfaat dan konstitusionalitasnya.
Undang-Undang Dasar 1945 meletakkan kebijakan luar negeri Indonesia pada dua kepentingan utama (national interest). Pertama, guna memantapkan pelayanan negara ke dalam (negeri): melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, untuk melibatkan diri dalam menjaga ketertiban dunia. Dus, kesemuannya tidak tercermin pada sepuluh tahun kebijakan luar negeri SBY.
Mendahulukan kepentingan asing
Dari sederet contoh keberhasilan kebijakan luar negeri SBY, seperti dituliskan Faizasyah, terdapat tiga persoalan paling mencolok. Pertama, ketika Faizasyah menyebut peningkatan nilai ekspor produk Indonesia, khususnya produk kelapa sawit dan turunannya, sebagai alat ukur kasatmata keberhasilan diplomasi ekonomi SBY.
Faktanya, kinerja ekspor Indonesia masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam dan berupa non olahan. Ekspor produk kelapa sawit misalnya sebanyak 70% produk sawit Indonesia adalah untuk ekspor. Namun, ekspor tersebut memiliki konsekuensi besar terhadap berkurangnya lahan-lahan produktif pertanian pangan, menciutnya luasan hutan dan ekosistem bakau di pesisir, hingga meluasnya konflik agraria.
Pada bagian akhir rantai nilai global (global value chain), Indonesia juga terpaksa membeli kembali produk olahan sawit seperti minyak goreng, sabun, margarin, bahan baku farmasi, hingga bahan bakar biodiesel dengan harga 5–10 kali lebih mahal. Tragedi ini terjadi di hampir seluruh ekspor produk Indonesia, tidak terkecuali di sektor perikanan, pertanian, peternakan, hingga pertambangan.
Tak pelak, impor pangan Indonesia membengkak hingga lebih dari USD12 miliar atau tertinggi sepanjang sejarah republik. Bahkan berulangkali terjadi defisit neraca perdagangan hingga defisit APBN. Kedua, Faizasyah juga menggunakan peningkatan nilai investasi asing sebagai indikator keberhasilan. Jika nilai total investasi asing dari pemerintahan sebelumnya hanya USD5,44 miliar, SBY mampu menggenjotnya hingga lima kali lipat menjadi USD24,56 miliar.
Padahal, investasi asing di Indonesia berupa padat modal. Cirinya, dana dibiarkan mengendap di bank, tidak untuk menggerakkan perekonomian rakyat, tidak menyerap tenaga kerja, tidak pula meningkatkan produktivitas sektor-sektor strategis nasional, semacam pangan dan energi. Meski investasi asing lima kali lebih besar, angka pengangguran dan kemiskinan tidak juga beranjak dari sepuluh tahun lalu.
Risiko lain yang tidak pernah dihitung oleh Faizasyah adalah tren perusahaan-perusahaan asing menggunakan arbitrase internasional untuk membangkrutkan negara tujuan investasinya. Kasus teranyar, Indonesia berpeluang membayar USD2 miliar kepada Churchill, sebuah perusahaan kecil pertambangan asal Inggris yang menggugat Pemerintah Indonesia karena dianggap gagal melindungi investasinya di Kalimantan Timur.
Terakhir, Faizasyah memasukkan pula keterlibatan Presiden SBY dalam perundingan KTT Perubahan Iklim di Denmark (Desember, 2009) sebagai prestasi. Alasannya, pertemuan di Kopenhagen tersebut dicatat dalam sejarah negosiasi global atas keunikannya melibatkan langsung 26 kepala negara atau pemerintah, termasuk Presiden SBY dalam negosiasi hingga menghasilkan Copenhagen Accord.
Saya kebetulan satu dari sedikit aktivis lingkungan Indonesia yang hadir dalam perundingan tersebut. Bagi Indonesia, kesepakatan ini justru merugikan. Selain gagal memasukkan dimensi kerentanan negara kepulauan dalam skenario adaptasi perubahan iklim, Copenhagen Accord juga telah menjadi awal ditenggelamkan Bali Road Map. Sebuah kesepakatan penting yang dihasilkan saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT Perubahan Iklim 2007.
Dengan prestasi gemilang SBY mendahulukan kepentingan asing di atas kepentingan rakyat Indonesia, tidaklah aneh jika ada kepala negara pada Maret 2013, seperti dikisahkan oleh Faizasyah (Tempo, 27/4), dengan berkaca-kaca menyampaikan apresiasinya atas peran Presiden SBY membangun persahabatan di antara kedua negara, bangsa, dan di antara kedua pemimpin.
Mengakhiri kebijakan
Prioritas kebijakan luar negeri dan inisiatif kerja sama ekonomi Indonesia sepuluh tahun terakhir telah melenceng jauh dari amanat konstitusi. Pada satu sisi, prakarsa Presiden SBY sebagai tuan rumah penyelenggaraan APEC dan WTO; ataupun sejak awal keterlibatannya di KTT Perubahan Iklim, G-20, dan ASEAN, telah digunakan untuk memangkas kewajiban pemerintah dalam melindungi petani, nelayan, buruh, maupun sektor UMKM.
Lalu, membuka lebar keterlibatan asing dalam mengelola sektorsektor strategis nasional dan infrastruktur melalui inisiatif Public Private Partnership. Presiden hasil Pemilu 2014 harus berani mengoreksi kebijakan luar negeri SBY (change), bukan melanjutkannya (continuity). Pertama, melakukan evaluasi hingga pembatalan sederet kerja sama ekonomi, baik pada level regional ataupun internasional yang bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, membuka partisipasi langsung rakyat untuk memutuskan: terlibat atau tidaknya Indonesia dalam tiap-tiap kerja sama internasional. Ketiga, mengembalikan keutamaan UUD 1945 sebagai acuan harmonisasi hukum nasional. Terakhir, memboboti substansi diplomasi Indonesia dengan doktrin kelautan. Ini penting untuk memperbesar ketermanfaatan kebijakan luar negeri Indonesia, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun pertahanan dan keamanan.
Tanpa mengakhiri kebijakan luar negeri SBY, mustahil persoalan domestik semacam konflik agraria, kemiskinan dan kelaparan, kerusakan lingkungan hidup, hingga korupsi dapat terselesaikan ke depan.
M RIZA DAMANIK
Direktur Eksekutif IGJ; Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Pernah Belajar Ekologi Politik di Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda
Undang-Undang Dasar 1945 meletakkan kebijakan luar negeri Indonesia pada dua kepentingan utama (national interest). Pertama, guna memantapkan pelayanan negara ke dalam (negeri): melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, untuk melibatkan diri dalam menjaga ketertiban dunia. Dus, kesemuannya tidak tercermin pada sepuluh tahun kebijakan luar negeri SBY.
Mendahulukan kepentingan asing
Dari sederet contoh keberhasilan kebijakan luar negeri SBY, seperti dituliskan Faizasyah, terdapat tiga persoalan paling mencolok. Pertama, ketika Faizasyah menyebut peningkatan nilai ekspor produk Indonesia, khususnya produk kelapa sawit dan turunannya, sebagai alat ukur kasatmata keberhasilan diplomasi ekonomi SBY.
Faktanya, kinerja ekspor Indonesia masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam dan berupa non olahan. Ekspor produk kelapa sawit misalnya sebanyak 70% produk sawit Indonesia adalah untuk ekspor. Namun, ekspor tersebut memiliki konsekuensi besar terhadap berkurangnya lahan-lahan produktif pertanian pangan, menciutnya luasan hutan dan ekosistem bakau di pesisir, hingga meluasnya konflik agraria.
Pada bagian akhir rantai nilai global (global value chain), Indonesia juga terpaksa membeli kembali produk olahan sawit seperti minyak goreng, sabun, margarin, bahan baku farmasi, hingga bahan bakar biodiesel dengan harga 5–10 kali lebih mahal. Tragedi ini terjadi di hampir seluruh ekspor produk Indonesia, tidak terkecuali di sektor perikanan, pertanian, peternakan, hingga pertambangan.
Tak pelak, impor pangan Indonesia membengkak hingga lebih dari USD12 miliar atau tertinggi sepanjang sejarah republik. Bahkan berulangkali terjadi defisit neraca perdagangan hingga defisit APBN. Kedua, Faizasyah juga menggunakan peningkatan nilai investasi asing sebagai indikator keberhasilan. Jika nilai total investasi asing dari pemerintahan sebelumnya hanya USD5,44 miliar, SBY mampu menggenjotnya hingga lima kali lipat menjadi USD24,56 miliar.
Padahal, investasi asing di Indonesia berupa padat modal. Cirinya, dana dibiarkan mengendap di bank, tidak untuk menggerakkan perekonomian rakyat, tidak menyerap tenaga kerja, tidak pula meningkatkan produktivitas sektor-sektor strategis nasional, semacam pangan dan energi. Meski investasi asing lima kali lebih besar, angka pengangguran dan kemiskinan tidak juga beranjak dari sepuluh tahun lalu.
Risiko lain yang tidak pernah dihitung oleh Faizasyah adalah tren perusahaan-perusahaan asing menggunakan arbitrase internasional untuk membangkrutkan negara tujuan investasinya. Kasus teranyar, Indonesia berpeluang membayar USD2 miliar kepada Churchill, sebuah perusahaan kecil pertambangan asal Inggris yang menggugat Pemerintah Indonesia karena dianggap gagal melindungi investasinya di Kalimantan Timur.
Terakhir, Faizasyah memasukkan pula keterlibatan Presiden SBY dalam perundingan KTT Perubahan Iklim di Denmark (Desember, 2009) sebagai prestasi. Alasannya, pertemuan di Kopenhagen tersebut dicatat dalam sejarah negosiasi global atas keunikannya melibatkan langsung 26 kepala negara atau pemerintah, termasuk Presiden SBY dalam negosiasi hingga menghasilkan Copenhagen Accord.
Saya kebetulan satu dari sedikit aktivis lingkungan Indonesia yang hadir dalam perundingan tersebut. Bagi Indonesia, kesepakatan ini justru merugikan. Selain gagal memasukkan dimensi kerentanan negara kepulauan dalam skenario adaptasi perubahan iklim, Copenhagen Accord juga telah menjadi awal ditenggelamkan Bali Road Map. Sebuah kesepakatan penting yang dihasilkan saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT Perubahan Iklim 2007.
Dengan prestasi gemilang SBY mendahulukan kepentingan asing di atas kepentingan rakyat Indonesia, tidaklah aneh jika ada kepala negara pada Maret 2013, seperti dikisahkan oleh Faizasyah (Tempo, 27/4), dengan berkaca-kaca menyampaikan apresiasinya atas peran Presiden SBY membangun persahabatan di antara kedua negara, bangsa, dan di antara kedua pemimpin.
Mengakhiri kebijakan
Prioritas kebijakan luar negeri dan inisiatif kerja sama ekonomi Indonesia sepuluh tahun terakhir telah melenceng jauh dari amanat konstitusi. Pada satu sisi, prakarsa Presiden SBY sebagai tuan rumah penyelenggaraan APEC dan WTO; ataupun sejak awal keterlibatannya di KTT Perubahan Iklim, G-20, dan ASEAN, telah digunakan untuk memangkas kewajiban pemerintah dalam melindungi petani, nelayan, buruh, maupun sektor UMKM.
Lalu, membuka lebar keterlibatan asing dalam mengelola sektorsektor strategis nasional dan infrastruktur melalui inisiatif Public Private Partnership. Presiden hasil Pemilu 2014 harus berani mengoreksi kebijakan luar negeri SBY (change), bukan melanjutkannya (continuity). Pertama, melakukan evaluasi hingga pembatalan sederet kerja sama ekonomi, baik pada level regional ataupun internasional yang bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, membuka partisipasi langsung rakyat untuk memutuskan: terlibat atau tidaknya Indonesia dalam tiap-tiap kerja sama internasional. Ketiga, mengembalikan keutamaan UUD 1945 sebagai acuan harmonisasi hukum nasional. Terakhir, memboboti substansi diplomasi Indonesia dengan doktrin kelautan. Ini penting untuk memperbesar ketermanfaatan kebijakan luar negeri Indonesia, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun pertahanan dan keamanan.
Tanpa mengakhiri kebijakan luar negeri SBY, mustahil persoalan domestik semacam konflik agraria, kemiskinan dan kelaparan, kerusakan lingkungan hidup, hingga korupsi dapat terselesaikan ke depan.
M RIZA DAMANIK
Direktur Eksekutif IGJ; Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Pernah Belajar Ekologi Politik di Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda
(nfl)