Wapres di panggung keadilan
A
A
A
TANGGAL 9 Mei nanti, insya Allah, Pak Boed, begitu Pak Boediono biasa disapa, akan dijadwalkan memberi kesaksian dalam perkara Pak Budi Mulya, salah satu mantan anak buahnya di Bank Indonesia (BI) dulu.
Pak Boed, tampaknya akan menghadiri sidang itu. Itu ditandai dengan pembantunya mengenali area Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, tempat peradilan itu dilangsungkan.
Hebat, itulah kata yang paling tepat disematkan kepada Pak Boed, yang saat ini berstatus wakil presiden (wapres) Republik Indonesia (RI). Sebagai wapres, memilih memberi kesaksian dalam ruang pengadilan, berada bersama hakim dan jaksa penuntut, yang sejujurnya pintar-pintar, tegas dan tidak bisa diatur-atur itu, sulit untuk tak dibilang hebat.
Keadilan materiil
Bukan keadilan formal, melainkan keadilan materiillah yang dicari, diperoleh, dan diberikan kepada terdakwa dalam peradilan ini. Betulkah terdakwa yang melakukan perbuatan atau tindakan yang didakwakan kepadanya, mengapa dilakukan, untuk apa dilakukan, dalam situasi apa dilakukan, semuanya harus dicari, digali, diungkapkan. Apakah perbuatan itu dikehendaki atau sebaliknya lalai, juga harus dicari, digali dan diungkapkan.
Demikian juga apakah perbuatan itu dilakukan dalam keadaan sadar, setengah sadar atau tidak sadar sama sekali, atau tidak bisa berpikir sama sekali, itu juga harus dicari, ditemukan dan diungkapkan oleh hakim dalam peradilan ini. Ini adalah hal yang substansial sifatnya.
Cara itu tidak hanya menandai bahwa begitulah seharusnya keadilan ditemukan dan diberikan kepada setiap orang, tetapi lebih dari itu. Cara itu adalah hasil dari kerinduan orang-orang beradab membuat kehidupan ini indah, agung dan mulia.
Cara itu dipilih untuk menggantikan cara lama, yang dalam catatan sejarah, menunjukkan pengadilan sekadar alat penguasa menghabisi lawanlawannya. Untuk tujuan seagung itulah diperlukan kesaksian dari orang-orang, yang sekali lagi, demi kemuliaan dan keagungan itu juga, yang mengetahui, melihat dan mengalami sendiri peristiwa yang didakwakan kepada terdakwa. Di situlah letak pantasnya Pak Boed didudukan sebagai saksi dalam peradilan ini.
Tetapi hal atau keterangan apa yang paling diperlukan dari Pak Boed dalam peradilan ini, jaksa penuntut lah yang paling mengetahuinya. Apakah Pak Boed akan diminta keterangan, yang akan membuat terang dan menguatkan adanya ”penyalahgunaan wewenang,” yang merupakan salah satu unsur delik dalam pasal yang didakwakan kepada Budi Mulya? Sulit memastikannya. Apakah Budi Mulya merupakan bagian kolektif dari jajaran kepemimpinan BI, yang di dalamnya ada Pak Boed juga?
Susah menjawabnya. Akankah jaksa penuntut menyodorkan pertanyaan, misalnya, fakta adanya delapan belas bank yang performanya mirip atau sama dengan BC, sebagaimana diterangkan oleh Ibu Sri Mulyani untuk ditanggapi oleh Pak Boed? Entahlah.
Akankah Pak Boed juga diminta keterangan, bukan sekadar mengonfirmasi, melainkan untuk memastikan derajat kesesuaian keterangan mengenai fakta dimacetkannya surat-surat berharga (SSB) oleh BI sebelum waktunya kepada Pak Boed?
Andai tak dimacetkan, tercukupikah alasan untuk mem-bailout BC? Akankah jaksa penuntut juga meminta keterangan Pak Boed soal angka bailout yang berubah-ubah? Sulit memastikannya.
Mungkinkah JPU meminta Pak Boed menjelaskan soal data, yang oleh Ibu Sri Mulyani, perempuan pintar yang diakui dunia itu merasa dikibulin BI? Susah menerkanya. Tetapi membayangkan jaksa penuntut tak menggoda Pak Boed dengan fakta adanya perubahan Peraturan BI, yang memungkinkan BC di-bailout dalam posisi CAR negatif, adalah hal yang teramat mustahil.
Namun apakah jaksa penuntut akan meminta Pak Boed menjelaskan pengikatan collateral, yang dilakukan antara BC dan BI sebelum banyak hal beres? Jujur, sulit mengabaikannya. Hanya dengan Ibu Sri yang pintar itu sajakah, atau dengan figur tata negara lain lagi, yang diajak Pak Boed berkoordinasi, sehingga melahirkan keberanian Pak Boed mengambil sikap mem-bailout BC, rasanya penting diungkapkan oleh Pak Boed.
Ceritakanlah semuanya dalam peradilan ini, bukan lantaran ini adalah peradilan tipikor, tetapi itulah cara Pak Boed memuliakan dirinya, baik sebagai mantan gubernur BI, maupun sebagai wapres. Andai semua hal di atas diajukan kepada Pak Boed, dan dijawab secara apa adanya, nilailah hal itu semata demi keadilan materiil, tidak yang lain.
Apalagi yang lain itu adalah adanya, dalam tanda petik, niat jahat dibalik bailoutitu. Lihat dan nilai pulalah kehadiran Pak Boed semata sebagai keperluan untuk memberi keadilan pada dirinya, juga kepada Budi.
Panggung mulia
Kala Pak Boed melontarkan pendapatnya dalam konferensi pers di kantornya usai diperiksa penyidik KPK, bahwa tindakan penyelamatan BC mulia, jujur, menggoda nalar. Sebagai mahaguru, profesor, yang berpembawaan kalem, dan sederhana serta tutur kata yang selalu sejuk, kata-kata itu pasti didasari pertimbangan matang. Kematangan itulah, yang boleh jadi, mengantarkan dirinya untuk tak arogan menggunakan sepenggal pengaruhnya mengaburkan peradilan ini.
Pak Boed mungkin tak ingin memuliakan dirinya, tetapi tak mungkin beliau tak ingin memuliakan peradilan ini. Tak memilih untuk bertelekonferensi saja, tetapi menghadiri sidang ini, jelas harus diapresiasi. Mengapa? Pimpinan KPK juga mempertimbangkan kemungkinan itu. Andai saja beliau mau bertelekonferensi, sulit untuk mengatakan tak akan terealisasi. Faktanya, beliau tak memilih jalan itu.
Fakta yang terungkap dalam persidangan ini, kelak dijadikan dasar konstruksi, diinterpretasi dan direkonstruksi hukumnya untuk dinyatakan dalam kasus ini. Berdasarkan rangkaian fakta itu pula, akan muncul, bila mau, konstruksi hukum baru sebagai penentu apakah Pak Budi bersalah atau tidak, atau akan muncul tersangka baru atau tidak sama sekali. Pak Boed dapat dipastikan tahu bahwa jujur adalah hal terindah dan agung. Kedua hal itu menandai tingginya derajat kemanusiaan seseorang. Jujur adalah kekuatan tak tertandingi dalam segala situasi.
Walau menakutkan, kejujuranlah yang membuat segala hal mulia dalam bentuk dan esensinya. Kejujuran dalam berhukum adalah kekuatan hukum itu sendiri. Pengadilan, seperti halnya hukum, dalam esensinya adalah kendali, kompas kehidupan. Keduanya berinduk pada kejujuran, pada kerinduan akan tindak-tanduk etis untuk sebuah kehidupan yang hebat. Peradilan, begitu juga hukum, tak lain adalah kristalisasi dari semua itu.
Menggapainya adalah rindu setiap orang beradab, dan menggapainya dengan cara beradab adalah cara terhebat dalam membuat peradilan dan hukum hidup di sanubari-sanubari yang hebat. Di negeri ini, dulu, peradilan pernah memperlakukan keadilan sebagai musuh terbesarnya. Penggunaannya sebagai alat pukul terhadap orang-orang jujur dalam berjuang, jelas merendahkan marwahnya sendiri.
Peradilan bukan tempat menghukum. Peradilan, sekali lagi, adalah sarana beradab dalam menemukan dan menyatakan hukum serta keadilan. Kehadiran Pak Boed dalam kapasitasnya sebagai wapres di pengadilan ini jelas menandai hadirnya keadilan, juga keteladanan. Kehadirannya akan menjadi catatan sejarah terhebat negeri ini.
Orang yang tak melipat-lipat hukum, padahal memiliki kemampuan melakukannya adalah orang besar. Kemuliaan pengadilan hanya bisa diwujudkan bila ditopang oleh orang besar. Selamat bersaksi Pak Wapres!
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun
Pak Boed, tampaknya akan menghadiri sidang itu. Itu ditandai dengan pembantunya mengenali area Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, tempat peradilan itu dilangsungkan.
Hebat, itulah kata yang paling tepat disematkan kepada Pak Boed, yang saat ini berstatus wakil presiden (wapres) Republik Indonesia (RI). Sebagai wapres, memilih memberi kesaksian dalam ruang pengadilan, berada bersama hakim dan jaksa penuntut, yang sejujurnya pintar-pintar, tegas dan tidak bisa diatur-atur itu, sulit untuk tak dibilang hebat.
Keadilan materiil
Bukan keadilan formal, melainkan keadilan materiillah yang dicari, diperoleh, dan diberikan kepada terdakwa dalam peradilan ini. Betulkah terdakwa yang melakukan perbuatan atau tindakan yang didakwakan kepadanya, mengapa dilakukan, untuk apa dilakukan, dalam situasi apa dilakukan, semuanya harus dicari, digali, diungkapkan. Apakah perbuatan itu dikehendaki atau sebaliknya lalai, juga harus dicari, digali dan diungkapkan.
Demikian juga apakah perbuatan itu dilakukan dalam keadaan sadar, setengah sadar atau tidak sadar sama sekali, atau tidak bisa berpikir sama sekali, itu juga harus dicari, ditemukan dan diungkapkan oleh hakim dalam peradilan ini. Ini adalah hal yang substansial sifatnya.
Cara itu tidak hanya menandai bahwa begitulah seharusnya keadilan ditemukan dan diberikan kepada setiap orang, tetapi lebih dari itu. Cara itu adalah hasil dari kerinduan orang-orang beradab membuat kehidupan ini indah, agung dan mulia.
Cara itu dipilih untuk menggantikan cara lama, yang dalam catatan sejarah, menunjukkan pengadilan sekadar alat penguasa menghabisi lawanlawannya. Untuk tujuan seagung itulah diperlukan kesaksian dari orang-orang, yang sekali lagi, demi kemuliaan dan keagungan itu juga, yang mengetahui, melihat dan mengalami sendiri peristiwa yang didakwakan kepada terdakwa. Di situlah letak pantasnya Pak Boed didudukan sebagai saksi dalam peradilan ini.
Tetapi hal atau keterangan apa yang paling diperlukan dari Pak Boed dalam peradilan ini, jaksa penuntut lah yang paling mengetahuinya. Apakah Pak Boed akan diminta keterangan, yang akan membuat terang dan menguatkan adanya ”penyalahgunaan wewenang,” yang merupakan salah satu unsur delik dalam pasal yang didakwakan kepada Budi Mulya? Sulit memastikannya. Apakah Budi Mulya merupakan bagian kolektif dari jajaran kepemimpinan BI, yang di dalamnya ada Pak Boed juga?
Susah menjawabnya. Akankah jaksa penuntut menyodorkan pertanyaan, misalnya, fakta adanya delapan belas bank yang performanya mirip atau sama dengan BC, sebagaimana diterangkan oleh Ibu Sri Mulyani untuk ditanggapi oleh Pak Boed? Entahlah.
Akankah Pak Boed juga diminta keterangan, bukan sekadar mengonfirmasi, melainkan untuk memastikan derajat kesesuaian keterangan mengenai fakta dimacetkannya surat-surat berharga (SSB) oleh BI sebelum waktunya kepada Pak Boed?
Andai tak dimacetkan, tercukupikah alasan untuk mem-bailout BC? Akankah jaksa penuntut juga meminta keterangan Pak Boed soal angka bailout yang berubah-ubah? Sulit memastikannya.
Mungkinkah JPU meminta Pak Boed menjelaskan soal data, yang oleh Ibu Sri Mulyani, perempuan pintar yang diakui dunia itu merasa dikibulin BI? Susah menerkanya. Tetapi membayangkan jaksa penuntut tak menggoda Pak Boed dengan fakta adanya perubahan Peraturan BI, yang memungkinkan BC di-bailout dalam posisi CAR negatif, adalah hal yang teramat mustahil.
Namun apakah jaksa penuntut akan meminta Pak Boed menjelaskan pengikatan collateral, yang dilakukan antara BC dan BI sebelum banyak hal beres? Jujur, sulit mengabaikannya. Hanya dengan Ibu Sri yang pintar itu sajakah, atau dengan figur tata negara lain lagi, yang diajak Pak Boed berkoordinasi, sehingga melahirkan keberanian Pak Boed mengambil sikap mem-bailout BC, rasanya penting diungkapkan oleh Pak Boed.
Ceritakanlah semuanya dalam peradilan ini, bukan lantaran ini adalah peradilan tipikor, tetapi itulah cara Pak Boed memuliakan dirinya, baik sebagai mantan gubernur BI, maupun sebagai wapres. Andai semua hal di atas diajukan kepada Pak Boed, dan dijawab secara apa adanya, nilailah hal itu semata demi keadilan materiil, tidak yang lain.
Apalagi yang lain itu adalah adanya, dalam tanda petik, niat jahat dibalik bailoutitu. Lihat dan nilai pulalah kehadiran Pak Boed semata sebagai keperluan untuk memberi keadilan pada dirinya, juga kepada Budi.
Panggung mulia
Kala Pak Boed melontarkan pendapatnya dalam konferensi pers di kantornya usai diperiksa penyidik KPK, bahwa tindakan penyelamatan BC mulia, jujur, menggoda nalar. Sebagai mahaguru, profesor, yang berpembawaan kalem, dan sederhana serta tutur kata yang selalu sejuk, kata-kata itu pasti didasari pertimbangan matang. Kematangan itulah, yang boleh jadi, mengantarkan dirinya untuk tak arogan menggunakan sepenggal pengaruhnya mengaburkan peradilan ini.
Pak Boed mungkin tak ingin memuliakan dirinya, tetapi tak mungkin beliau tak ingin memuliakan peradilan ini. Tak memilih untuk bertelekonferensi saja, tetapi menghadiri sidang ini, jelas harus diapresiasi. Mengapa? Pimpinan KPK juga mempertimbangkan kemungkinan itu. Andai saja beliau mau bertelekonferensi, sulit untuk mengatakan tak akan terealisasi. Faktanya, beliau tak memilih jalan itu.
Fakta yang terungkap dalam persidangan ini, kelak dijadikan dasar konstruksi, diinterpretasi dan direkonstruksi hukumnya untuk dinyatakan dalam kasus ini. Berdasarkan rangkaian fakta itu pula, akan muncul, bila mau, konstruksi hukum baru sebagai penentu apakah Pak Budi bersalah atau tidak, atau akan muncul tersangka baru atau tidak sama sekali. Pak Boed dapat dipastikan tahu bahwa jujur adalah hal terindah dan agung. Kedua hal itu menandai tingginya derajat kemanusiaan seseorang. Jujur adalah kekuatan tak tertandingi dalam segala situasi.
Walau menakutkan, kejujuranlah yang membuat segala hal mulia dalam bentuk dan esensinya. Kejujuran dalam berhukum adalah kekuatan hukum itu sendiri. Pengadilan, seperti halnya hukum, dalam esensinya adalah kendali, kompas kehidupan. Keduanya berinduk pada kejujuran, pada kerinduan akan tindak-tanduk etis untuk sebuah kehidupan yang hebat. Peradilan, begitu juga hukum, tak lain adalah kristalisasi dari semua itu.
Menggapainya adalah rindu setiap orang beradab, dan menggapainya dengan cara beradab adalah cara terhebat dalam membuat peradilan dan hukum hidup di sanubari-sanubari yang hebat. Di negeri ini, dulu, peradilan pernah memperlakukan keadilan sebagai musuh terbesarnya. Penggunaannya sebagai alat pukul terhadap orang-orang jujur dalam berjuang, jelas merendahkan marwahnya sendiri.
Peradilan bukan tempat menghukum. Peradilan, sekali lagi, adalah sarana beradab dalam menemukan dan menyatakan hukum serta keadilan. Kehadiran Pak Boed dalam kapasitasnya sebagai wapres di pengadilan ini jelas menandai hadirnya keadilan, juga keteladanan. Kehadirannya akan menjadi catatan sejarah terhebat negeri ini.
Orang yang tak melipat-lipat hukum, padahal memiliki kemampuan melakukannya adalah orang besar. Kemuliaan pengadilan hanya bisa diwujudkan bila ditopang oleh orang besar. Selamat bersaksi Pak Wapres!
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun
(nfl)