Menolong jeritan senyap

Selasa, 06 Mei 2014 - 07:37 WIB
Menolong jeritan senyap
Menolong jeritan senyap
A A A
KEMURKAAN publik seperti kobaran api yang menyapu sarang-sarang binatang buas. Deras, kasus demi kasus kejahatan seksual terhadap anak berhamburan dari tempat-tempat yang selama ini tersembunyikan, dan langsung diringkus oleh kepolisian serta berbagai kalangan yang menaruh kepedulian.

Simpati diulurkan masyarakat kepada korban anakanak dan keluarga mereka. Bantuan disodorkan agar anak-anak itu bisa kembali ke masa penuh riang gembira. Di situ pula muncul kebutuhan agar anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak tumbuh dewasa menjadi pelaku kejahatan yang sama di kemudian hari. Sebaliknya, terhadap pelaku, masyarakat menaruh kebencian sekaligus kengerian mendalam.

Seorang kenalan saya, misalnya, bertubi-tubi mengirim pesan singkat berisi derai tangis dan kalimat-kalimat bengis. Ia menggelari pelaku dengan berbagai kutukan yang, sayangnya, tetap tidak membuatnya tenang menghadapi bayang-bayang andai tragedi yang sama dialami darah dagingnya.

Menjelmanya orang normal menjadi predator seksual terhadap anak-anak diyakini khalayak sebagai proses yang didahului dengan pengalaman serupa. Seorang anak yang telah mengalami trauma hebat akibat kebejatan seksual sehingga berstatus sebagai korban, kelak melakukan kekejian yang sama dan menyandang status baru: pelaku.

Penjelasan tersebut sebenarnya mengandung kepedihan yang amat sangat. Seorang anak, yang tidak berdaya, ditimpa kemalangan. Bagian tubuhnya yang sejatinya sakral, dijajah oleh pemangsa berusia dewasa. Si anak meronta, menahan sakit, dengan batin yang tercabik-cabik.

Sangat mungkin ia lalui itu sendirian. Tidak ada orang tempatnya berbagi cerita. Andai orang tua sudah menyimak kisah derita si anak, orang tua memintanya untuk lagi-lagi diam. Pengalaman viktimisasi berkembang menjadi sumber aib keluarga yang harus ditutup serapat-rapatnya.

Itu karena anak dianggap ”tidak lagi utuh”, dan demi masa depannya, anak harus diam. Proses hukum yang panjang pun sangat mungkin mendatangkan ketakutan tersendiri, yakni ketika anak diminta untuk mengulang-ulang cerita pilunya, lalu dihadap-hadapkan dengan manusia jalang yang telah memangsanya, dan ”diakhiri” dengan hukuman maksimal lima belas tahun penjara.

Sungguh tak sebanding dengan ingatan traumatis yang tak lekang oleh masa. Atau bisa saja si anak baru tersadar bahwa ia sesungguhnya adalah korban, justru sekian tahun sesudah peristiwa jahanam itu berlangsung.

Semasa kecil, ia memaknakan sentuhan- sentuhan itu sebagai ekspresi physical affection. Ditambah lagi dengan kata-kata manis yang diumbar oleh sosok dewasa yang terus menyambanginya. Akal sehat si anak masih belum cukup matang untuk memahami, apalagi waspada, bahwa segala bentuk ”kebaikan” itu sesungguhnya jalan untuk membiusnya. Karena si anak mengenang, begitu ia percaya pada ”si om” ataupun ”si tante” itu, saat itu pula ia dieksploitasi secara seksual.

Masa berganti. Ketika kesadaran akan viktimisasi seksual baru muncul, sosok dewasa durjana itu sudah menghilang. Ditautkan dengan proses hukum, barang bukti tak lagi ada, saksi pun entah di mana. Alhasil, tidak ada gunanya mencari pertolongan.

Lagi-lagi, hanya satu yang bisa dilakukan: menjerit dalam diam. Begitulah gambaran sebagian bocah korban kekerasan seksual. Yang ia tahu, ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya. Amarah, muak, sakit hati, malu, jijik, kesumat, sedih, yang tak henti-henti menggedor sekat antara sadar dan bawah sadarnya.

Kompensasinya, kalau bukan menyakiti diri sendiri, ia pilih untuk menistai orang lain. Siapa orang lain itu? Siapa lagi kalau bukan mereka yang juga rapuh, juga mudah dikendalikan, dan juga bisa dipaksa bungkam: anak-anak.

Bisa pula, perilaku seksual hina itu adalah cerminan betapa pelaku tidak kuasa melepas dirinya dari obsesi akan serbaseks. Terpapar pada seksualitas sejak usia sangat belia, kepala dan hatinya terjerat dalam dorongan untuk mengekspresikan hasrat seks berulang kali (sexualization of behavior).

Nyata; sebagian pelaku kejahatan seksual mengarungi waktu belasan atau bahkan puluhan tahun dengan beban yang dipikulnya sendirian. Pada titik itulah dunia semestinya mafhum, meski sama sekali tidak berarti menjustifikasi, bahwa di balik perilaku predator seksual yang kejam ternyata ada erangan rasa sakit yang tak terperikan. Dan ini bukan ironi viktimisasi alias permainan psikologis untuk menggeser pelaku ke posisi korban.

Atas dasar itu, kegagalan anak-anak korban kekerasan seksual mencari pertolongan sesungguhnya juga merupakan ketidakberhasilan kita menolong mereka secepat-cepatnya. Akibatnya, sekali lagi, semut rangrang terlanjur bermutasi menjadi tiranosaurus seksual.

Pelurusan selekasnya
Manusia tidak dihakimi atas apa yang ada di dalam kepalanya, melainkan atas perbuatannya. Ungkapan semacam itu kiranya relevan sebagai dasar pemberian bantuan kepada orang-orang dewasa yang pernah menjadi korban dan kemudian memiliki impuls untuk melakukan perbuatan serupa.

Anggaplah bahwa pemunculan dorongan untuk ”menyentuh” anak-anak bisa sekonyong-konyong menghantui bahkan bersemayam selamanya, namun pengungkapan dorongan itu ke dalam tingkah laku nyata pasti dan harus bisa dicegah. Dan memberikan kesempatan lebih luas—bahkan menetapkannya sebagai kewajiban— agar orang-orang dengan dorongan semacam itu selekasnya mencari bala bantuan, membutuhkan kesiapan pula.

Baik kesiapan berupa penanganan psikologis maupun kesiapan pendekatan kimiawi guna memodifikasi kondisi faalnya sehingga impuls-impuls seksual liarnya bisa terbendung. Prakarsa pemerintah semisal jaminan kesehatan bagi masyarakat marjinal bisa diperluas cakupannya dengan menyasar kelompok korban kekerasan seksual.

Paling mendasar, pemberian garis bawah terhadap ”minat seksual terhadap anakanak, apa pun motifnya, sebagai sesuatu yang tidak bisa dibenarkan” menuntut kesiapan untuk menerima fakta adanya orangorang dewasa dengan abnormalitas seperti itu di sekitar masyarakat sendiri.

Tanpa itu, para korban kebiadaban seksual, yang telah melalui episode traumatis, akan terus hidup terlunta-lunta ke usia dewasa, dengan potensi bahaya sebagai (calon) pelaku yang berlipat ganda. Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota World Society of Victimology
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1728 seconds (0.1#10.140)