Saksi ahli beberkan penyimpangan penanganan Bank Century
A
A
A
Sindonews.com - Saksi ahli dari Koordinator Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kerugian Negara Century I Nyoman Wara membongkar berbagai penyimpangan dan konflik kepentingan dalam pengucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Jaksa Penuntut Umum (KPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan I Nyoman Wara dalam sidang lanjutan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) IV Bidang Pengelolaan Devisa dan Moneter Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin 5 Mei 2014.
Nyoman menuturkan, hasil temuan BPK baik kerugian negara ataupun proses penetapan yang menyimpan. Kerugian negara dalam kasus ini dibagi dua. Pertama, dalam FPJP sebesar Rp689.394.000.000. Kedua, penetapan Bank Century sebagai bank gagal sehingga diselamatkan dengan PMS sebesar Rp6.762.361.000.000 dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke Bank Century dari 24 November 2008-24 Juli 2009.
Alasan pembagian kerugian negara itu karena penetapan dan pemberian FPJP diberikan oleh BI. Sementara penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang penangannya oleh LPS.
"Sehingga kerugian negara, total lost dalam kasus ini Rp7.451.755.000.000. Pendekatan kami adalah pendekatan pengeluaran. Pengeluarannya harusnya tidak terjadi. Pengeluaran ini melanggar hukum," kata Nyoman di depan majelis hakim.
Perhitungan kerugian negara ini menggunakan delapan metodologi. Lebih lanjut, tutur dia sejak awal pemasalahan Bank Century terutama terkait surat-surat berhara (SBB). Ini masuk dalam tiga pelanggaran utama yang ditemukan oleh pengawas BI.
Tetapi pelanggaran ini tidak ditindak tegas pihak BI. Harusnya lanjut dia, sejak lama Bank Century dimasukan dalam pengawasan khusus sejak lama yakni 2005. "Tapi oleh BI baru ditetapkan 2008," ujarnya.
Nyoman menuturkan, Bank Century mengajukan fasilitas repo aset. Tetapi oleh BI diberikan FPJP. Dia melanjutkan, pada 31 Oktober 2008 setelah Bank Century mengajukan surat, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi Gubernur VI Bidang Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah membuat disposisi kepada Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB1).
Dalam disposisi itu disebutkan, sesuai pesan Gubernur BI Boediono tertanggal 31 Oktober 2008 masalah Bank Century harus dibantu dan tidak ada bank gagal untuk saat ini. "Karena bila hal ini terjadi akan memperburuk perbankan dan perekonomian kita," tutur Nyoman menirukan isi disposisi.
Untuk memperoleh FPJP, Dewan Gubernur BI rela melakukan sejumlah Rapat Dewan Gubernur. Bahkan pada 14 November 2008 Dewan Gubernur rela mengubah Peraturan BI terkait capital adequacy ratio (CAR) dari 8% hanya menjadi positif dan agunan diubah menjaid positif.
Padahal BI sudah tahu agunan, SSB, dan kredit Bank Century bermasalah dan fiktif. PBI yang diubah yakni PBI Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008 ke PBI Nomor
10/30/PBI/2008 tertanggal 14 November 2008.BI sejak awal tidak melihat Bank Centuty kolaps karena faktor internal atau ekseternal.
Menurut Tim analisis yang diminta Dewan Gubernur kepada Direktur DPB 1 BI Halim Alamsyah bukan soal SE."Dari tidak tonjolkan sistemik oleh Dewan Gubernur diminta
menonjolkan sistemik. Yang pada akhirnya RDGI menetapkan Bank Century ditenggarai sebagai bank gagal yang ditenggarai berdampak sistemik pada 20 November 2008," ucapnya.
Dalam perhitungan ini BPK tidak melihat kebijakannya, tapi bagaimna kebijakan ini diambil. Secara jelas, ada penyimpangan dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal. Penetapan ditenggarai berdampak oleh BI, terus diputus berdampak sistemik oleh KSSK sehingga penyelamatannya oleh LPS.
Yang diuntungkan dari pemberian FPJP dan PMS Bank Century ini tentu untuk menutupi kerugian-kerugian yang terjadi di Century. Sehingga pihak yang diuntungkan di antara lain pemegang saham kelompok Hesham Al Waraaq dan Rafat Ali Rizvi sebesar Rp3,1 triliun dan manajemen oleh Robert Tantutal dkk sebesar Rp2,7 triliun.
"Mereka diuntungkan Rp5,8 triliun. Kerugian di Bank Century itu dimaksudkan untuk menutup sehingga modalnya positif," katanya.
Jaksa Penuntut Umum (KPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan I Nyoman Wara dalam sidang lanjutan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) IV Bidang Pengelolaan Devisa dan Moneter Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin 5 Mei 2014.
Nyoman menuturkan, hasil temuan BPK baik kerugian negara ataupun proses penetapan yang menyimpan. Kerugian negara dalam kasus ini dibagi dua. Pertama, dalam FPJP sebesar Rp689.394.000.000. Kedua, penetapan Bank Century sebagai bank gagal sehingga diselamatkan dengan PMS sebesar Rp6.762.361.000.000 dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke Bank Century dari 24 November 2008-24 Juli 2009.
Alasan pembagian kerugian negara itu karena penetapan dan pemberian FPJP diberikan oleh BI. Sementara penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang penangannya oleh LPS.
"Sehingga kerugian negara, total lost dalam kasus ini Rp7.451.755.000.000. Pendekatan kami adalah pendekatan pengeluaran. Pengeluarannya harusnya tidak terjadi. Pengeluaran ini melanggar hukum," kata Nyoman di depan majelis hakim.
Perhitungan kerugian negara ini menggunakan delapan metodologi. Lebih lanjut, tutur dia sejak awal pemasalahan Bank Century terutama terkait surat-surat berhara (SBB). Ini masuk dalam tiga pelanggaran utama yang ditemukan oleh pengawas BI.
Tetapi pelanggaran ini tidak ditindak tegas pihak BI. Harusnya lanjut dia, sejak lama Bank Century dimasukan dalam pengawasan khusus sejak lama yakni 2005. "Tapi oleh BI baru ditetapkan 2008," ujarnya.
Nyoman menuturkan, Bank Century mengajukan fasilitas repo aset. Tetapi oleh BI diberikan FPJP. Dia melanjutkan, pada 31 Oktober 2008 setelah Bank Century mengajukan surat, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi Gubernur VI Bidang Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah membuat disposisi kepada Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB1).
Dalam disposisi itu disebutkan, sesuai pesan Gubernur BI Boediono tertanggal 31 Oktober 2008 masalah Bank Century harus dibantu dan tidak ada bank gagal untuk saat ini. "Karena bila hal ini terjadi akan memperburuk perbankan dan perekonomian kita," tutur Nyoman menirukan isi disposisi.
Untuk memperoleh FPJP, Dewan Gubernur BI rela melakukan sejumlah Rapat Dewan Gubernur. Bahkan pada 14 November 2008 Dewan Gubernur rela mengubah Peraturan BI terkait capital adequacy ratio (CAR) dari 8% hanya menjadi positif dan agunan diubah menjaid positif.
Padahal BI sudah tahu agunan, SSB, dan kredit Bank Century bermasalah dan fiktif. PBI yang diubah yakni PBI Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008 ke PBI Nomor
10/30/PBI/2008 tertanggal 14 November 2008.BI sejak awal tidak melihat Bank Centuty kolaps karena faktor internal atau ekseternal.
Menurut Tim analisis yang diminta Dewan Gubernur kepada Direktur DPB 1 BI Halim Alamsyah bukan soal SE."Dari tidak tonjolkan sistemik oleh Dewan Gubernur diminta
menonjolkan sistemik. Yang pada akhirnya RDGI menetapkan Bank Century ditenggarai sebagai bank gagal yang ditenggarai berdampak sistemik pada 20 November 2008," ucapnya.
Dalam perhitungan ini BPK tidak melihat kebijakannya, tapi bagaimna kebijakan ini diambil. Secara jelas, ada penyimpangan dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal. Penetapan ditenggarai berdampak oleh BI, terus diputus berdampak sistemik oleh KSSK sehingga penyelamatannya oleh LPS.
Yang diuntungkan dari pemberian FPJP dan PMS Bank Century ini tentu untuk menutupi kerugian-kerugian yang terjadi di Century. Sehingga pihak yang diuntungkan di antara lain pemegang saham kelompok Hesham Al Waraaq dan Rafat Ali Rizvi sebesar Rp3,1 triliun dan manajemen oleh Robert Tantutal dkk sebesar Rp2,7 triliun.
"Mereka diuntungkan Rp5,8 triliun. Kerugian di Bank Century itu dimaksudkan untuk menutup sehingga modalnya positif," katanya.
(dam)