Indonesia itu besar
A
A
A
"INDONESIA itu besar.” Demikian salah satu penggalan sambutan seorang chef Indonesia yang bermukim di Malaysia saat menerima penghargaan dari Raja Agong dan Perdana Menteri Malaysia karena mendukung kesuksesan acara kunjungan kenegaraan Presiden Amerika Serikat Barack Obama di negeri jiran tersebut.
Dalam sebuah artikel yang dia tulis di sebuah forum diskusi militer, chef tersebut mengaku mendapat penghargaan karena membantu persembahan hidangan kuliner Indonesia dengan desain spektakuler, selevel dengan kuliner Prancis dan Italia. Dia juga mengaku menyampaikan pernyataan ”Indonesia itu besar” karena teringat apa yang disampaikan gurunya saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Benarkah Indonesia itu besar seperti disampaikan sang chef tersebut? Inilah yang harus direnungkan dan ditelaah secara mendalam. Sekilas, sangat sulit mencari pembenaran premis tersebut, bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Sebaliknya, mementahkan premis itu jauh lebih mudah. Skeptisisme tentang kebesaran Indonesia dengan mudah ditangkis dengan jargon negatif seperti ”utang”, ”kemiskinan”, ”pengangguran”, ”kebodohan”, ”ketergantungan”, ”ketertinggalan”.
Lantas, apakah keyakinan bahwa Indonesia itu besar terlalu berlebihan atau bahkan menjurus pada semangat chauivinisme? Kalau direnungkan dan ditelaah, ternyata Indonesia itu besar juga tidak salah. Beberapa fakta yang tidak bisa dinafikan untuk mendukung pernyataan tersebut di antaranya Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau; Indonesia adalah negara paling beragam dengan 316 kelompok etnis yang berbicara dengan 670 bahasa.
Fakta-fakta di atas hanya segelintir dari banyak ceceran fakta lain yang mendukung premis Indonesia itu besar mulai dari gunung, utang, laut seperti 75 persen gunung teraktif di dunia ada di negeri ini; keberadaan hutan tropis yang merupakan salah satu terbesar di dunia; kepemilikan kekayaan 28.000 spesies tanaman, termasuk di dalamnya 2.500 jenis anggrek dan 6.000 jenis tanaman obat hingga fakta bahwa negeri kita menyumbang 25 persen jenis koral dan karang di dunia dan menyimpan 3.500 dari 4.500 spesies ikan di seluruh dunia.
Dari genetika, Indonesia mendapat warisan keberasan karya kebendaan dari nenek moyang dalam bentuk Candi Borobudur, situs Gunung Padang, mahakarya batik dan ukiran, seni tari dan gamelan, dan lainnya. Indonesia juga mewarisi sejarah tentang kebesaran negara Sriwijaya dan Majapahit; mewarisi mental besar sebagai wilayah yang tidak pernah bisa ditaklukkan imperium Mongolia selain Jepang; dan mewarisi kebesaran pelaut-pelaut Nusantara.
Lantas mengapa fakta-fakta Indonesia besar tersebut tertutup hanya dengan segelintir pesimisme? Tidak bisa dimungkiri, penjajahan Barat telah membentuk mental bangsa ini bermental inlander: tidak dimilikinya rasa percaya diri, memandang bangsa lain jauh lebih hebat, tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar.
Celakanya, karena mental inlander tersebut bangsa ini sering kali berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur diri sendiri. Mental inferior ini pun terus bersemayam karena pemimpin dan rezim pascakemerdekaan gagal menyadarkan bangsa ini akan kebesaran Indonesia.
Karena itu, berdasarkan penelaahan dan perenungan itu, negeri ini sejatinya membutuhkan sosok pemimpin yang mampu membangunkan kesadaran segenap masyarakat bahwa Indonesia itu besar dan menggerakkan bangsa ini memanfaatkan segala potensinya untuk menjadikan Indonesia besar. Premis Indonesia itu besar hanya mampu dijawab oleh pemimpin yang mampu merekonstruksi mental berpikir bangsa dari kungkungan mental inlander.
Dalam sebuah artikel yang dia tulis di sebuah forum diskusi militer, chef tersebut mengaku mendapat penghargaan karena membantu persembahan hidangan kuliner Indonesia dengan desain spektakuler, selevel dengan kuliner Prancis dan Italia. Dia juga mengaku menyampaikan pernyataan ”Indonesia itu besar” karena teringat apa yang disampaikan gurunya saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Benarkah Indonesia itu besar seperti disampaikan sang chef tersebut? Inilah yang harus direnungkan dan ditelaah secara mendalam. Sekilas, sangat sulit mencari pembenaran premis tersebut, bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Sebaliknya, mementahkan premis itu jauh lebih mudah. Skeptisisme tentang kebesaran Indonesia dengan mudah ditangkis dengan jargon negatif seperti ”utang”, ”kemiskinan”, ”pengangguran”, ”kebodohan”, ”ketergantungan”, ”ketertinggalan”.
Lantas, apakah keyakinan bahwa Indonesia itu besar terlalu berlebihan atau bahkan menjurus pada semangat chauivinisme? Kalau direnungkan dan ditelaah, ternyata Indonesia itu besar juga tidak salah. Beberapa fakta yang tidak bisa dinafikan untuk mendukung pernyataan tersebut di antaranya Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau; Indonesia adalah negara paling beragam dengan 316 kelompok etnis yang berbicara dengan 670 bahasa.
Fakta-fakta di atas hanya segelintir dari banyak ceceran fakta lain yang mendukung premis Indonesia itu besar mulai dari gunung, utang, laut seperti 75 persen gunung teraktif di dunia ada di negeri ini; keberadaan hutan tropis yang merupakan salah satu terbesar di dunia; kepemilikan kekayaan 28.000 spesies tanaman, termasuk di dalamnya 2.500 jenis anggrek dan 6.000 jenis tanaman obat hingga fakta bahwa negeri kita menyumbang 25 persen jenis koral dan karang di dunia dan menyimpan 3.500 dari 4.500 spesies ikan di seluruh dunia.
Dari genetika, Indonesia mendapat warisan keberasan karya kebendaan dari nenek moyang dalam bentuk Candi Borobudur, situs Gunung Padang, mahakarya batik dan ukiran, seni tari dan gamelan, dan lainnya. Indonesia juga mewarisi sejarah tentang kebesaran negara Sriwijaya dan Majapahit; mewarisi mental besar sebagai wilayah yang tidak pernah bisa ditaklukkan imperium Mongolia selain Jepang; dan mewarisi kebesaran pelaut-pelaut Nusantara.
Lantas mengapa fakta-fakta Indonesia besar tersebut tertutup hanya dengan segelintir pesimisme? Tidak bisa dimungkiri, penjajahan Barat telah membentuk mental bangsa ini bermental inlander: tidak dimilikinya rasa percaya diri, memandang bangsa lain jauh lebih hebat, tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar.
Celakanya, karena mental inlander tersebut bangsa ini sering kali berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur diri sendiri. Mental inferior ini pun terus bersemayam karena pemimpin dan rezim pascakemerdekaan gagal menyadarkan bangsa ini akan kebesaran Indonesia.
Karena itu, berdasarkan penelaahan dan perenungan itu, negeri ini sejatinya membutuhkan sosok pemimpin yang mampu membangunkan kesadaran segenap masyarakat bahwa Indonesia itu besar dan menggerakkan bangsa ini memanfaatkan segala potensinya untuk menjadikan Indonesia besar. Premis Indonesia itu besar hanya mampu dijawab oleh pemimpin yang mampu merekonstruksi mental berpikir bangsa dari kungkungan mental inlander.
(hyk)