Demi tegaknya demokrasi
A
A
A
DALAM Pemilu 2014 ini, semakin terasa kerinduan rakyat terhadap sosok (para) pemimpin sejati, yaitu dia yang dicintai dan dipercaya luas. Tindakannya terasa dipenuhi niat baik untuk kemaslahatan rakyat. Ketegasannya, menyiratkan kecintaan pada keadilan.
Keberpihakannya, teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua. Perilakunya tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih dari tindakan koruptif dan manipulatif, memiliki sense of crisis, dan menunjukkan keprihatinan atas berbagai beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat, terutama rakyat miskin.
Harus diakui bahwa saat ini pemimpin sejati belum banyak bermunculan. Mereka seolah ”barang langka” yang perlu diperbanyak dalam sebuah sistem demokratis yang benar-benar sejati. Dalam gegap gempita kampanye Pemilu 2014, saya teringat buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002).
Dalam bab tentang demokrasi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor.
Seorang gubernur, menteri, atau presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal belasan mobil dan motor polisi dengan sirene meraung-raung diyakini mengurangi suara untuk terpilih kembali, apalagi jika harus menutup jalan-jalan vital karena alasan pribadi. Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka.
Jelas, jauh berbeda dengan ”istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, makin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan ”perilaku aneh” elite penguasanya. Hal yang juga lumrah di negeri ini.
Betapa tidak. Ketika cerita busung lapar masih menyisakan keprihatinan mendalam dan seruan penghematan dari pemerintah, mencuat berita keinginan (mayoritas) anggota parlemen menaikkan penghasilan dari gaji yang sudah puluhan juta rupiah.
Lalu, ”studi banding” ke luar negeri berbiaya miliaran rupiah. Parkiran gedung parlemen pun sering disindir bagaikan show room mobil mewah. Dan seakan ”kebakaran jenggot”, anggota DPR pun balik menuding eksekutif. Konon, beda dengan negara tetangga yang lebih kaya dan hanya membawa lima staf, rombongan presiden ketika ke luar negeri bisa berjumlah 75 orang. Alangkah borosnya.
Tiga pilar demokrasi
Tampaknya, dari tiga pilar Revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi kecenderungan berikut. Ketika ”kebebasan” politik relatif merebak secara global, termasuk di negeri ini, padanannya berupa ”kesetaraan atau pemerataan” dan ”persaudaraan atau solidaritas” nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warga miskin dianggap ”jalan sesat” Eropa.
Dalam paradigma neoliberal yang mendominasi praktik ekonomi global—termasuk di negeri ini, pemerataan dianggap bukanlah alat ampuh dalam melawan kemiskinan, bahkan hal tersebut dianggap memperparah keadaan. Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible.
Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya bersifat produktif, sebaliknya hanya akan ”dikonsumsi” kaum papa. Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi.
Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah para ”elite” (World Bank Report, Attacking Poverty, 2000:56f). Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, E+Z, 2005: 6), semua itu secara teoretis rapuh, secara empiris salah, danbila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis.
Masalahnya, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poor mungkin realistis.
Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignorance. Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada ”investasi produktif” adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak.
Dulu banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu, berlaku ”lingkaran setan”. Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.
Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, ”kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan”.
Kemiskinan massal, menurutnya, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, melainkan juga penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications, 2000). Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas Pro-Growth Poverty Reduction.
Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, tetapi investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasil, Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton. Pada tataran makro ekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan.
Pemerataan, ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan dan persaudaraan antaranak bangsa. Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang berarti solidaritas belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak akan dilupakan, atau bahkan dihujat oleh rakyatnya sendiri.
IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education)
Keberpihakannya, teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua. Perilakunya tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih dari tindakan koruptif dan manipulatif, memiliki sense of crisis, dan menunjukkan keprihatinan atas berbagai beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat, terutama rakyat miskin.
Harus diakui bahwa saat ini pemimpin sejati belum banyak bermunculan. Mereka seolah ”barang langka” yang perlu diperbanyak dalam sebuah sistem demokratis yang benar-benar sejati. Dalam gegap gempita kampanye Pemilu 2014, saya teringat buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002).
Dalam bab tentang demokrasi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor.
Seorang gubernur, menteri, atau presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal belasan mobil dan motor polisi dengan sirene meraung-raung diyakini mengurangi suara untuk terpilih kembali, apalagi jika harus menutup jalan-jalan vital karena alasan pribadi. Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka.
Jelas, jauh berbeda dengan ”istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, makin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan ”perilaku aneh” elite penguasanya. Hal yang juga lumrah di negeri ini.
Betapa tidak. Ketika cerita busung lapar masih menyisakan keprihatinan mendalam dan seruan penghematan dari pemerintah, mencuat berita keinginan (mayoritas) anggota parlemen menaikkan penghasilan dari gaji yang sudah puluhan juta rupiah.
Lalu, ”studi banding” ke luar negeri berbiaya miliaran rupiah. Parkiran gedung parlemen pun sering disindir bagaikan show room mobil mewah. Dan seakan ”kebakaran jenggot”, anggota DPR pun balik menuding eksekutif. Konon, beda dengan negara tetangga yang lebih kaya dan hanya membawa lima staf, rombongan presiden ketika ke luar negeri bisa berjumlah 75 orang. Alangkah borosnya.
Tiga pilar demokrasi
Tampaknya, dari tiga pilar Revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi kecenderungan berikut. Ketika ”kebebasan” politik relatif merebak secara global, termasuk di negeri ini, padanannya berupa ”kesetaraan atau pemerataan” dan ”persaudaraan atau solidaritas” nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warga miskin dianggap ”jalan sesat” Eropa.
Dalam paradigma neoliberal yang mendominasi praktik ekonomi global—termasuk di negeri ini, pemerataan dianggap bukanlah alat ampuh dalam melawan kemiskinan, bahkan hal tersebut dianggap memperparah keadaan. Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible.
Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya bersifat produktif, sebaliknya hanya akan ”dikonsumsi” kaum papa. Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi.
Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah para ”elite” (World Bank Report, Attacking Poverty, 2000:56f). Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, E+Z, 2005: 6), semua itu secara teoretis rapuh, secara empiris salah, danbila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis.
Masalahnya, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poor mungkin realistis.
Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignorance. Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada ”investasi produktif” adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak.
Dulu banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu, berlaku ”lingkaran setan”. Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.
Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, ”kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan”.
Kemiskinan massal, menurutnya, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, melainkan juga penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications, 2000). Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas Pro-Growth Poverty Reduction.
Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, tetapi investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasil, Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton. Pada tataran makro ekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan.
Pemerataan, ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan dan persaudaraan antaranak bangsa. Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang berarti solidaritas belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak akan dilupakan, atau bahkan dihujat oleh rakyatnya sendiri.
IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education)
(nfl)