Memperbaiki tata kelola pemilu
A
A
A
PESTA demokrasi telah usai minggu lalu. Hasil hitung cepat beberapa lembaga menyampaikan kesimpulan yang sama bahwa lima terbesar partai peraih suara terbanyak adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKB.
Partai-partai lain memiliki perolehan suara yang relatif sama kuat dan meninggalkan dua partai yang tidak lolos ambang batas parlemen, yaitu PKPI dan PBB. Mereka yang lolos masuk parlemen kini mulai menjajaki kerja sama untuk menyambut pemilihan presiden yang akan diselenggarakan tiga bulan mendatang. Kesibukan itu mungkin membuat para petinggi partai politik alpa untuk menilai bagaimana kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif.
Hingga saat ini tampaknyabelum ada satu partai yang menilai apakah penyelenggaraan pemilu tahun ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan tahun lalu. Disisi lain, media massa melaporkan banyak kecurangan dalam praktik pemilihan di tataran akar rumput. Bentuk kecurangannya melalui beberapa modus operandi dari yang halus hingga yang sangat terbuka.
Beberapa TPS di wilayah Sulawesi bahkan dilaporkan membiarkan masyarakat dari segala lapisan umur untuk mencoblos kertas suara tanpa ada yang berusaha menghalanginya. Beberapa petugas KPPS juga ditemukan di sebuah hotel bersekongkol untuk mengubah hasil penghitungan beberapa TPS yang ada di bawah wewenangnya.
Fakta-fakta tersebut membuat ajakan antigolput yang dikampanyekan beberapa hari sebelum hari pencoblosan menjadi kehilangan daya tariknya dan memberikan alasan lebih bagi warga negara untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik. Tentu saja kejadian-kejadian tersebut tidak lantas berarti bahwa seluruh calon legislator yang lolos ke parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah melakukan kecurangan yang sama.
Pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian tersebut adalah masih lemahnya tata kelola pemilihan umum di Indonesia yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemerintah, aparat keamanan, termasuk partai-partai politik yang terlibat. Tata kelola pemilihan umum kita mungkin relatif baik di tingkat nasional atau provinsi di pulaupulau besar, tetapi ternyata sangat lemah di tingkat bawah dan yang jauh dari pusat kekuasaan.
Tata kelola pemilihan umum kita ketinggalan jauh dibandingkan dengan India yang memiliki penduduk 1 miliar orang. India telah memberlakukan sebuah tata kelola pemilihan yang modern dengan melibatkan electoral voting machines (EVM) atau perangkat elektronik untuk menghemat biaya pencetakan kertas dan keterandalan pilihan. Penggunaan alat ini tidak serta-merta dilakukan seluruh daerah, tetapi dilakukan bertahap mulai tahun 1999 hingga 2004.
Dengan menggunakan alat tersebut waktu yang dibutuhkan untuk menghitung suara jauh lebih sedikit (2–3 jam) dibandingkan sistem kertas yang membutuhkan 30 jam. Pemerintah akhirnya juga dapat mengumumkan hasil pemilu dengan jauh lebih cepat. Selain India, Venezuela adalah salah satu negara yang dianggap menjalankan tata kelola pemilihan umum yang paling maju.
Mereka juga menggunakan sistem perangkat elektronik berteknologi maju yang dirancang untuk melindungi pemilih dari penipuan dan gangguan sekaligus memastikan keakuratan penghitungan suara. Akurasi dan integritas suara pemilih dijamin sejak pemilih melangkah ke tempat pemungutan suara hingga ke titik di mana penghitungan akhir terungkap.
Negara menyediakan semacam tablet yang diletakkan di bilik pemungutan suara dan pemilih memutuskan pilihannya dengan menyentuh layar pada pilihan yang tersedia dan mengonfirmasi pilihan mereka. Setelah konfirmasi, suara elektronik dienkripsi dan secara acak disimpan dalam memori mesin. Pemilih dapat mengaudit suara mereka sendiri dengan memeriksa tanda terima yang dicetak.
Tanda terima itu kemudian mereka masukkan ke dalam kotak penyimpanan suara secara fisik. Jadi data tersimpan secara elektronik dan manual. Di akhir hari pemilihan, setiap mesin voting akan menghitung dan mencetak penghitungan resmi yang disebut precint count. Mesin mentransmisikan salinan elektronik dari sejumlah precint count ke server utama di KPU Venezuela tempat suara total secara keseluruhan dihitung.
Untuk memastikan hasil suara terjaga, dengan persetujuan para pihak yang berkompetisi, dengan kesepakatan bersama antarpesaing, 52% kotak suara dihitung dan dipilih secara acak dan terbuka. Penghitungan manual dibandingkan dengan precint count yang tersedia. Langkah ini dilakukan agar tidak ada manipulasi suara di tempat pemungutan suara.
Kita perlu berani memikirkan bagaimana menghasilkan terobosan seperti yang dilakukan negara-negara seperti India dan Venezuela yang dulu juga memiliki persoalan yang sama seperti kita saat ini. Kita pernah menyelenggarakan penghitungan real-time di mana publik dapat melihat dari jam ke jam penambahan suara partai, tetapi cara ini bukan menjadi sandaran utama karena ketakutan akan cyber crime yang dapat merusak sistem informasi seperti yang pernah terjadi.
Sayangnya setelah kejadian tersebut, pemerintah tampaknya takut mengambil inisiatif terobosan untuk membuat pemilu lebih berkualitas dan cenderung kembali ke pola lama yang tidak efisien dan terbuka untuk terjadinya beberapa penyimpangan.
Mengingat bahwa cita-cita bangsa ketika menggulingkan pemerintahan otoriter Orde Baru adalah untuk meninggalkan cara-cara tidak jujur dan manipulatif dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan, selayaknya kita tidak tanggungtanggung dalam menjamin pemilihan umum yang akuntabel dan berkualitas.
Mustahil kita berkutat hanya pada sisi hilir dari pemilihan umum, yakni soal siapa duduk di parlemen dan mencalonkan presiden, jika sisi hulu dari penyelenggaraan pemilihan umum justru terbengkalai dan berantakan.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Partai-partai lain memiliki perolehan suara yang relatif sama kuat dan meninggalkan dua partai yang tidak lolos ambang batas parlemen, yaitu PKPI dan PBB. Mereka yang lolos masuk parlemen kini mulai menjajaki kerja sama untuk menyambut pemilihan presiden yang akan diselenggarakan tiga bulan mendatang. Kesibukan itu mungkin membuat para petinggi partai politik alpa untuk menilai bagaimana kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif.
Hingga saat ini tampaknyabelum ada satu partai yang menilai apakah penyelenggaraan pemilu tahun ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan tahun lalu. Disisi lain, media massa melaporkan banyak kecurangan dalam praktik pemilihan di tataran akar rumput. Bentuk kecurangannya melalui beberapa modus operandi dari yang halus hingga yang sangat terbuka.
Beberapa TPS di wilayah Sulawesi bahkan dilaporkan membiarkan masyarakat dari segala lapisan umur untuk mencoblos kertas suara tanpa ada yang berusaha menghalanginya. Beberapa petugas KPPS juga ditemukan di sebuah hotel bersekongkol untuk mengubah hasil penghitungan beberapa TPS yang ada di bawah wewenangnya.
Fakta-fakta tersebut membuat ajakan antigolput yang dikampanyekan beberapa hari sebelum hari pencoblosan menjadi kehilangan daya tariknya dan memberikan alasan lebih bagi warga negara untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik. Tentu saja kejadian-kejadian tersebut tidak lantas berarti bahwa seluruh calon legislator yang lolos ke parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah melakukan kecurangan yang sama.
Pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian tersebut adalah masih lemahnya tata kelola pemilihan umum di Indonesia yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemerintah, aparat keamanan, termasuk partai-partai politik yang terlibat. Tata kelola pemilihan umum kita mungkin relatif baik di tingkat nasional atau provinsi di pulaupulau besar, tetapi ternyata sangat lemah di tingkat bawah dan yang jauh dari pusat kekuasaan.
Tata kelola pemilihan umum kita ketinggalan jauh dibandingkan dengan India yang memiliki penduduk 1 miliar orang. India telah memberlakukan sebuah tata kelola pemilihan yang modern dengan melibatkan electoral voting machines (EVM) atau perangkat elektronik untuk menghemat biaya pencetakan kertas dan keterandalan pilihan. Penggunaan alat ini tidak serta-merta dilakukan seluruh daerah, tetapi dilakukan bertahap mulai tahun 1999 hingga 2004.
Dengan menggunakan alat tersebut waktu yang dibutuhkan untuk menghitung suara jauh lebih sedikit (2–3 jam) dibandingkan sistem kertas yang membutuhkan 30 jam. Pemerintah akhirnya juga dapat mengumumkan hasil pemilu dengan jauh lebih cepat. Selain India, Venezuela adalah salah satu negara yang dianggap menjalankan tata kelola pemilihan umum yang paling maju.
Mereka juga menggunakan sistem perangkat elektronik berteknologi maju yang dirancang untuk melindungi pemilih dari penipuan dan gangguan sekaligus memastikan keakuratan penghitungan suara. Akurasi dan integritas suara pemilih dijamin sejak pemilih melangkah ke tempat pemungutan suara hingga ke titik di mana penghitungan akhir terungkap.
Negara menyediakan semacam tablet yang diletakkan di bilik pemungutan suara dan pemilih memutuskan pilihannya dengan menyentuh layar pada pilihan yang tersedia dan mengonfirmasi pilihan mereka. Setelah konfirmasi, suara elektronik dienkripsi dan secara acak disimpan dalam memori mesin. Pemilih dapat mengaudit suara mereka sendiri dengan memeriksa tanda terima yang dicetak.
Tanda terima itu kemudian mereka masukkan ke dalam kotak penyimpanan suara secara fisik. Jadi data tersimpan secara elektronik dan manual. Di akhir hari pemilihan, setiap mesin voting akan menghitung dan mencetak penghitungan resmi yang disebut precint count. Mesin mentransmisikan salinan elektronik dari sejumlah precint count ke server utama di KPU Venezuela tempat suara total secara keseluruhan dihitung.
Untuk memastikan hasil suara terjaga, dengan persetujuan para pihak yang berkompetisi, dengan kesepakatan bersama antarpesaing, 52% kotak suara dihitung dan dipilih secara acak dan terbuka. Penghitungan manual dibandingkan dengan precint count yang tersedia. Langkah ini dilakukan agar tidak ada manipulasi suara di tempat pemungutan suara.
Kita perlu berani memikirkan bagaimana menghasilkan terobosan seperti yang dilakukan negara-negara seperti India dan Venezuela yang dulu juga memiliki persoalan yang sama seperti kita saat ini. Kita pernah menyelenggarakan penghitungan real-time di mana publik dapat melihat dari jam ke jam penambahan suara partai, tetapi cara ini bukan menjadi sandaran utama karena ketakutan akan cyber crime yang dapat merusak sistem informasi seperti yang pernah terjadi.
Sayangnya setelah kejadian tersebut, pemerintah tampaknya takut mengambil inisiatif terobosan untuk membuat pemilu lebih berkualitas dan cenderung kembali ke pola lama yang tidak efisien dan terbuka untuk terjadinya beberapa penyimpangan.
Mengingat bahwa cita-cita bangsa ketika menggulingkan pemerintahan otoriter Orde Baru adalah untuk meninggalkan cara-cara tidak jujur dan manipulatif dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan, selayaknya kita tidak tanggungtanggung dalam menjamin pemilihan umum yang akuntabel dan berkualitas.
Mustahil kita berkutat hanya pada sisi hilir dari pemilihan umum, yakni soal siapa duduk di parlemen dan mencalonkan presiden, jika sisi hulu dari penyelenggaraan pemilihan umum justru terbengkalai dan berantakan.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)