UN = mutu pendidikan?

Rabu, 16 April 2014 - 06:36 WIB
UN = mutu pendidikan?
UN = mutu pendidikan?
A A A
BAGI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ujian nasional (UN) selain sebagai syarat kelulusan siswa, juga digunakan sebagai pemetaan mutu sekolah, seleksi ke jenjang yang lebih tinggi, dan untuk pemberitaan bantuan atau afirmasi ke daerah.

Dalam hal pemetaan mutu sekolah, Kemendikbud memiliki standar angka tertentu; dan jika hasil UN di suatu daerah ataupun nasional di atas dari standar yang telah ditentukan, berarti mutu dari pendidikan tersebut bisa dikatakan bagus dan tentu sebaliknya. Maka dari sekolah hingga pemerintah daerah, terus berusaha agar memenuhi standar atau bahkan melebihi agar dikatakan pendidikan di sekolah dan daerah yang bersangkutan bagus.

Menyandang predikat berpendidikan mutu tentu menjadi dambaan karena akan mengangkat nama sekolah dan daerahnya. Menyandang predikat tersebut dianggap sebagai prestasi yang patut dibanggakan. Apalagi jika sekolah atau daerah tertentu bisa mengalahkan sebuah sekolah atau daerah yang secara cakupan lebih besar. Misalnya, sebuah daerah kabupaten bisa mengalahkan kota ataupun ibu kota provinsi.

Atau bisa juga sebuah sekolah di daerah terpencil bisa mengungguli standar dari sebuah sekolah di kota besar. Berusaha agar mutu sekolah menjadi baik dengan memenuhi standar atau bahkan melebihi standar tentu bisa memicu sekolah atau daerah untuk mengeluarkan program-program yang baik. Namun di sisi lain, ada sekolah atau daerah yang menghalalkan cara-cara curang untuk mencapai standar tersebut.

Cara pintas dengan kecurangan memang acak kali terdengar namun terus dibantah. Modus pihak sekolah sengaja memberikan bocoran kepada siswanya pada UN agar mendapatkan rata-rata nilai yang baik sering terdengar. Kepala daerah pun bisa memberikan target kepada kepala sekolah agar siswa-siswa di daerahnya menghasilkan standar nilai yang bagus. Fenomena kecurangan ini yang sering muncul di setiap gelaran UN dilakukan.

Tentu cara Kemendikbud ini mempunyai misi yang baik, namun di sisi lain justru memunculkan kecurangan-kecurangan yang justru mencoreng dunia pendidikan di Tanah Air. Meski berbagai upaya dilakukan Kemendikbud agar kecurangan ini bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan, toh hingga saat ini masih saja terjadi.

Selain itu, UN sebagai penentu kelulusan justru menjadi beban bagi siswa karena seolah tiga tahun mengenyam pendidikan di sekolah menengah ditentukan hanya tiga hari. Tekanan dari pihak sekolah kepada siswa juga memberikan andil, seolah UN sebagai beban hidup yang berat bagi siswa. Hal ini bisa dilihat ritual-ritual menjelang UN yang menunjukkan bahwa UN ini sebagai sesuatu beban yang besar dalam hidup siswa.

Ritual istigasah, sungkem kepada guru dan orang tua murid, ataupun ritual-ritual yang menunjukkan bahwa seolah hidup mati siswa ada pada hasil UN. Jika menilai mutu pendidikan dari hasil UN, pemerintah hanya melihat dari sisi kuantitas. Artinya, standar pendidikan sekolah atau daerah hanya ditentukan dari tiga hari pelaksanaan UN.

Lalu, bagaimana dengan tiga tahun proses belajar-mengajar yang dilakukan pihak sekolah? Kurikulum, sistem pengajaran, kualitas pengajar, fasilitas pendidikan, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, atau sistem pendidikan yang telah ditata seolah menjadi tidak berarti. Jika hanya mengacu pada cara-cara tersebut, mutu pendidikan di Indonesia hanya didasarkan pada hard skill siswa, bukan pada soft skill.

Padahal, pendidikan yang berdasarkan pada soft skill lebih memberi karakter kuat pada siswa. Hasilnya, sistem pendidikan dengan cara-cara tersebut hanya menghasilkan orang pintar, namun tidak berkarakter kuat. Mereka hanya pintar, namun tidak tahu bagaimana menggunakan kepintaran mereka pada tempat dan waktu yang terus berubah. Kita semua tahu, Kemendikbud menyadari hal ini dan mampu mengubah cara-cara yang hanya melihat mutu pendidikan dari sisi kuantitas.

Seharusnya mutu pendidikan bisa dilihat lebih luas pada bagaimana proses belajar-mengajar dalam sekian rentan waktu bukan hanya dalam tiga hari. Tidak mustahil, cara ini maka UN bukan lagi menjadi beban hidup namun sebagai sebuah motivasi.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3609 seconds (0.1#10.140)