Raskin dibalut masalah

Selasa, 15 April 2014 - 06:20 WIB
Raskin dibalut masalah
Raskin dibalut masalah
A A A
ANDAIKAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ”mengutak-atik” program beras untuk rakyat miskin (raskin), barangkali masyarakat tidak akan pernah menyangka betapa banyak jejak busuk di balik program mulia yang membantu masyarakat miskin untuk kelangsungan hidupnya.

Setelah KPK membeberkan sejumlah kelemahan di balik program yang diluncurkan sejak 1998 itu, pemerintah mengamini bahkan secara terbuka mengakui selama ini tak pernah ada evaluasi secara menyeluruh, apakah program tersebut sudah berjalan pada rel yang diinginkan. Padahal, dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digelontorkan untuk program tersebut tidak sedikit dan setiap tahun jumlahnya meningkat.

Anggaran program raskin diakui Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengalami peningkatan setiap tahun, sementara jumlah rumah tangga sasaran (RTS) mengalami penurunan. Angka berbicara, pada 2011 anggaran raskin mencapai Rp15,27 triliun untuk menyasar sebanyak 17,4 juta atau 25% dari jumlah penduduk dengan ekonomi terendah di negeri ini yang dijatah sebanyak 15 kg per bulan selama 12 kali.

Setahun kemudian, pada 2012, nilai anggaran naik menjadi sebesar Rp15,70 triliun. Peningkatan anggaran tersebut memang tipis, tetapi jumlah RTS yang menjadi sasaran tidak berubah. Selanjutnya pada 2013, anggaran raskin melonjak mencapai Rp17,1 triliun untuk 15,5 juta RTS yang jumlahnya lebih kecil dari dua tahun sebelumnya, bahkan pada pertengahan tahun pemerintah meningkatkan anggaran raskin menjadi Rp21,4 triliun sebagai mitigasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Dan, tahun ini anggaran raskin membengkak lagi menjadi sebesar Rp18,8 triliun dengan jumlah RTS sama dengan tahun lalu. Anggaran raskin yang terus bertambah dari tahun ke tahun yang diiringi penurunan jumlah RTS, oleh Menkeu Chatib Basri dinilai wajar. Anggaran yang terus menggelembung itu menurut Menkeu dipicu oleh kenaikan harga beras yang memaksa pemerintah harus menambah anggaran meski jumlah RTS mengalami penurunan.

Logika kenaikan harga yang dilontarkan Menkeu memang bisa diterima akal sehat. Namun, yang menjadi persoalan anggaran yang terus menggelembung itu tidak mencerminkan kemuliaan program tersebut.Berdasarkan temuan KPK pada program yang menghabiskan anggaran puluhan triliun rupiah itu terdapat sejumlah kelemahan, mulai soal sasaran yang tidak tepat, jumlah yang disalurkan tidak sesuai dengan laporan, mutu beras di bawah standar, harga lebih mahal dari yang seharusnya, hingga administrasi yang amburadul.

Padahal, soal mutu beras yang tidak baik seharusnya tak terjadi sebagaimana diatur Instruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres tersebut mengatur bahwa pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) membeli beras petani dengan persyaratan yang cukup ketat. Pembelian gabah kering panen dalam negeri harus memenuhi kualitas kadar air maksimum 25%, dan kadar hampa/kotoran maksimum 10%.

Selain itu, gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3%. Seharusnya dengan standar sesuai Inpres itu, maka patut dipertanyakan mengapa mutu raskin jauh dari yang diharapkan? Dari sisiharga, juga sangat memprihatinkan. Penduduk miskin untuk mendapatkan raskin cukup merogoh kocek sekitar Rp1.600 per kg. Ternyata harga tersebut hanya di atas kertas, fakta lapangan menunjukkan harga melebar menjadi Rp2.000 per kg hingga Rp2.500 kg.

Mengenai harga yang tinggi itu, pihak Kementerian Keuangan berdalih bahwa harga sebesar Rp1.600 per kg hanya berlaku di tingkat penyerahan dari Bulog ke pemerintah daerah. Selanjutnya, pemerintah daerah menambahkan ongkos transportasi dan beberapa biaya lainnya. Itu menurut versi pemerintah, tetapi jamak informasi yang berkembang bahwa bukan sekadar kenaikan harga, melainkan kebocoran raskin ke pasar bebas justru tak kalah memprihatinkan.

Kita berharap KPK tidak berhenti di tengah jalan dalam mengurai benang kusut raskin. Tidak cukup sekadar meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi secara komprehensif. Sementaraitu, pemerintahwajib mempertajam program mulia ini agar tepat sasaran dan tidak menjadi bancakan oknum pemerintah di daerah.

Harus ada kebijakan yang tegas, transparan, dan akuntabel sebagai bagian dari pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara yang mencapai puluh triliun rupiah setiap tahun.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7443 seconds (0.1#10.140)