UN dan nilai kejujuran

Senin, 14 April 2014 - 06:33 WIB
UN dan nilai kejujuran
UN dan nilai kejujuran
A A A
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan melaksanakan ujian nasional (UN) 2014 untuk jenjang SMA/SMK mulai 14–16 April 2014.

Pelaksanaan UN 2014 dilakukan dengan berbagai hasil evaluasi dan masukan dari penyelenggaraan UN 2013 yang semrawut dalam proses percetakan dan distribusi soalnya. Sebelas provinsi terpaksa menunda penyelenggaraan UN karena keterlambatan distribusi soal. Kita berharap penyelenggaraan UN tahun ini lebih baik dibandingkan tahun 2013.

Salah satu masalah klasik yang dihadapi setiap pelaksanaan UN adalah kebocoran soal dan kunci jawaban yang dilakukan berbagai oknum dengan berbagai modus. Kebocoran soal bisa diduga dilakukan oleh dua kelompok, yaitu kelompok internal atau orang dalam serta kelompok eksternal yang biasanya dilakukan jalur bimbingan belajar atau alumni. Akar masalah dari fenomena ini adalah hilangnya nilai kejujuran dalam penyelenggaraan UN, khususnya dan pendidikan secara umum.

Kita kembali mempertanyakan prinsip kejujuran yang ditanamkan dalam proses pendidikan sejak usia dini hingga usia remaja. Terdegradasinya semangat kejujuran dalam pelaksanaan UN membuat kita prihatin dan miris.

Apakah sebegitu rusaknya moralitas pendidikan kita dengan menggadaikan nilai luhur kejujuran? Menegasikan kejujuran dalam pendidikan membuat kita berpikir bahwa masyarakat kita memang sudah terbiasa melakukan jalan yang menerabas nilai dan moral masyarakat.

Inilah yang menjadi mentalitas bangsa kita. Mentalitas menerobos dan jalan pintas, tanpa perlu melakukan usaha dan kerja keras. Pendidikan seharusnya mendorong mereka untuk belajar tapi jangan diajak untuk melakukan sesuatu yang tidak jujur. Bisa jadi nilai akhirnya tidak maksimal dan bahkan siswa tersebut tak lulus. Namun, itu hasil dari sebuah proses yang jujur. Jika ada murid yang tidak lulus, memang harus tidak diluluskan.

Tugas pendidikanlah yang membuat dia bisa lebih giat belajar untuk mencapai kelulusan di tahun berikutnya. Kejujuran dalam konteks ini menjadi pesan moral yang ingin disampaikan kepada pemangku kepentingan pendidikan di mana pun. Dalam konteks sosial dan wacana transparansi publik, kita perlu memperkuat komitmen dalam penyelenggaraan UN dengan jujur dan bersih.

Praktik-praktik curang dalam pelaksanaan UN harus kita angkat ke publik sebagai bagian dari partisipasi publik dalam pelaksanaan pendidikan publik yang transparan. Hal ini menggambarkan kegelisahan dan kritik kita terhadap pelaksanaan UN yang masih bermasalah dengan prinsip-prinsip kejujuran. Kita harus sadar bahwa praktik-praktik kecurangan dalam UN adalah realitas yang tak terbantahkan, meskipun pihak Kemendikbud sering kali membantahnya.

Kuantitas atau kualitas?
Kita harus mengingatkan seluruh aktor penyelenggara UN dan umumnya praktik pendidikan lebih berorientasi pada proses dan kualitas, bukan mengagungkan hasil dan kuantitas. Penjelasan ini sebangun dengan pemikiran bahwa pendidikan jangan terjebak dalam jeratan pragmatisme kuantitatif yang miskin makna filosofisnya.

Dalam studi pendidikan, paradigma kualitas pendidikan sudah lama dikembangkan khususnya oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa. Kita sadar bahwa selama ini pendidikan Indonesia sering kali berada dalam mainstream kuantitas dan abai dengan kualitas. Fakta yang paling mudah adalah penyelenggaraan UN.

Bisa dipastikan jika sebagian besar kepala daerah menargetkan 100% kelulusan UN, maka target ini diberikan kepada kepala Disdik sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan UN di daerah.

Sebagian besar praktik kecurangan dilakukan dengan membocorkan soal UN untuk dikerjakan oleh guru mata pelajaran dan kunci jawaban disebarkan secara berantai kepada murid-murid menjelang pelaksanaan UN melalui jaringan komunikasi (jarkom).

Di lapangan, praktik ini sudah menjadi rahasia umum dan sering disebut dengan adanya ”tim sukses UN”. Kepala sekolah bertanggung jawab dan terbebani dengan target kelulusan 100% yang dicanangkan kepala Disdik dan kepala daerah. Secara otoritas, posisi kepala sekolah tentu tidak berdaya menghadapi tekanan dan dominasi kepala Disdik karena terkait dengan kepentingan jabatan dan alokasi anggaran pendidikan di sekolah.

Sementara itu, kepala daerah juga harus menghadapi tekanan dari DPRD setempat dalam penyelenggaraan UN di daerahnya. Setali tiga uang, terkait dengan anggaran pendidikan untuk daerah.

Dalam perspektif Pierre Bourdieu, relasi ini melahirkan ”mekanisme kepatuhan” dari berbagai aktor sosial dalam praktik kecurangan tersebut. Dalam konteks inilah, peran pemimpin daerah (gubernur/ wali kota/bupati) harus menunjukkan dukungan yang kuat terhadap penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur.

Di berbagai daerah, kita sering menjumpai berbagai kasus kecurangan yang dilakukan secara sistemis oleh berbagai pihak. Berbagai kecurangan tersebut ada yang dilaporkan kepada pihak kepolisian, meskipun ada juga yang ditutup-tutupi oleh pihak sekolah. Pada pelaksanaan UN 2012 di Sumatera Utara, terjadi berbagai kasus kecurangan. Kelompok yang aktif mengadvokasi di Sumut adalah Komunitas Air Mata Guru (KAMG).

Kejadian paling memprihatinkan terjadi pada UN 2007, ketika belasan guru dari 27 guru anggota KAMG menghadapi pemberhentian dan pengurangan jam mengajar. Ternyata melaporkan dan menolak terlibat kecurangan justru mengantarkan mereka sebagai pecundang.

Guru memang selalu berada dalam posisi yang lemah dan tak berdaya di hadapan otoritas kekuasaan pendidikan. Kejujuran dibayar dengan tindakan pemecatan. Sesuatu yang sangat memprihatinkan dalam pendidikan Indonesia.

Paradoks
Jangan dulu berbicara perubahan kurikulum yang canggih demi mempersiapkan generasi masa depan yang unggul. Tidak usah kita kehabisan energi berteriak tentang pendidikan karakter dengan ragam proyek hingga triliunan rupiah. Semuanya terasa absurd tatkala kita abai dengan prinsip kejujuran dalam UN.

UN sendiri memang masih menjadi masalah karena penolakan dari berbagai kalangan untuk menghapuskan pelaksanaan UN. Selagi UN selalu dilakukan dengan berbagai kecurangan, maka kita berada dalam suasana paradoks yang sangat memprihatinkan. Bukan malah menyelesaikan masalah, melainkan menambah masalah baru dengan praktik kecurangan tersebut.

Kejujuran adalah prinsip moral yang menempati seluruh gerak pendidikan. Pendidikan akan kering tanpa dibangun nilai-nilai kejujuran. Bisa dibayangkan masa depan bangsa ini tanpa membangun kejujuran dalam pendidikan.

Menanamkan kejujuran bukan sekadar persoalan UN. Lebih dari itu, ini menyangkut bagaimana bangsa ini membangun filosofi pendidikan sekaligus memproyeksikan pendidikan jangka panjang untuk kepentingan generasi penerus.

Tak ada pilihan lain untuk memulai kejujuran itu pada anak-anak bangsa sekaligus upaya merawat masa depan pendidikan bangsa ini secara permanen.

RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2 France
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0896 seconds (0.1#10.140)