Jokowi effect?
A
A
A
HASIL akhir quick count oleh Indonesia Research Center (IRC) menempatkan PDIP di urutan puncak dengan raihan suara sebesar 18,98%, ditempel Partai Golkar dengan 14,9% dan Gerindra dengan 11,9%.
Angka ini cukup mirip dengan hasil quick count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan PDIP di urutan pertama dengan raihan suara sebesar 19,62%, yang lalu diikuti oleh Partai Golkar dengan 14,64% serta Gerindra yang bertengger di peringkat tiga dengan 11,87% suara. Hasil tersebut dapat mementahkan analisis beberapa lembaga survei nasional yang memprediksi PDIP akan memperoleh suara di atas 30%.
Hasil ini tentunya mengejutkan berbagai pihak. Pasalnya, fenomena politik akhir-akhir ini tidak menyiratkan kenyataan tersebut. Persepsi politik yang dibentuk terhadap suatu sosok ternyata tidak selalu sejalan dengan fakta politik di lapangan.
Prediksi bahwa suara PDIP akan melonjak pascapenetapan Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDIP ternyata tidak terbukti, setidaknya seperti hasil penghitungan cepat/quick count beberapa lembaga survei nasional, PDIP hanya memperoleh suara di kisaran 19%-an bahkan belum mampu menembu sangka 20%.
Hasil ini juga merupakan tamparan langsung bagi lembaga- lembaga survei yang sebelumnya merilis penelitian bahwa Jokowi Effect akan menambah sekitar 10% suara PDIP. Pantauan dari Indexpolitica. com menunjukkan bahwa jumlah pembicaraan Jokowi dan PDIP mendominasi dibandingkan Golkar ataupun Gerindra di social media.
Tercatat share of voice PDIP pada 9 Juli mencapai 27,5% disusul Partai Golkar di angka 20,29% dan Gerindra 13,6%. Begitu pun dengan pemberitaan di media online, rekaman pemberitaan yang dilakukan oleh Indexpolitica. com menunjukkan bahwa Jokowi dan PDIP mendominasi hampir di semua media.
Melihat hasil dari quick count tersebut, berarti pencapresan Jokowi tidak terlalu berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP, tetapi setidaknya dapat mengatarkan PDIP sebagai pemenang. Hasil pileg ini sebenarnya adalah ujian terhadap ketokohan Jokowi, apakah benar ”Manusia Setengah Dewa” itu adalah Jokowi.
Tak dapat dipungkiri efek Jokowi memang ada, tapi mungkin tidak optimal dimanfaatkan oleh PDIP. Tetapi jika kita bicara mengenai elektabilitas partai, kita tidak bicara siapa memengaruhi apa, tetapi juga apa memengaruhi siapa. Di sinilah sebenarnya sistem dan mekanisme partai lebih menentukan ketimbang kekuatan figur. Seperti kita ketahui bersama bahwa sistem dan mekanisme kepartaian PDIP masih oligarki dengan kultur politik dinasti yang kental.
Meski dikejutkan dengan sikap Megawati yang menunjuk Jokowi sebagai capres, kultur itu tetap melekat. Bukti sederhananya calon presiden tidak dilahirkan melalui sebuah mekanisme konvensi, tetapi hasil penunjukan dari Megawati sebagai ”pemilik” partai. Beda halnya dengan Partai Golkar. Semua dibentuk dan dibangun melalui proses yang demokratis sehingga publik bisa menilai dengan terbuka.
Publik juga dapat melihat bahwa Golkar adalah satu-satunya partai modern yang siap menghadapi apa pun, baik masalah internal partai maupun masalah kebangsaan, setidaknya terbukti dari hasil Pemilu Legislatif 2014 versi quick count Golkar stabil di angka 14%-an.
Partai politik yang berhasil mengendalikan turbulensi, melewati ujian berat yang mengancam disintegrasi, akan memiliki daya tahan dan daya suai terhadap keadaan, elektabilitasnya akan stabil dan relatif meningkat tapi sebaliknya partai politik yang mudah terombang-ambing ”arus dalam” dan ”arus luar” partai maka tingkat elektabilitasnya akan merosot.
Dalam politik tidak hanya berlaku hukum rimba (yang kuat pasti menang), tetapi juga terjadi seleksi alamiah, yakni siapa yang bertahan dan punya daya suai yang baik maka akan terus hidup dan berkembang. Inilah yang menjadi kunci kenapa Partai Golkar dan PDIP dapat bertahan sampai dengan sekarang. Sementara Partai Demokrat, sebagai partai pemenang 2009 yang lalu, terdampar di posisi ke empat bahkan disalip oleh Partai Gerindra.
Pileg memang berbeda dengan pilpres. Dalam pileg, infrastruktur dan pengalaman partai menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan figur capres dalam pemilu. Faktanya juga bahwa ”peperangan” tersebut tidak cukup jika hanya dimenangkan di udara saja, faktor darat justru menjadi hal terpenting dan Partai Golkar telah membuktikan hal itu. Optimalisasi infrastruktur jaringan akan menjadi suatu kekuatan tersendiri yang tidak dapat di remehkan oleh lawan.
DENNY CHARTER
Direktur Eksekutif Indexpolitica.com
Angka ini cukup mirip dengan hasil quick count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan PDIP di urutan pertama dengan raihan suara sebesar 19,62%, yang lalu diikuti oleh Partai Golkar dengan 14,64% serta Gerindra yang bertengger di peringkat tiga dengan 11,87% suara. Hasil tersebut dapat mementahkan analisis beberapa lembaga survei nasional yang memprediksi PDIP akan memperoleh suara di atas 30%.
Hasil ini tentunya mengejutkan berbagai pihak. Pasalnya, fenomena politik akhir-akhir ini tidak menyiratkan kenyataan tersebut. Persepsi politik yang dibentuk terhadap suatu sosok ternyata tidak selalu sejalan dengan fakta politik di lapangan.
Prediksi bahwa suara PDIP akan melonjak pascapenetapan Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDIP ternyata tidak terbukti, setidaknya seperti hasil penghitungan cepat/quick count beberapa lembaga survei nasional, PDIP hanya memperoleh suara di kisaran 19%-an bahkan belum mampu menembu sangka 20%.
Hasil ini juga merupakan tamparan langsung bagi lembaga- lembaga survei yang sebelumnya merilis penelitian bahwa Jokowi Effect akan menambah sekitar 10% suara PDIP. Pantauan dari Indexpolitica. com menunjukkan bahwa jumlah pembicaraan Jokowi dan PDIP mendominasi dibandingkan Golkar ataupun Gerindra di social media.
Tercatat share of voice PDIP pada 9 Juli mencapai 27,5% disusul Partai Golkar di angka 20,29% dan Gerindra 13,6%. Begitu pun dengan pemberitaan di media online, rekaman pemberitaan yang dilakukan oleh Indexpolitica. com menunjukkan bahwa Jokowi dan PDIP mendominasi hampir di semua media.
Melihat hasil dari quick count tersebut, berarti pencapresan Jokowi tidak terlalu berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP, tetapi setidaknya dapat mengatarkan PDIP sebagai pemenang. Hasil pileg ini sebenarnya adalah ujian terhadap ketokohan Jokowi, apakah benar ”Manusia Setengah Dewa” itu adalah Jokowi.
Tak dapat dipungkiri efek Jokowi memang ada, tapi mungkin tidak optimal dimanfaatkan oleh PDIP. Tetapi jika kita bicara mengenai elektabilitas partai, kita tidak bicara siapa memengaruhi apa, tetapi juga apa memengaruhi siapa. Di sinilah sebenarnya sistem dan mekanisme partai lebih menentukan ketimbang kekuatan figur. Seperti kita ketahui bersama bahwa sistem dan mekanisme kepartaian PDIP masih oligarki dengan kultur politik dinasti yang kental.
Meski dikejutkan dengan sikap Megawati yang menunjuk Jokowi sebagai capres, kultur itu tetap melekat. Bukti sederhananya calon presiden tidak dilahirkan melalui sebuah mekanisme konvensi, tetapi hasil penunjukan dari Megawati sebagai ”pemilik” partai. Beda halnya dengan Partai Golkar. Semua dibentuk dan dibangun melalui proses yang demokratis sehingga publik bisa menilai dengan terbuka.
Publik juga dapat melihat bahwa Golkar adalah satu-satunya partai modern yang siap menghadapi apa pun, baik masalah internal partai maupun masalah kebangsaan, setidaknya terbukti dari hasil Pemilu Legislatif 2014 versi quick count Golkar stabil di angka 14%-an.
Partai politik yang berhasil mengendalikan turbulensi, melewati ujian berat yang mengancam disintegrasi, akan memiliki daya tahan dan daya suai terhadap keadaan, elektabilitasnya akan stabil dan relatif meningkat tapi sebaliknya partai politik yang mudah terombang-ambing ”arus dalam” dan ”arus luar” partai maka tingkat elektabilitasnya akan merosot.
Dalam politik tidak hanya berlaku hukum rimba (yang kuat pasti menang), tetapi juga terjadi seleksi alamiah, yakni siapa yang bertahan dan punya daya suai yang baik maka akan terus hidup dan berkembang. Inilah yang menjadi kunci kenapa Partai Golkar dan PDIP dapat bertahan sampai dengan sekarang. Sementara Partai Demokrat, sebagai partai pemenang 2009 yang lalu, terdampar di posisi ke empat bahkan disalip oleh Partai Gerindra.
Pileg memang berbeda dengan pilpres. Dalam pileg, infrastruktur dan pengalaman partai menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan figur capres dalam pemilu. Faktanya juga bahwa ”peperangan” tersebut tidak cukup jika hanya dimenangkan di udara saja, faktor darat justru menjadi hal terpenting dan Partai Golkar telah membuktikan hal itu. Optimalisasi infrastruktur jaringan akan menjadi suatu kekuatan tersendiri yang tidak dapat di remehkan oleh lawan.
DENNY CHARTER
Direktur Eksekutif Indexpolitica.com
(nfl)