Memberdayakan pemilih muda
A
A
A
DISKUSI dengan tema ”Strategi Memenangi Pemilih Muda” yang digelar Redaksi KORAN SINDO dan Sindonews.com, Rabu (26/2), menarik dan inspiratif.
Forum tersebut memfasilitasi bertemunya para politisi partai politik, analis dan para aktivis muda lintas organisasi. Titik temu pemikiran yang berkembang dalam diskusi, memosisikan pemilih muda sebagai kelompok penting dan menentukan pada Pemilu 2014.
Substansi peran
Secara kuantitatif, jumlah pemilih muda di Pemilu 2014 sangat signifikan. Merujuk data KPU terbaru, kelompok pemilih pemula yang berusia 17–21 tahun, jumlahnya ada 18.334.458. Jika rentang usia diperlebar antara 17–29 tahun, pemilih muda diperkirakan plus minus di angka 53 juta. Tentu tak cukup membahagiakan jika perspektif yang dibangun hanya memosisikan kaum muda sebagai angka yang dikonversikan menjadi suara oleh partai politik.
Sudah selayaknya saat berbicara pemilih muda, maka seluruh pihak memiliki tanggung jawab untuk memperkuat substansi peran kaum muda dalam penataan demokrasi Indonesia saat ini dan ke depan. Meminjam analogi dunia bisnis, pemilih muda ini merupakan investasi paling prospektif terutama dalam memperkuat transformasi Indonesia melalui mekanisme demokrasi elektoral yang memberdayakan dan menggerakkan. Jika diidentifikasi, ada tiga pelapisan kelompok pemilih muda.
Pertama, publik umum (general public) yang masih awam, tak memiliki perhatian, dan sangat jarang berinteraksi dengan wacana dan tindakan politik. Sebagian besar mereka memosisikan politik terlebih pemilu sebagai hal di luar dirinya sehingga menjaga jarak.
Lapis kedua, adalah kaum muda beperhatian (attentive public) yang mulai kritis, mandiri, independen, anti-status quo, tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan tetapi masih menjaga jarak untuk aktif di politik terlebih dalam perebutan kekuasaan.
Lapis ketiga, yakni kelompok elite yang selain memiliki karakteristik seperti lapis beperhatian juga memiliki jiwa, semangat, dan motivasi tinggi untuk terlibat penuh dalam beragam aktivitas politik.
Kaum muda sendiri akan memilih peran-peran mereka, yakni melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan, memilih untuk menjadi pemimpin imparsial (impartial leader), atau mereka tetap menjadi pengikut (follower). Saat berupaya memenangi pemilih muda, partai, caleg, dan juga capres kerap gamang dalam menerapkan model pendekatannya.
Jika diidentifikasi, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi partai saat berjumpa dengan kelompok pemilih muda. Pertama, kenyataan masih banyaknya pemilih muda yang minim pengetahuan tentang pemilu.
Kedua, pemilih muda secara umum belum memiliki keajekan dalam konstruksi berpikir sebagai representasi sikap dan tindakan aktor dalam konteks pemilu. Makanya kelompok ini masih kerap dilabeli sebagai massa mengambang (floating mass).
Praktiknya di pemilu, pilihan anak-anak muda sangat mungkin berubah-ubah atau menjadi swing voters tergantung tingkat kesukaan, penerimaan, popularitas, dan keterpilihan partai di kalangan muda. Ketiga, masalah kesenjangan komunikasi politik (political communication gap) antara partai dan basis-basis pemilih muda.
Praktik kerja sporadis partai menjelangpemiludanpendekatanyang berorientasi pemasaran politik semata, dibaca oleh pemilih muda sebagai upaya semata-mata menjadikan mereka sebagai objek dan angka yang akan dikumulasikan untuk kepentingan partai dan politisi saja.
Model yang dominan digunakan para politisi adalah model linear. Mereka memosisikan diri sebagai elite, bukan model reciprocal atau timbal balik yang bisa menginspirasi kaum muda untuk bersinergi dalam politik kekitaan.
Keempat, Party ID atau identifikasi kepartaian yang lemah di kalangan pemilih muda. Suasana psikologis pemilih muda saat mengidentifikasi partai dan politisi masih belum membaik. Dampaknya, apresiasi pemilih muda terhadap partai pun terus melemah. Opini buruk perilaku korup para politisi yang setiap hari menghiasi media massa, menenggelamkan gaung harapan penyelenggaraan pemilu.
Strategi pendekatan
Apa pun cara pendekatan partai, caleg dan capres terhadap pemilih muda, penting bagi partai untuk menyiapkan dua hal pokok. Pertama, basis semua aktivitas mendekati pemilih muda ini harusnya literasi politik. Partai memiliki tanggung jawab membuat pemilih muda melek politik dan berdaya. Posisi pemilih muda harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional maupun lokal.
Caranya, partai politik, akademisi, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pemerintah, dan media massa harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000), singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Crick menegaskan, literasi politik lebih luas dari hanya pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.
Secara operasional, gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014 melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation), membuat peer group untuk sharing dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basisbasis pemilih muda.
Selain itu, juga bisa dengan mengintensifkan diskusi-diskusi politik di ICT (information and communication technology), merekrut kaum muda dalam satu kaderisasi yang utuh mulai dari ajakan masuk ke partai, pelibatan dalam aktivitas politik sehat, pendistribusian ke jabatan-jabatan publik di masa mendatang. Kedua, strategi penetrasi ke pemilih muda seyogianya mengedepankan pendekatanpendekatan public relations politik yang bersifat interaksional. Konsep Triple-C patut dipertimbangkan.
Hubungan komunitas (community relations), pemberdayaan komunitas (community empowerment) dan pelayanan komunitas (community services) yang akan mempertemukan kepentingan politisi dengan harapan kaum muda. Partai mendapatkan dukungan di bilik suara dan pemilih muda tercerahkan sekaligus terberdayakan.
DR. GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Forum tersebut memfasilitasi bertemunya para politisi partai politik, analis dan para aktivis muda lintas organisasi. Titik temu pemikiran yang berkembang dalam diskusi, memosisikan pemilih muda sebagai kelompok penting dan menentukan pada Pemilu 2014.
Substansi peran
Secara kuantitatif, jumlah pemilih muda di Pemilu 2014 sangat signifikan. Merujuk data KPU terbaru, kelompok pemilih pemula yang berusia 17–21 tahun, jumlahnya ada 18.334.458. Jika rentang usia diperlebar antara 17–29 tahun, pemilih muda diperkirakan plus minus di angka 53 juta. Tentu tak cukup membahagiakan jika perspektif yang dibangun hanya memosisikan kaum muda sebagai angka yang dikonversikan menjadi suara oleh partai politik.
Sudah selayaknya saat berbicara pemilih muda, maka seluruh pihak memiliki tanggung jawab untuk memperkuat substansi peran kaum muda dalam penataan demokrasi Indonesia saat ini dan ke depan. Meminjam analogi dunia bisnis, pemilih muda ini merupakan investasi paling prospektif terutama dalam memperkuat transformasi Indonesia melalui mekanisme demokrasi elektoral yang memberdayakan dan menggerakkan. Jika diidentifikasi, ada tiga pelapisan kelompok pemilih muda.
Pertama, publik umum (general public) yang masih awam, tak memiliki perhatian, dan sangat jarang berinteraksi dengan wacana dan tindakan politik. Sebagian besar mereka memosisikan politik terlebih pemilu sebagai hal di luar dirinya sehingga menjaga jarak.
Lapis kedua, adalah kaum muda beperhatian (attentive public) yang mulai kritis, mandiri, independen, anti-status quo, tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan tetapi masih menjaga jarak untuk aktif di politik terlebih dalam perebutan kekuasaan.
Lapis ketiga, yakni kelompok elite yang selain memiliki karakteristik seperti lapis beperhatian juga memiliki jiwa, semangat, dan motivasi tinggi untuk terlibat penuh dalam beragam aktivitas politik.
Kaum muda sendiri akan memilih peran-peran mereka, yakni melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan, memilih untuk menjadi pemimpin imparsial (impartial leader), atau mereka tetap menjadi pengikut (follower). Saat berupaya memenangi pemilih muda, partai, caleg, dan juga capres kerap gamang dalam menerapkan model pendekatannya.
Jika diidentifikasi, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi partai saat berjumpa dengan kelompok pemilih muda. Pertama, kenyataan masih banyaknya pemilih muda yang minim pengetahuan tentang pemilu.
Kedua, pemilih muda secara umum belum memiliki keajekan dalam konstruksi berpikir sebagai representasi sikap dan tindakan aktor dalam konteks pemilu. Makanya kelompok ini masih kerap dilabeli sebagai massa mengambang (floating mass).
Praktiknya di pemilu, pilihan anak-anak muda sangat mungkin berubah-ubah atau menjadi swing voters tergantung tingkat kesukaan, penerimaan, popularitas, dan keterpilihan partai di kalangan muda. Ketiga, masalah kesenjangan komunikasi politik (political communication gap) antara partai dan basis-basis pemilih muda.
Praktik kerja sporadis partai menjelangpemiludanpendekatanyang berorientasi pemasaran politik semata, dibaca oleh pemilih muda sebagai upaya semata-mata menjadikan mereka sebagai objek dan angka yang akan dikumulasikan untuk kepentingan partai dan politisi saja.
Model yang dominan digunakan para politisi adalah model linear. Mereka memosisikan diri sebagai elite, bukan model reciprocal atau timbal balik yang bisa menginspirasi kaum muda untuk bersinergi dalam politik kekitaan.
Keempat, Party ID atau identifikasi kepartaian yang lemah di kalangan pemilih muda. Suasana psikologis pemilih muda saat mengidentifikasi partai dan politisi masih belum membaik. Dampaknya, apresiasi pemilih muda terhadap partai pun terus melemah. Opini buruk perilaku korup para politisi yang setiap hari menghiasi media massa, menenggelamkan gaung harapan penyelenggaraan pemilu.
Strategi pendekatan
Apa pun cara pendekatan partai, caleg dan capres terhadap pemilih muda, penting bagi partai untuk menyiapkan dua hal pokok. Pertama, basis semua aktivitas mendekati pemilih muda ini harusnya literasi politik. Partai memiliki tanggung jawab membuat pemilih muda melek politik dan berdaya. Posisi pemilih muda harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional maupun lokal.
Caranya, partai politik, akademisi, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pemerintah, dan media massa harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000), singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Crick menegaskan, literasi politik lebih luas dari hanya pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.
Secara operasional, gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014 melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation), membuat peer group untuk sharing dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basisbasis pemilih muda.
Selain itu, juga bisa dengan mengintensifkan diskusi-diskusi politik di ICT (information and communication technology), merekrut kaum muda dalam satu kaderisasi yang utuh mulai dari ajakan masuk ke partai, pelibatan dalam aktivitas politik sehat, pendistribusian ke jabatan-jabatan publik di masa mendatang. Kedua, strategi penetrasi ke pemilih muda seyogianya mengedepankan pendekatanpendekatan public relations politik yang bersifat interaksional. Konsep Triple-C patut dipertimbangkan.
Hubungan komunitas (community relations), pemberdayaan komunitas (community empowerment) dan pelayanan komunitas (community services) yang akan mempertemukan kepentingan politisi dengan harapan kaum muda. Partai mendapatkan dukungan di bilik suara dan pemilih muda tercerahkan sekaligus terberdayakan.
DR. GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(nfl)