Persiapan hadapi AEC
A
A
A
BABAK baru hubungan perdagangan sesama negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) bertajuk ASEAN Economic Community (AEC) perwujudannya kini di depan mata, tepatnya akhir Desember 2015. Sudah sejauh manakah persiapan Indonesia menghadapi semua itu?
Tidak ada salahnya bertanya agar pemerintah ataupun kalangan pengusaha mempersiapkan semuanya secara matang, mengingat berbagai kendala yang berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar gemuk ketimbang selaku basis produksi untuk berbagai produk yang menyuplai kebutuhan negara ASEAN.
Pemerintah mengklaim tidak pernah diam menyambut kedatangan pasar bebas di kawasan ASEAN itu. Dari pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa, sungguh membesarkan hati bahwa pemerintah begitu serius mempersiapkan segala sesuatunya berkaitan pemberlakuan AEC (masyarakat ekonomi ASEAN/MEA) akhir tahun depan.
Persiapan pemerintah sebagaimana diakui Hatta Rajasa sudah bergulir sekitar 80% dan berharap mencapai 100% hingga akhir tahun ini. Persiapan tersebut meliputi pembenahan dan perbaikan infrastruktur, konektivitas antardaerah yang diharapkan bisa mendongkrak daya saing, dan pembenahan sistem distribusi barang agar lebih efisien.
Pemerintah berharap Indonesia bisa menjadi basis produksi. Sekadar menyegarkan ingatan, AEC adalah sebuah perwujudan visi ASEAN 2020 terkait integrasi ekonomi negara ASEAN melalui pasar tunggal dan basis produksi bersama.
Konsep dasar AEC yang akan diimplementasikan mencakup arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, arus bebas tenaga kerja terampil, yang semuanya bermuara pada prinsip pasar terbuka bebas hambatan.
Kesepakatan untuk merealisasikan perdagangan bebas hambatan tersebut dituangkan dalam piagam ASEAN yang disahkan pada 2007. Karena sudah menjadi kesepakatan bersama maka tak bisa diperdebatkan lagi apakah siap atau tidak siap untuk merealisasikannya.
Yang harus dijawab sekarang bagaimana meraih peluang yang ada dan menepis ancaman seminimal mungkin. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi Indonesia dibandingkan sejumlah negara ASEAN sebut saja Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam jauh lebih siap menghadapi AEC.
Apabila pemerintah lengah maka bisa dibayangkan Indonesia dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar atau sekitar 40% dari total penduduk anggota ASEAN menjadi pasar empuk. Tidak hanya itu, dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan kelas menengah semakin subur dengan daya beli yang makin tinggi.
Meski Menko Perekonomian sudah memproklamirkan kesiapan menghadapi AEC sudah mencapai 80%, tidak sedikit pihak yang masih diliputi keraguan termasuk Menteri Perindustrian MS Hidayat. Secara jujur, Hidayat mengakui industri nasional masih ìgugupî menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Apa yang membuat Hidayat kurang percaya diri menghadapi semua itu? Masalahnya tidak terlepas dari persoalan infrastruktur yang masih jauh dari memadai, hal itu berdampak langsung pada beban biaya logistik tinggi yang harus ditanggung industri.
Akibatnya, industri nasional kurang efisien yang berdampak pada tumpulnya daya saing. Saat ini biaya logistik rata-rata sebesar 16% dari total biaya produksi. Idealnya biaya logistik berkisar pada 9% hingga10% dari biaya produksi. Hal lain yang perlu dicermati adalah suku bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Suku bunga pinjaman tersebut jelas memberatkan kalangan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan usahanya menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Bayangkan, suku bunga kredit perbankan di Indonesia lebih tinggi di atas 5% dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia seandainya berbagai kendala tersebut tak mampu disingkirkan segera?
Meminjam istilah Hendri Saparini, pengamat ekonomi dari Econit, perekonomian Indonesia diibaratkan seperti kapal laut yang sedang menghadapi hujan badai di tengah samudra. Jika industri nasional mampu menerjang badai dan bertahan maka perekonomian Indonesia akan selamat. Kita berharap sisa waktu yang semakin menipis ini pemerintah dan kalangan pengusaha bisa menghadang badai yang mengancam perekonomian nasional.
Tidak ada salahnya bertanya agar pemerintah ataupun kalangan pengusaha mempersiapkan semuanya secara matang, mengingat berbagai kendala yang berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar gemuk ketimbang selaku basis produksi untuk berbagai produk yang menyuplai kebutuhan negara ASEAN.
Pemerintah mengklaim tidak pernah diam menyambut kedatangan pasar bebas di kawasan ASEAN itu. Dari pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa, sungguh membesarkan hati bahwa pemerintah begitu serius mempersiapkan segala sesuatunya berkaitan pemberlakuan AEC (masyarakat ekonomi ASEAN/MEA) akhir tahun depan.
Persiapan pemerintah sebagaimana diakui Hatta Rajasa sudah bergulir sekitar 80% dan berharap mencapai 100% hingga akhir tahun ini. Persiapan tersebut meliputi pembenahan dan perbaikan infrastruktur, konektivitas antardaerah yang diharapkan bisa mendongkrak daya saing, dan pembenahan sistem distribusi barang agar lebih efisien.
Pemerintah berharap Indonesia bisa menjadi basis produksi. Sekadar menyegarkan ingatan, AEC adalah sebuah perwujudan visi ASEAN 2020 terkait integrasi ekonomi negara ASEAN melalui pasar tunggal dan basis produksi bersama.
Konsep dasar AEC yang akan diimplementasikan mencakup arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, arus bebas tenaga kerja terampil, yang semuanya bermuara pada prinsip pasar terbuka bebas hambatan.
Kesepakatan untuk merealisasikan perdagangan bebas hambatan tersebut dituangkan dalam piagam ASEAN yang disahkan pada 2007. Karena sudah menjadi kesepakatan bersama maka tak bisa diperdebatkan lagi apakah siap atau tidak siap untuk merealisasikannya.
Yang harus dijawab sekarang bagaimana meraih peluang yang ada dan menepis ancaman seminimal mungkin. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi Indonesia dibandingkan sejumlah negara ASEAN sebut saja Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam jauh lebih siap menghadapi AEC.
Apabila pemerintah lengah maka bisa dibayangkan Indonesia dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar atau sekitar 40% dari total penduduk anggota ASEAN menjadi pasar empuk. Tidak hanya itu, dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan kelas menengah semakin subur dengan daya beli yang makin tinggi.
Meski Menko Perekonomian sudah memproklamirkan kesiapan menghadapi AEC sudah mencapai 80%, tidak sedikit pihak yang masih diliputi keraguan termasuk Menteri Perindustrian MS Hidayat. Secara jujur, Hidayat mengakui industri nasional masih ìgugupî menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Apa yang membuat Hidayat kurang percaya diri menghadapi semua itu? Masalahnya tidak terlepas dari persoalan infrastruktur yang masih jauh dari memadai, hal itu berdampak langsung pada beban biaya logistik tinggi yang harus ditanggung industri.
Akibatnya, industri nasional kurang efisien yang berdampak pada tumpulnya daya saing. Saat ini biaya logistik rata-rata sebesar 16% dari total biaya produksi. Idealnya biaya logistik berkisar pada 9% hingga10% dari biaya produksi. Hal lain yang perlu dicermati adalah suku bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Suku bunga pinjaman tersebut jelas memberatkan kalangan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan usahanya menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Bayangkan, suku bunga kredit perbankan di Indonesia lebih tinggi di atas 5% dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia seandainya berbagai kendala tersebut tak mampu disingkirkan segera?
Meminjam istilah Hendri Saparini, pengamat ekonomi dari Econit, perekonomian Indonesia diibaratkan seperti kapal laut yang sedang menghadapi hujan badai di tengah samudra. Jika industri nasional mampu menerjang badai dan bertahan maka perekonomian Indonesia akan selamat. Kita berharap sisa waktu yang semakin menipis ini pemerintah dan kalangan pengusaha bisa menghadang badai yang mengancam perekonomian nasional.
(nfl)