Memaknai bencana alam

Rabu, 19 Februari 2014 - 08:34 WIB
Memaknai bencana alam
Memaknai bencana alam
A A A
DALAM sepuluh tahun terakhir berbagai macam bencana alam silih berganti menghantam negeri tercinta ini. Sejak Desember 2004 hingga akhir 2007 berbagai bencana alam berskala masif meluluhlantakkan sejumlah wilayah Nusantara.

Mulai dari gempa bumi Nabire, tsunami maha-dahsyat Aceh dan Nias, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi Yogyakarta, tsunami Pangandaran dan Cilacap, sampai gempa bumi 7,9 skala Richter yang menimpa Sumatera Barat, Bengkulu, dan Jambi. Lalu, sejak Desember 2013 sampai sekarang, banjir besar sempat melumpuhkan Ibu Kota Negara, sebagian besar wilayah pantura Jawa, dan Manado. Disusul kebakaran hutan di Riau, dan erupsi Gunung Sinabung serta Gunung Kelud yang masih berlangsung sampai sekarang.

Dari perspektif teologi, bencana alam (musibah), baik yang terjadi di darat, laut maupun udara memang merupakan sunnatullah (kehendak atau hukum Allah). Tetapi, iman dan akhlak (perilaku) manusia turut memicu terjadinya bencana alam dan memberikan andil terhadap besar-kecilnya kerugian dan penderitaan akibat bencana tersebut.

Sebagaimana firman Allah ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. 30:41).

Selanjutnya, peran ulah manusia terhadap terjadinya bencana alam bisa melalui perbuatan yang bersifat fisik. Contohnya penggundulan hutan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan lahan atas yang buruk, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), membuang sampah ke sungai, dan drainase wilayah yang buruk dapat memicu bencana banjir dan tanah longsor serta memperparah dampak negatif yang ditimbulkannya.

Demikian pula emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya oleh industri, transportasi, dan pembalakan hutan yang melebihi kapasitas asimilasi atmosfer untuk menetralkannya terbukti telah memantik pemanasan global (global warming).

Ada juga jenis-jenis bencana alam yang Allah turunkan karena kekufuran dan beragam kemaksiatan yang berkembang di tengah-tengah suatu masyarakat/ bangsa. Seperti kaum Nabi Luth yang ditumpas oleh Allah melalui gempa bumi yang maha dahsyat akibat praktik perzinahan dan homoseksual yang masif.

Kaum Madyan, umat Nabi Syuaib dihancurkan oleh Allah karena mereka suka melakukan penipuan dan kecurangan dalam perdagangan. Mereka diazab Allah dengan hawa panas (heatwave) yang teramat sangat.

Kaum ‘Ad, umat Nabi Hud, dilaknat oleh Allah melalui angin yang sangat kencang disertai bunyi guruh yang memekakkan telinga, karena kekufurannya. Di zaman kontemporer ini, bencana tsunami, gempa bumi, dan erupsi gunung berapi diyakini merupakan kehendak Allah yang dipicu oleh perbuatan maksiat dan kekufuran manusia yang kian marak.

Pasalnya, ketiga jenis bencana alam itu semata-mata disebabkan oleh fenomena geofisik seperti gempa tektonik, tubrukan antar-lempeng bumi, gempa vulkanik, dan landslides. Bukan oleh aktivitas fisik manusia berupa penggundulan hutan, emisi gas rumah kaca, pembuangan sampai ke sungai, dan lainnya. Data tahun 1600–2007 menunjukkan bahwa lebih dari 90% bencana tsunami di Indonesia adalah akibat gempa tektonik dan tubrukan antarlempeng bumi.

Makna lain
Selain kaya SDA dan memiliki posisi geoekonomi yang sangat strategis (pusat lalu lintas perdagangan dunia) sebagai modal dasar bagi kemajuan sebuah bangsa, Indonesia juga merupakan kawasan yang sangat rawan bencana alam, utamanya gempabumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Sekitar 75% dari seluruh gunung berapi dunia terletak di bumi pertiwi ini, sehingga Indonesia dijuluki sebagai ‘The Ring of Fires’. Nusantara kita juga terletak di daerah yang paling rawan terhadap bencana tsunami, karena merupakan pertemuan tiga lempeng utama bumi, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang secara dinamis mengalami pergeseran.

Singkatnya, kecuali Kalimantan, seluruh wilayah Nusantara sangat rawan gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan tsunami. Semua potensi bencana alam ini mestinya kita maknai sebagai bentuk lain dari kasihsayang Sang Maha Pencipta kepada bangsa Indonesia.

Agar tidak terlena dan berpuas diri dengan kekayaan alam yang melimpah dan iklim yang bersahabat, bak ”zamrud di khatulistiwa”. Persepsi bahwa kita hidup di negara yang kaya SDA dan perilaku lekas puas dirilah yang membuat mayoritas rakyat Indonesia menjadi malas, kurang inovatif, dan rendah daya juangnya untuk memajukan dan memakmurkan bangsa tercinta ini.

Padahal, fakta menunjukkan bahwaseluruhbangsayangmaju dan makmur adalah mereka yang merasa mempunyai tantangan (challenges) hidup. Jepang dan Jerman maju, awalnya karena merasa terancam oleh sekutu. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi bangsa yang inovatif, maju dan makmur karena menyadari bahwa negaranya miskin SDA. Sedangkan, China berubah cepat dari negara miskin menjadi negara makmur, dan sejak 2009 memiliki kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, karena tertantang untuk dapat menyejahterakan 1,4 miliar penduduknya.

Oleh sebab itu, bagi kita bangsa Indonesia, bencana alam harus kita anggap sebagai tantangan kolektif untuk bekerja lebih keras, cerdas, dan sinergis dalam upaya untuk segera keluar dari jebakan keterbelakangan dan kemiskinan menjadi bangsa yang maju dan makmur.

Karena untuk menghindari atau meminimalkan korban jiwa, kerusakan prasarana dan sarana, kerugian ekonomi, dan kerugian non-material akibat bencana alam diperlukan dana yang sangat besar dan iptek mutakhir.

Iptek dan dana tersebut dibutuhkan untuk: (1) pembangunan dan pengoperasian sistem peringatan dini (early warning system); (2) pembuatan dan implementasi tata ruang berbasis ekonomi, ekologi, dan bencana alam; (3) konstruksi rumah, gedung, prasarana dan sarana pembangunan lainnya yang dirancang dan dibangun secara fleksibel atau tahan bencana alam; (4) pembangunan struktur keras seperti pemecah gelombang, tanggul laut, dan groins serta struktur lunak seperti hutan mangrove dan vegetasi pantai lainnya untuk meredam energi gelombang tsunami;

(5) program peningkatan kesadaran dan kesiagaan publik (public awareness and preparadness) dalam menghadapi bencana alam; dan (6) program penelitian dan pengembangan guna menguasai dan menerapkan iptek dalam penanggulangan bencana alam.

Keenam hal inilah yang dilakukan secara sistemik dan berkesinambungan oleh Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan bangsa lainnya yang telah mampu menghindari atau meminimalisasi dampak negatif akibat bencana alam. Dan, semua itu dapat mereka lakukan karena mereka kaya serta menguasai iptek.

Pendekatan spiritual
Karena bencana alam juga sejatinya sebagai bentuk peringatan dan teguran Tuhan Yang Maha Pencipta atas kedurhakaan dan kemaksiatan yang dikerjakan oleh manusia.

Maka, semestinya bangsa Indonesia menurut agamanya masing-masing melakukan taubatan nasuha secara nasional, khususnya para pemimpin, atas beragam bentuk kebohongan, kemunafikan, kezaliman, dan perilaku maksiat yang dalam sepuluh tahun terakhir kian merajalela.

Betapa tidak, semua bentuk kedurhakaan dan kemaksiatan yang pernah dilakukan oleh umat-umat terdahulu (zaman para Nabi), kini dalam bentuknya yang lebih canggih tumbuh subur di Indonesia.

Menurut sebuah lembaga survei internasional, tahun 2011 Indonesia merupakan bangsa pelaku pornografi dan pornoaksi (perzinahan) terbesar kedua di dunia setelah Swedia. Indonesia juga sebagai bangsa pengguna narkoba terbesar se-Asia.

Di tengah-tengah galaknya aksi pemberantasan korupsi, hingga kini Indonesia masih menyandang predikat sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Kebohongan, hipokrisme yang dibalut pencitraan nan canggih semakin masif dan marak dikerjakan oleh mayoritas tokoh (dari pusat sampai ke daerah) yang kini sedang memimpin maupun yang tengah berupaya menjadi pemimpin setelah pileg dan pilpres tahun ini.

Sebaliknya dalam hal ketakwaan dan amal saleh, bangsa Indonesia justru kedodoran. Betapa ironisnya, negara dengan jumlah penduduk muslim terbesardidunia, hanya30persen umat Islam Indonesia yang menunaikansalatlimawaktusecara teratur (Monash University, 2012).

Padahal Allah menegaskan dalam Alquran bahwa ”Sesungguhnya salat (yang khusyuk) itu mencegah dari perbuatan keji danmunkar”(QS. 29: 45). Semoga kekurangtakwaan mayoritas umat Islam ini tidak melanda umat-umat lain di Indonesia.

Apabila cara-cara kita melakukan pemanfaatan SDA, membangun negara, dan menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan karakteristik dan dinamika ekosistem alam (design and construction with nature) diiringi dengan iman serta takwa kepada Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta, niscaya kita dapat menghindari atau meminimalkan kerusakan fisik, kerugian ekonomi, dan korban jiwa akibat bencana alam. Sebaliknya, banjir, erupsigunungberapi, dan boleh jadi bencana alam lainnya justru sebagai cara Allah untuk memelihara alam semesta tetap seimbang, dan cocok bagi kehidupan manusia.

PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MS
Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)