Kita Disadap lagi
A
A
A
PERTANYAAN tentang harga diri bangsa kita kembali mengemuka di ruang publik setelah salah satu koran di Amerika Serikat (AS) mengungkap tindakan Pemerintah Australia yang ternyata juga telah menyadap jutaan telepon genggam milik warga Indonesia.
Berita ini diungkap New York Times bertepatan dengan kedatangan Menteri Luar Negeri AS John Kerry ke Jakarta. Kerry melakukan kunjungan tiga hari ke Indonesia dengan sejumlah agenda. Belum jelas apa kaitan pemberitaan itu dengan kedatangan Kerry. Tapi munculnya berita ini telah menimbulkan berbagai macam kecurigaan publik terhadap Indonesia dan Australia yang selama ini mengaku sebagai sahabat Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa AS adalah sekutu dekat Australia, sedangkan Australia adalah tetangga dekat Indonesia yang sering kali menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Sebelumnya, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional (NSA) AS Edward Snowden telah membeberkan aksi penyadapan intelijen Australia terhadap pejabat-pejabat penting kita termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Media Australia menukil transkrip wawancara penyadapan sejumlah pejabat penting Indonesia itu secara detail sehingga memicu kemarahan Presiden SBY yang kemudian melontarkan surat protes. Respons Canberra di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Abbot juga membuat berbagai elemen masyarakat marah dan mendesak Pemerintah Indonesia bisa bersikap lebih tegas.
Saat itu Presiden SBY langsung memanggil pulang Dubes RI di Canberra. Akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami persinggungan dengan negeri tetangga dalam sejumlah isu. Hubungan RI-Singapura sempat memanas setelah Singapura memprotes keputusan TNI Angkatan Laut yang menamai kapal perangnya dengan KRI Usman-Harun. Kemudian pembebasan bersyarat terpidana narkoba Schapelle Corby yang memanaskan hubungan RI-Australia.
Publik memprotes keras keputusan Presiden membebaskan Corby dan menuding ada lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan Pemerintah Australia di balik keputusan kontroversial itu. Belum hilang betul efek sandungan-sandungan itu, datang sandungan baru lagi yang diungkap New York Times. Jika informasi itu benar, publik patut melayangkan protes keras terhadap intelijen Australia yang telah melanggar hak asasi jutaan warga Indonesia.
Publik juga wajib mempertanyakan sejauh mana negara mampu memberi perlindungan terhadap warganya dari gangguan maupun teror yang dilakukan negara lain. Lantas apa yang dilakukan aparat intelijen kita selama ini? Fakta menunjukkan sambungan telepon Presiden, menteri, dan pejabat penting kita saja begitu mudah disadap intelijen Australia. Jadi wajar saja kalau jutaan telepon genggam kita begitu mudah disadap intelijen asing.
Atau jangan-jangan tidak hanya Australia yang leluasa menyadap kita, tapi negara-negara yang selama ini kita kenal baik pun demikian. Menyalahkan Australia, AS atau negara lain yang membuka rahasia dapur kita secara telanjang bukanlah solusi. Kemarahan hanyalah reaksi pertama yang wajib kita ungkapkan untuk menunjukkan sikap bahwa harga diri kita sebagai bangsa telah terusik.
Pesan itu mungkin sudah dengan mudah ditangkap Australia, AS maupun Singapura. Tapi mengapa mereka tidak serius menanggapi pesan kemarahan itu? Bahkan Australia terkesan sengaja memprovokasi kita berulang kali.
Apakah mereka terlalu yakin Pemerintah RI hanya akan berhenti pada kemarahan sementara saja? Atau dengan kata lain pemerintah kita sekarang terlalu lemah untuk benar-benar marah? Mari kita merenung bersama, mengapa kita begitu mudah dipermainkan negara lain?
Sebagai negara besar, Indonesia sangat tidak pantas dipermainkan oleh Australia atau Amerika, apalagi Singapura atau Malaysia. Ada yang salah dalam diri kita sekarang sehingga orang lain pun enggan menghargai kita.
Berita ini diungkap New York Times bertepatan dengan kedatangan Menteri Luar Negeri AS John Kerry ke Jakarta. Kerry melakukan kunjungan tiga hari ke Indonesia dengan sejumlah agenda. Belum jelas apa kaitan pemberitaan itu dengan kedatangan Kerry. Tapi munculnya berita ini telah menimbulkan berbagai macam kecurigaan publik terhadap Indonesia dan Australia yang selama ini mengaku sebagai sahabat Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa AS adalah sekutu dekat Australia, sedangkan Australia adalah tetangga dekat Indonesia yang sering kali menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Sebelumnya, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional (NSA) AS Edward Snowden telah membeberkan aksi penyadapan intelijen Australia terhadap pejabat-pejabat penting kita termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Media Australia menukil transkrip wawancara penyadapan sejumlah pejabat penting Indonesia itu secara detail sehingga memicu kemarahan Presiden SBY yang kemudian melontarkan surat protes. Respons Canberra di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Abbot juga membuat berbagai elemen masyarakat marah dan mendesak Pemerintah Indonesia bisa bersikap lebih tegas.
Saat itu Presiden SBY langsung memanggil pulang Dubes RI di Canberra. Akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami persinggungan dengan negeri tetangga dalam sejumlah isu. Hubungan RI-Singapura sempat memanas setelah Singapura memprotes keputusan TNI Angkatan Laut yang menamai kapal perangnya dengan KRI Usman-Harun. Kemudian pembebasan bersyarat terpidana narkoba Schapelle Corby yang memanaskan hubungan RI-Australia.
Publik memprotes keras keputusan Presiden membebaskan Corby dan menuding ada lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan Pemerintah Australia di balik keputusan kontroversial itu. Belum hilang betul efek sandungan-sandungan itu, datang sandungan baru lagi yang diungkap New York Times. Jika informasi itu benar, publik patut melayangkan protes keras terhadap intelijen Australia yang telah melanggar hak asasi jutaan warga Indonesia.
Publik juga wajib mempertanyakan sejauh mana negara mampu memberi perlindungan terhadap warganya dari gangguan maupun teror yang dilakukan negara lain. Lantas apa yang dilakukan aparat intelijen kita selama ini? Fakta menunjukkan sambungan telepon Presiden, menteri, dan pejabat penting kita saja begitu mudah disadap intelijen Australia. Jadi wajar saja kalau jutaan telepon genggam kita begitu mudah disadap intelijen asing.
Atau jangan-jangan tidak hanya Australia yang leluasa menyadap kita, tapi negara-negara yang selama ini kita kenal baik pun demikian. Menyalahkan Australia, AS atau negara lain yang membuka rahasia dapur kita secara telanjang bukanlah solusi. Kemarahan hanyalah reaksi pertama yang wajib kita ungkapkan untuk menunjukkan sikap bahwa harga diri kita sebagai bangsa telah terusik.
Pesan itu mungkin sudah dengan mudah ditangkap Australia, AS maupun Singapura. Tapi mengapa mereka tidak serius menanggapi pesan kemarahan itu? Bahkan Australia terkesan sengaja memprovokasi kita berulang kali.
Apakah mereka terlalu yakin Pemerintah RI hanya akan berhenti pada kemarahan sementara saja? Atau dengan kata lain pemerintah kita sekarang terlalu lemah untuk benar-benar marah? Mari kita merenung bersama, mengapa kita begitu mudah dipermainkan negara lain?
Sebagai negara besar, Indonesia sangat tidak pantas dipermainkan oleh Australia atau Amerika, apalagi Singapura atau Malaysia. Ada yang salah dalam diri kita sekarang sehingga orang lain pun enggan menghargai kita.
(nfl)